Senin cerah. Setelah mengadakan upacara kemerdekaan RI, seperti biasa
SMU Kemenangan Utama mengadakan class meeting dimana semua murid bebas
berkreasi sesuai dengan bakat mereka. Tapi yang paling seru tentu saja lomba
menghias wajah lawan jenis dengan mata tertutup. Yang dihias adalah para cowok,
dan yang mendadani adalah cewek. Entah itu mahir atau baru belajar dandan, pokoknya
suasananya sangat meriah. Bahkan mata cowoknya ada ang kecolok mascara, ancur deh. Tapi yang menjadi
pusat perhatian saat itu adalah pasangan yang dengan kompaknya telah
menyelesaikan tugasnya itu dengan waktu yang cukup cepat. Yap!
Dia adalah Matahari dan seorang gadis yang aku nggak tahu namanya, maklumlah
murid barunya nggak sedikit. Jadi perlu waktu yang lama untuk tahu semua nama
adik kelas. Sayangnya Matahari dan pasangannya hanya mendapat juara kedua, karena
kelasku yang mendapat juara 1.
Saat itu,
aku nggak begitu memperhatikan Matahari karena kulihat dia biasa saja sama
kayak anak-anak yang lain. Biasalah baru lulus SMP. Tapi ketika beberapa hari
kemudian, nggak sengaja aku bertemu dengan Matahari lagi gara-gara Ika, teman
baikku, lupa dimana dia menitipkan helm motornya, —memang.... dia sedikit
pelupa. Matahari ada di ruang guru sama temannya.
Mungkin lagi di“ceramahin” guru killer.
Nggak tahu kenapa, sekarang dia terlihat begitu keren. Dia memakai jaket sport
hitam, dan yang paling mencolok tuh, rambutnya! Rambutnya dispike ke belakang. Mirip banget sama
HYDE[1], *liat gambar di samping, bo!* vokalis band L’Arc En Ciel asal
Jepang yang sangat keren! (―as HYDE’s
lover of course―) Sejak saat itulah, aku terus mencari informasi tentang
yang namanya Matahari itu. Melalui temanku yang kupercaya, Anton, aku
mendapatkan informasi nomor telponnya.
Hari – hari pun berlalu dengan cepat. Akhirnya tibalah saatnya ujian
semester. Ternyata ruang ujianku adalah ruang kelas Matahari. Ini saja sudah
membuatku semangat. Tapi, ada yang membuatku penasaran sekaligus tambah
semangat. Beberapa hari sebelum ujian, aku membuka emailku. Di bagian horoskop, tertulis kalau pada tanggal 23
maret akan ada kejutan yang akan membuatku senang dan bahagia. Lalu akhirnya, tanggal
23 maret pun tiba, hari ketiga ujian.
Selesai ujian, sambil menunggu Ika yang dapat giliran tugas piket, tanpa
sadar aku melihat – lihat kolong meja. Banyak sampah kertas. Tapi, di salah
satu meja, ada 1 kertas yang terbengkalai dengan indahnya. Dengan rasa
penasaran, aku ambil kertas itu. Tertulis, “NAMA:
MATAHARI”. *DEG* jantungku berhenti sesaat. Ternyata
punya Matahari. Di kertas itu tertulis sedikit biodata pemuda yang kuanggap
dingin. Dengan cepat aku kembali melipatnya dan memasukknnya ke kantong rok
seragamku.
Sesampainya di rumah, aku membuka lagi kertas yang aku temuin tanpa
sengaja atas petunjuk dari horoskop di internet. Aku baca dengan teliti apa saja
yang tertulis di kertas itu. Nama, kelas, ketua RT, nomor rumah, nomor sepatu, hobi, kepribadian, motto, status,
zodiac, tinggi, umur....
itu yang kudapat.
Setelah
beberapa hari kupikirkan, sudah kuputuskan untuk mengirimi surat dengan menulisnya di kertas ulangan
yang kuambil itu melalui temanku lagi, Anton, cowok yang sudah mengenal Matahari
sebelum masuk SMU. Surat
itu aku tulis atas nama Anemone. Tapi, rencana nggak semulus yang aku kira.
Ada hal yang
menyakitkan terjadi setelah beberapa hari Matahari diliputi rasa penasaran
dengan cewek yang berinisial Anemone itu. (Rencana
berhasil...!) Surat
pertama nggak bikin dia bereaksi seperti yang aku harapkan. Mungkin karena aku
nulisnya pakai bahasa Inggris. Jadinya dia rada-rada bingung apa isinya. Padahal
isinya tentang siapa “Anemone” itu. Untung juga sih..... Surat kedua, dia bersikap
kejam. Dia nggak mau baca surat
itu, walaupun dia mau terima. Waktu ditanya sama teman aku, Uerul, cewek yang
rada jutek and galak, Matahari bilang, “Ngapaian gue baca ini surat. Gue aja kagak tau ceweknya kayak
gimana. Klo mau gue baca, datang sendiri donk ke gue!” Begitu kata Uerul
waktu dia cerita ke aku.
Nggak kenal
kata menyerah, aku tetap kasih dia surat
yang ketiga melalui Anton lagi. Kata Anton dia udah nerima suratnya, lalu
katanya lagi, ada pesan dari Matahari buat Anemone, kurang lebih beginilah isi
pesannya: “Gue mau tau siapa Anemone itu.
Suruh dia telpon gue besok. Gw tunggu. Kalo nggak telpon, gue nggak mau lagi
nerima surat
dari dia.” Jantungku langung berdetak cepat. Kalau aku telpon Matahari, aku
mesti ngomong apa?
Keesokan
harinya di pinggir tangga rumah, —setelah
berpikir setengah jam, akhirnya aku putuskan untuk telpon Matahari. Kebetulan
hari libur. (Apapun yang akan terjadi,
terjadilah...). RRRRRR...... Dering
telpon seberang berbunyi. *KLEK!* “ Hallo?
” Orang di seberang menjawabnya. Reflek, aku langsung menekan tombol memutuskan
telpon. Jantungku kembali berdetak dengan cepat. Aku menelan ludah untuk
menenangkan perasaan. Kutekan lagi nomor telponnya, 0218834xxxx. Beberapa saat
kemudian, suara di seberang kembali menggema ditelpon,
“ Halo? ”
Dengan suara yang rada gagap ala rapper, aku menjawabnya, “H-halo, s-selamat
siang.... b-bisa bicara dengan Matahari? ”
“ Ya, Siapa
nih? “
“Ah,
Matahari, ya? Ini Anemone yang ngirim surat
buat Matahari, ” kataku cepat tanpa
jeda. (fyuh....)
“Anemone???.....
Ohya, ada apa nelpon? “ tanyanya dengan suara yang rada nge-bass.
“ Katanya harus
nelpon Matahari, lagipula sekalian pengen ngobrol aja…, ” kataku sambil mengumpulkan
keberanian.
“ Ok. Ngomong
– ngomong lo siapa sih? Koq lo bisa tau gue? Kelas berapa? Ohya, kelas dua.....
lo yang mana? ”
“ Oh, penasaran
ya? Ng,. inget acara Valentine? Ada cowok yang namanya Andy minta foto Matahari
atas nama Ceria? That’s was me. Waktu
Matahari nabrak cewek hampir nyaris jatuh trus Matahari marah – marah di depan
gerbang sekolah, that victim was me too.
Inget? ” tanyaku memastikan, sekaligus mengakhiri penjelasan tentang diriku.
“ Nggak.
Sorry. Soalnya gue nggak begitu merhatiin siapa aja yang ada di depan gue. ”
“ ....... (-_-‘)
” Ternyata penampilan luar nggak sama dengan
penampilan dalamnya. Tanpa sadar aku menghela napas.
“ Kenapa
namanya Anemone? Apa artinya? Koq bisa milih nama itu? “ tanya Matahari tiba –
tiba dengan suara yang mungkin terdengar agak penasaran. Kujawab,
“ Anemone,
ya? Itu nama sejenis tumbuhan laut, tapi juga berarti nama bunga Jepang yang
cuma mekar di musim gugur kalau nggak salah,. “ kataku sambil mencoba
mengingat, “ Kenapa...? ”
“ Jelek, ah!
Gimana kalau gue kasih nama Maymei? Lucu, kan? ”
Dikasih nama
sama orang yang kita suka.... kalian pasti tahu gimana rasanya, kan? (Shiawase, ne!)
“ Maymei?
Kenapa Maymei? Nama mantannya, ya? “ tanyaku bercanda. Entah ditanggapin serius
sama Matahari atau nggak, dia jawab,
“ Bukan....
Maymei itu nama kelinci gue yang udah mati. Gue sayang banget sama kelinci gue
itu. Bulunya putih. Niatnya baik, tapi malah nggak sengaja gue ngebunuh dia.
Gue sedih banget. Ya? Lo mau ‘kan
nama itu? ‘kan
bagus...! ” Nada ngomongnya memelas sekaligus setengah memaksa. Walaupun rada
bingung, aku terima nama yang terdengar asing (baca: aneh) itu.
Setengah jam
kemudian, pembicaraan berakhir. Bertelpon – telponan ria dengan Matahari
menghabiskan pulsa telponku hampir setengahnya. Walaupun begitu, ada baiknya
aku menelponnya. Dari semua perkataan dia, aku dapat menyimpulkan sesuatu dalam
diri Matahari. Selain Matahari adalah cowok yang baik dan perhatian, tapi di
sisi lain, ternyata Matahari itu cowok narsis! Selama 10 menit terakhir, dia
selalu bertanya tentang penampilannya, entah itu tentang penampilannya saat
nge-band di acara Valentine, atau tentang wajahnya, yang memang diakui oleh
cewek-cewek K.U itu imut and tampan,
termasuk aku yang juga menyukainya♥.
Keesokan
harinya, Matahari nggak terlihat di lingkungan sekolah K.U. kupikir dia nggak
masuk. Maklumlah, hari bebas, mau datang atau nggak juga nggak dipeduli’in sama
guru – guru. Base camp
tempat biasa gengku
nongkrong penuh, terpaksa pindah tongkrongan di sekitar lapangan basket.
Kebetulan ada pertandingan basket antar kelas, —yang juga kesukaannya Matahari,
karena dia pencinta basket, meski dia sendiri nggak mengikuti ekskulnya. Tim
andalan kelas Matahari memasuki lapangan basket, yang langsung disambut sangat
meriah, bahkan bisa dibilang terlalu meriah untuk sekedar pertandingan basket
antar kelas. Terang aja, soalnya kelasnya Matahari adalah kelas dimana
berkumpulnya para cowok tampan yang menjadi incaran cewek – cewek satu sekolah (termasuk para senior cowok yang iri, xixixixi…)
Teriakan – teriakan
cewek-cewek penggemar, baik itu basketnya maupun cowoknya, memenuhi setiap
sudut sekolah. Penging. Tapi biarlah, itung – itung cuci mata. Tapi walaupun
dibilang seperti itu, lama kelamaan akhirnya aku beserta gengku tersedot juga dalam
suasana pertandingan. Sorakan – sorakan penyemangat meluncur keluar dari tiap
mulut. Peluit tanda berakhirnya pertandingan set 1 telah berbunyi. Waktunya
membicarakan strategi pertandingan. Bagi penonton yang lebih banyak ceweknya
ini adalah waktunya untuk mengembalikan suara yang mulai serak karena semangat45
menyemangati pemain. Termasuk juga aku. Sambil mengembalikan suara, aku
melayangkan pandanganku ke penonton di seberang sisi lapangan bagian depan.
“ Wah, ada
Matahari! ” kataku tanpa sengaja meluncur keluar begitu saja. Spontan, aku langsung
menutup mulutku. Masalahnya, FYI, bukan cuma aku yang menjadi penggemarnya
Matahari. Ada
sekian ratus cewek
yang menjadi penggemarnya. Bahkan kudengar diam – diam ada yang mendirikan fansclubnya. Dan benar saja, saat kata
Matahari keluar dari mulutku, sorotan mata tajam dari seluruh penjuru langsung
menatapku. Bahkan salah satu teman se-genkku, Oki, yang juga mengincarnya
langsung bertanya,
“ Cherry, apa
tadi lo bilang Matahari? Mana dia? Kok, nggak keliatan dari tadi Padahal ‘kan yang main kelasnya.
Lo liat dia? ” tanyanya beruntun nggak
berenti. Langsung saja aku langsung mencari alasan bagus,
“ Bukan
Matahari. Tadi gue kira ada Matahari yang main, taunya malah ‘pacarnya’, si
Choco. Habis rambutnya sama. He...he....he... “
Ohya, jangan
salah, “pacar” Matahari yang tadi
kubilang, bukanlah seorang cewek, tapi seorang laki – laki yang nggak kalah kerennya
dari Matahari. Tapi, karena persahabatan mereka berdua terlalu akrab, jadi
gosip yang beredar malah
menggelikan.
Mereka berdua, Matahari dan Choco (His
real name is Qodri, but most girls like to called him as Choco. Sounds cute,
isn’t?), dikatakan adalah sepasang gay.
Masalahnya adalah mereka terlihat akrab dimana pun mereka berada. Bahkan beredar
kabar kalau mereka berdua pergi ke mall dan berfoto di sana. (Half naked! (>////<)*nose bleed* mau
liat~*)
Kembali ke
pertandingan basket. Setelah tahu kalau Matahari juga nonton pertandingan
basket, aku jadi nggak begitu memperhatikan pertandingan. Saat kualihkan
pandangan ke arah Matahari, aku lihat raut wajahnya kayak orang khawatir. Aku
nggak tahu apa yang dikhawatirin sama Matahari, apa mungkin pertandingannya? Atau
dia lagi ada masalah?
Beberapa saat
kemudian pertandingan selesai dengan skor 64-50. Kemenangan di tangan kelas Sang Idola. Langsung
saja secara serentak cewek – cewek langsung mengelu – elukannya. Pandanganku
kembali ke arah Matahari. (Nggak ada!
Kemana Matahari?) Tengok ke sana
kemari, tetap nggak ada. (Ke mana
perginya? Masa’ udah pulang?) Nggak sengaja, aku mengalihkan pandangan ke
bagian tempat duduk para pemain basket. (Matahari?!...
sama Choco??) Ternyata Matahari lagi duduk berdua sama Choco. Terlihat
kalau Matahari lagi ngasih minuman ke Choco lalu mengelus punggung Choco yang
basah karena keringat, Choco pun terlihat tersenyum. Menggelikan. (Asli biqin merinding disko!) Kalau kalian melihatnya, pasti kalian
mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih (Ehm!...kalau nggak mau dibilang sepasang gay..) Bagaimana nggak
kalau melihat mereka begitu mesranya di depan umum. (Iri mode: ON)
Tak lama
kemudian mereka berdua beranjak pergi. Ternyata ke kantin.
Suasana di
kantin penuh banget. Sulit menemukan tempat duduk yang strategis buat memperhatikan
Matahari. Akhirnya gengku menemukan tempat duduk yang lumayan strategis, tiga
baris di belakang tempat duduk Matahari.
Cewek – cewek yang berada tak jauh dari mereka berdua langsung saja
berebutan minta foto. Padahal Matahari dan Choco terlihat nggak suka. Setelah
memesan makanan dan minuman, hal biasa yang dilakukan oleh para cewek kalau
lagi ngumpul ya tentu saja membicarakan cowok keren. Sasaran utama adalah
Matahari dan Choco. Terdengar Ika yang berbicara pertama membuka pembicaraan,
“ Eh, gue
denger katanya dua anak ganteng itu gay,
ya? ” raut wajahnya sok serius. Kemudian cewek – cewek yang lain langsung
menyorakinya dan sebagian ada yang menimpali,
“ Lo juga
tahu, ya? Eh, kaget tahu pas gue dengernya. Masa’ gebetan gue gay, sih? Idihh, ilfill deh..., ” kata Choki kecewa. Langsung aja tangan – tangan dari
segala penjuru menjitaknya.
“ Emangnya lo
aja yang ilfill? Gue juga nih. Bahkan
ada gossip lagi yang gue denger tuh kalo mereka katanya pernah tidur berdua! “
kata Uerul. Perkataannya mendapatkan jawaban selayaknya paduan suara wanita,
“ Haaaah??!
Sumpeh lo, Rul? Masa sih segitunya mereka?? “ kata mereka semua dengan
kompaknya. Pembicaraan kami sudah seperti bigos
(biang gosip). Setelah beberapa kali membicarakan hubungan antara Matahari dan
Choco, akhirnya aku mendapatkan jawaban dari pertanyaanku yang tadi sempat
terlintas di pikiranku,
“ Eh, gue
dapet informasi tentang Choco. Katanya dia punya penyakit asma. Terus si
Matahari bertugas buat ngejagain dia selayaknya his babysister, “ Ika sok berbahasa Inggris. (Jadi, karena itu Matahari terlihat khawatir
waktu Choco
main basket? Mungkin Matahari takut kalau asma Choco kumat lagi...)
Selagi kami
asyik - asyiknya bergosip ria, tiba – tiba Chika datang membuyarkan diskusi
kami.
“ Eh, ngapain
kalian asyik – asyikan di sini? Bukannya
ngumpul di UKS, malah asyik – asyikkan makan. Ayo, buruan! “ ajaknya. Sambil
menatapnya heran, kami menjawabnya,
“ Emangnya
ada apaan di UKS? Ada
bazaar obat – obatan? “ canda kami. Dengan gayanya yang khas waktu sewot, jawabnya,
“ Gilingan
daging! Choco pingsan tau!! Tadi waktu di lapangan, dia tiba-tib~ ” Belum dia
menjelaskan, dengan cepatnya kami memotong perkataannya sambil menyeretnya
menuju UKS,
“ Kagak usah
banyak cingcong, entar aja
jelasinnya! Ayo, ikut ke UKS!! “
Beberapa saat
kemudian, kami telah sampai di UKS yang bisa dibilang cukup sempit. Suasananya sangat ramai. BGT malah! Kayak
abis bubaran konser L’Arc-en-Ciel! Eh, nggak ding..! Itu sih terlalu lebay..
yang bener kayak ada diskon gede-gedean di stand khusus all attribute Hyde_sama![2]
(eh, sama aja ya??) Eniwei, cewek – cewek berkumpul di UKS untuk melihat
Choco yang tergeletak pingsan di tempat tidur UKS, di sampingnya ada Matahari
yang kayaknya khawatir banget sama keadaan Choco. Setelah bertanya sebab Choco
pingsan sama Chika, kami pun mendapatkan jawabannya. Ternyata pada saat
pertandingan grand final antara kelas Idola dengan lawan mainnya dimulai, Choco
terlihat aneh. Alhasil setelah melempar bola, Choco pun abruk di lapangan.
Katanya lagi, dengan sigap Matahari langsung turun ke lapangan dan membopong
Choco ke UKS. Pertandingan pun terpaksa dihentikan untuk beberapa saat hingga
keadaan Choco membaik.
Kurang lebih
sejam kemudian, pertandingan pun kembali diadakan. Tapi, jumlah para supporter lebih
banyak berkurang daripada pada saat awal pertandingan. Gimana nggak? Para supporter lebih banyak yang berkumpul di depan pintu
UKS yang kini telah dikunci. Terlihat di dalam ada Matahari yang masih setia
menjaga Choco yang masih terbaring. Benar – benar keadaan yang mengkhawatirkan.
Pertandingan basket pun akhirnya selesai dengan kemenangan tetap di tangan
kelas idola.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“
Cherry! Ada
kabar tentang Matahari nih!! ” Tiba-tiba temanku, Anton, datang membuyarkan
lamuananku tentang Matahari.
“
Ada apaan lagi
nih tentang Matahari? “ kataku setengah berbisik. Sambil mendekatkan mulutnya
ke kupingku, Anton berkata,
“
Begini...., Matahari pacaran sama Ari... ” Informasi kali ini rupanya tentang
ceweknya Matahari. Ari, nama aslinya adalah Mariam, tapi entah kenapa dipanggil
dengan nama Ari, temanku sejak SD, tapi pisah waktu SMP, dan sekarang ternyata pacaran dengan
Matahari, cowok yang selalu diimpikan bagi setiap gadis. (How lucky!)
Ketika
malam minggu aku menelponnya dan iseng bertanya tentang hal itu, dengan santai
dia menjawabnya.
“ Iya, sekarang gue pacaran sama Ari. Ga‘pa-pa,
kan? Ceria nggak marah ‘kan sama Matahari? “
Perkataannya ini malah membuatku bingung,
“
Kenapa marah? Gue malah turut bahagia
kok! Tenang aja.... tapi, Matahari mesti janji ama gue kalo Matahari nggak
kepengen gue marah, “ kataku iseng mengancam.
“
Apa? “
Setelah
menarik napas dalam – dalam, aku bilang, “ Matahari nggak boleh bikin Ari
nangis, karena Ari itu temen gue. Matahari nggak boleh nyakitin perasaan dia,
soalnya dia tuh baik banget. Nggak boleh selingkuh, ya? “
Tanpa
diduga, Matahari kembali membuatku senyum hanya dengan dua kata, “ Iya, kakak…,
“ jawabnya manis. Selain itu juga, ketika kutanya mengenai kegiatannya dengan
basket, dia menjawabnya,
“
Matahari nggak bisa main basket. Lagian ntar kulit Matahari jadi item, trus nanti
Ceria nggak suka lagi sama Matahari,. “ katanya lalu tertawa. Telepon pun usai
ketika Matahari menutup telpon setelah mengucapkan kata perpisahan,
“
Selamat bersenang – senang di hari minggu besok. Sampai ketemu di sekolah hari
senin. ‘Met malam, Ceria!(^_^) “
Hari senin cerah. Ada
sesuatu yang mengejutkan ketika kelasku tengah menyelami pelajaran fisika
dengan ketukan di pintu kelas. Tiba – tiba
Matahari masuk ke kelasku dan minta izin untuk mengambil sampah di kelasku.
(Wow! What a surprise...!) Ternyata Matahari
sedang kena hukuman untuk mengambil sampah di kelas 2! Tak bisa kubayangkan
betapa malu dirinya. Apalagi ketika nanti dilihat oleh sang kekasih, turun deh
pamornya! Ditambah lagi teriakan histeris para penggemar satu lantai. Benar - benar hari pertama yang menghebohkan. Saat pulang
sekolah sekali lagi aku bertemu dengan Matahari. Dia sedang bermain gitar, dan
seperti biasa, Choco ada di sampingnya untuk menemaninya bernyanyi. Hmmm, sepertinya sepasang musisi telah
terlahir di SMU K.U. (image: Hyde_sama
dan GACKT_sama[3])
Hari
- hari pun terus berlanjut seperti biasanya. Penuh dengan berbagai kejutan – kejutan yang
tak terduga. Berita yang mengejutkan adalah saat kudengar kalau Matahari
membuat sebuah tato di lehernya yang bertuliskan nama sang kekasih, Mariam.
Uugh! Nyesek banget... Ternyata
Matahari begitu sayangnya sama Ari. Betapa beruntungnya Ari, temanku itu!
Maksud
hati memeluk gunung tapi apa daya tangan tak sampai.... loh? Kok jadi bikin
peribahasa... Setelah dipikir baik- baik, ingin rasanya
aku mencoba melupakan Matahari... Tapi, saat aku menelponnya, tiba-tiba
Matahari berkata sesuatu yang
mengejutkan dengan suaranya yang sedikit serak...
“
Minggu depan Matahari mau manggung di festival musik di Bandung.... Ceria mau
ikut nggak? Matahari manggungnya jam malam,
jadi kalau Ceria mau ikut mesti izin nginap sehari... soalnya bakal sampai nginap...
Mau? ” Kaget, aku balas tanya,
“
Loh? Emangnya Ari nggak ikut? Kok, gue yang diajak..? Ada apa..? “ tanyaku pelan takut disangka mau
tahu urusan orang. Tiba-tiba Matahari diam, tapi setelah terdengar desahan
nafasnya di telepon, Matahari menjawabnya dengan nada seperti orang mau mati
saja,
“....
gue udah putus sama Ari..... Huwahh!! Gue sedih banget, Cerr!!! “ teriaknya tiba-tiba. Entah harus senang atau
sedih, aku mencoba untuk menenangkan dirinya yang sepertinya sangat menderita,
“
Emangnya ada apa? Apa cuma keputusan sesaat waktu emosi? “ Aku coba menenangkan.
Tapi nggak disangka, setelah dia terdengar sangat sedih, tau – tau saja dia
menjadi dingin lagi,
“
Ya udah lah, ga usah dibahas lagi. Gimana? Mau ikut ga?... “ tanyanya lagi
mengenai acara pertunjukannya. Mungkin saja ini adalah kesempatan berharga
buatku tapi entah kenapa di sisi lain, aku merasa tak ingin memanfaatkannya.
“
Nanti ya, Matahari...? Entar gue kasih tau, gue ikut apa nggak.., ” aku mencoba
mengundur ajakannya. Sebenarnya rencanaku adalah meminta waktu agar aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
antara sepasang kekasih itu. Let’s find
out!!
Keesokkannya
hari berjalan seperti biasanya. Dan kayaknya nggak ada yang tahu apa yang
terjadi antara Matahari dan Ari, soalnya nggak ada yang membicarakannya sedikit
pun.
“ Woy, ada gosip nih!!! “ teriak Uerul tiba –
tiba sambil lari mendatangi kami di kantin.
“
Ada apa, Rul? “
tanya Ika, “ Heboh banget.., “ lanjutnya sambil memesan minuman.
“ Iya nih... ganggu orang makan aja.., “ gerutu Oki dengan
mulut penuh dengan makanan.
“
Ada apa... sih?
“ aku bertanya agak gugup.
“
Ini tentang Matahari...., “ katanya agak pelan karena sudah menjadi pusat
perhatian di Kantin.
“
Kenapa....? “ Dengan kompak kami ikut
dalam suasana pelan dan serius.
“
Matahari ada masalah dengan Ari..! “ (*DEG!*) Perkataanya membuat jantungku
berhenti sesaat. Ini dia…
“
Gimana ceritanya, Rul? Bisa dipercaya, ga? “ tanya mereka penasaran sekaligus
meragukan.
“
Mungkin sekitar 85% presentase
kebenarannya... Gini nih ceritanya,
kita ‘kan
udah tau kalau Matahari sama Ari tuh udah jadian. Nah, udah agak lamaan mereka
jadian, ada masalah. Rupanya ada yang ngasih tau ke Ari kalau Matahari tuh
selingkuh sama temennya, si Mery..., “ katanya
mulai menjelaskan, “ Nah, salahnya, Ari tuh
terima bulat-bulat berita itu tanpa memastikan dulu, trus pas Matahari dateng
ke kelasnya, kena semprot deh tuh cowok... “ Tanpa melepaskan perhatian kami
pada setiap perkataannya, dengan diam kami terus menyimak setiap kata yang
terlontar dari mulutnya.
“
Truuss...? “ tanya kami kompak monyong mau tau lanjutannya. Setelah Uerul
meneguk minuman di depannya, —entah punya siapa— dia melanjutkan ceritanya,
“
Nah, trus gitu.... gue pesen makanan dulu ya? Laper nih!! “ katanya seraya
pergi dari tempat duduknya. Dengan kompaknya kami menyorakinya, sekali lagi
kami menjadi pusat perhatian di kantin.
Setelah dia kembali ke tempat duduknya, ternyata dia bilang kalau dia nggak
tahu lanjutannya. Tentu saja dengan perasaan gondok, kami langsung menjitakinya. (Rupanya ada yang menjadi kambing hitam di antara mereka.... lagipula
aku ‘kan nggak
kenal dengan yang namanya Mery.... siapa dia??
Anak kelas berapa? Rasanya aku tak sabar untuk bertanya pada orangnya
langsung.... )
“ Hai,
Cherry!! “ Tiba – tiba saja Ari ada di belakangku dan menyapa ketika di tempat
fotokopi waktu pulang.
“ Eh, Ari.
Tumben nih.. mau beli apaan? “ tanyaku basa – basi.
“ Cuma
nemenin temen gue. Cher, gue denger lo suka
sama Matahari, ya? “ tembaknya langsung. Entah bagaimana perasaanku, yang pasti
penuh tanda tanya dan kaget.
“ He? Kata
siapa? “ tanyaku gugup. Masih dengan raut wajahnya yang seperti biasa, penuh
senyum, dia menjawab,
“ Ah, nggak.
Gue cuma denger aja. Katanya sih gitu..., “ katanya.
“ …Bukannya
suka gimana, gue cuma tertarik sama mukanya yang kayak di komik – komik,
jadinya gue pengen kenal sama dia aja, siapa tau di kasih tau gimana ceritanya
dia bisa keren kayak gitu, hahaha…” candaku asal. Tanpa kuduga, Ari berkata,
“ Nggak pa-pa
lagi kalo suka. Toh gue nggak suka sama Matahari. Gue kasih tahu ya Cher, Matahari itu anaknya membosankan, manja banget! “ katanya agak kesal.
“ Oh, gitu,
ya..., “ tanggapku singkat. Setelah beberapa saat kemudian, Ari dan temannya
pergi. Demikian juga aku setelah memutuskan untuk pulang. Selama di perjalanan,
aku terus berpikir. (Siapa yang kasih
tahu Ari tentang perasaanku
sama Matahari? Masa’ sih anak-anak segitunya ngasih tahu Ari.. tega nian~! Apa
orang lain ya? Siapa... )
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“ Cherr...
sorry ya...? “ Uerul tiba – tiba menghampiriku pagi – pagi dengan muka yang
enggak bisa dibilang enak. Melihat muka anehnya, aku jadi penasaran juga.
“ Ada apa nih pagi – pagi
udah minta maaf? Lo mau kentut, ya? “tanyaku bercanda agar dia segera
menghilangkan mimik mukanya yang semakin nggak enak dilihat.
“ Ih....
Bukan itu!.. Serius.. Gue nggak sengaja.. Soalnya gue penasaran..., “ katanya
semakin nggak jelas buatku.
“ Apa sih..?!
Jangan bikin gue penasaran! Wah! Jangan – jangan lo nembak Matahari?! “ tebakku
asal karena aku benci jika dibuat penasaran. Sesaat setelah kubilang seperti
itu, tiba- tiba Uerul membuang muka dan berkata sedikit berbisik,
“ Hampir
kayak gitu, tapi bukan... Cher! Lo mau maapin
gue kan! “
tanyanya lagi agak memaksa. Tanpa kujawab, tiba – tiba dia menghela napas
panjang, dan mulai menjelaskan maksud permintaan maafnya.
“ Kemaren gue
ketemu sama Ari di deket gerbang sekolah. Terus dia nanya ke gue, apa gue
pernah ngasih Matahari surat, soalnya dari kemaren
– kemaren Matahari dapet surat
terus dari yang namanya Anemone, yang katanya kelasnya sama kayak gue.., ” kata
Uerul yang membuat jantungku berdetak sangat cepat,
“ Teruuss....?
“ tanyaku tak sabar.
“ ... Gue
bingung.. Yang gue incer ‘kan bukan Matahari,
tapi Choco... tapi gue langsung inget, kalau lo pernah bilang mau ngasih surat ke Matahari, jadi gue keceplosan ngomong kalo lo
yang ngasih surat
ke Matahari soalnya lo suka sama Matahari..., ” katanya yang sepertinya tanpa
dosa. Mukaku mungkin sudah merah padam kalau dilihat dari cermin. Entah
bagaimana menjelaskan apa yang kurasakan saat Uerul menjelaskan semua itu.
Marah.. atau malu..? atau mungkin yang lain....
“ Ari juga
bilang kalo semua surat
yang Matahari dapet dikasih liat semuanya ke dia..., “ lanjutnya tanpa kuminta.
Jadi Uerul yang bilang ke Ari? Gimana sih jadinya ini? Bikin aku nggak enak aja
sama Ari.
Malam
harinya aku
menelpon Matahari lagi. Beberapa saat setelah berdering, seseorang
mengangkatnya,
“ Hallo? “
jawabnya. Suara bass yang dingin itu sudah pasti dia.
“ Halo. Ini
Matahari, ya? “ tanyaku memastikan.
“ Ya. Ini...
Ceria, ya? Ada
apa? “ tanyanya dengan nada yang rasanya terdengar lebih lembut daripada yang
biasanya.
“ Lagi
ngapain? Ganggu, nggak? “ tanyaku basa – basi.
“ Nggak, koq.
Ada apa?
Kangen, ya? Hehehe..., “ tanyanya lalu tertawa.
“ Bisa aja..
Cuma mau ngobrol aja, koq. Gimana nih kabarnya sama Ari? Dah baikkan? “
tanyaku.
“ Nggak, biasa
aja kayak temen, “ jawabnya masih bernada datar, “Cherry sendiri? “ tanyanya
tiba – tiba.
“ Hah?
Maksudnya? Koq, gue dibawa – bawa? “ tanyaku nggak ngerti pertanyaannya
sekaligus kaget dia manggilnya pake nama Cherry.
“ Iya. Cherry...
Gimana sama cowoknya? Lancar? “ tanyanya
dengan nada yang kedengeran aneh.
“ Cowok?? Gue
punya cowok? Sejak kapan? Siapa yang ngomong?? “ tanyaku kaget, karena semenjak
kelas 2 aku terus men-jomblo.
“ Uerul, “
jawabnya singkat, “ Dia temen Cherry, kan?
“ tanyanya lagi.
“ Hah...?!
Uerul?! Emangnya
dia sering ngobrol sama matahari? “
“ Sering
banget kali! Dia sering curhat, ampe Matahari nggak ngerti apa yang lagi diomongin.
Dia juga bilang kalo Cherry suka sama Matahari. Tapi kalo itu sih, Matahari
emang udah tau dari pertama kali Cherry telpon Matahari. Ngomong – ngomong Cherry udah makan belum?
Makan yuk! “ ajaknya.
“ Boleh juga
tuh! Tapi maksud Matahari, kita makan sendiri – sendiri ‘kan? “
“ Bener banget! Apa Cherry mau Matahari temenin? “ katanya.
“ Wah,
makasih... Yaudah.. Kita makan yuk.
Dah.., “ kataku mengakhiri percakapanku kali ini.
“ Aah.. Iya...Dah...,
” Percakapan pun berakhir.
Dan begitulah
seterusnya. Dari Matahari, aku jadi tahu kalau Uerul sering menelponnya, dan
sejak saat itu aku tetap diam karena mungkin dia akan cerita tentang itu. Tapi,
nyatanya sampai sekarang dia nggak pernah membicarakannya, dan akhirnya
kuputuskan untuk bertanya langsung.
“ Rul, gue denger lo sering nelpon Matahari,
ya? Emangnya bener? “ pancingku.
“ Eh, lo
denger dari mana? Bo’ong kali..., “ jawabnya tanpa memandangku —entah apa yang lagi
dipandangnya di depan kelas.
“ Dari
Matahari sendiri. Lo... nggak mau cerita? “
pintaku.
“ Ng... gue
nelpon Matahari cuma buat nyari tahu tentang Choco, koq! Bener! Suer! “
jelasnya singkat, tapi masih tanpa melihat ke arahku.
“ Oke. Apapun
itu, tapi jawaban lo dengan penjelasan matahari itu beda... tapi, itu urusan
lo..., “ jawabku tak ingin ikut campur,
walau dari dalam hatiku aku ingin sekali tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan.
“ Cherry...!!
Ayo, pulang! “ teriak Ika tiba – tiba dari depan pintu.
Ujian
semester kenaikan kelas dilaksanakan seminggu lagi. Itu berarti seminggu ini,
aku harus berusaha untuk nggak memikirkan Matahari. Demi kelancaran ujian, se-enggaknya
aku harus berusaha untuk belajar dengan baik meski harus kuakui kalau rasanya
malas sekali untuk membuka buku pelajaran. Seminggu pun berlalu dengan cepat,
akhirnya ujian pun tiba. And how lucky!
Ruangan ujian kelasku adalah kelasnya Matahari (lagi!), kalau begitu ruang
ujian Matahari sudah pasti ada di kelas 2 di lantai atas. Seminggu nggak
melihatnya kukira akan membosankan, tapi ternyata nggak juga, karena entah
kenapa Uerul memberikan selembar foto. I
guess you already know whose photo is it.... exactly! Matahari. Entah apa
yang pikirkan olehnya... Tapi, apa yang sudah diberikan nggak dapat ditarik
kembali, ya ‘kan?
Karena itulah sepanjang ujian aku mengantonginya, lumayan, untuk jimat
keberhasilan♥. Satu lagi yang membuatku sedikit tak semangat ujian.
Saat istirahat, aku menemukan selembar gambar yang beberapa minggu sebelum
ujian aku memberikannya pada Matahari. Sudah kusam, lecek, kotor, dan bahkan
ada cap sepatu. Entah siapa pelakunya, yang pasti itu membuatku “agak” kesal
dengan Matahari, yang sepertinya nggak menghargai karya orang lain yang sudah
susah payah menggambarnya. Karena itulah, dengan perasaan gedek, dibalik gambar itu aku menulis beberapa pesan untuknya...
tapi sebagian juga aku menulis beberapa kalimat penyemangat selama ujian. Yang
membuatku heran adalah kenapa Uerul jadi lebih marah daripada aku? Toh, yang kotor itu adalah hasil fotokopi
dari yang asli yang masih kusimpan dengan sangat aman. (What’s wrong with her?)
Ujian hari itu
pun selesai sudah. Dalam perjalanan pulang, masih dengan mengantongi gambarku,
aku dan Uerul menuju lobby dan tanpa sengaja bertemu dengan Matahari yang lagi
sendirian sedang meluk tembok. (Mungkin
dia lagi kepanasan..... ) Tanpa kusadari, Uerul tiba – tiba saja
sudah ada di depan dan memanggil Matahari. Dengan langkah enggan, aku mendekati
mereka. Terdengar mereka berbicara,
“ Lo gimana
sih Matahari?! “ katanya sambil menarik baju Matahari, “Koq gambar yang dikasih
sama Cherry jadi kotor?! Bukannya ngehargain karya orang malah dirusak. Kasihan
tau!! “ lanjutnya sewot. Sikap yang ditunjukkannya pada Matahari plus kata –
katanya, sepertinya aku yang menyuruhnya memarahi Matahari. Tapi nggak! Jujur!
Bahkan aku nggak suka kalau Uerul memarahi Matahari, apalagi sampai menarik
bajunya. Kemudian terdengar Matahari menjawab dingin plus jutek,
“ Apa
urusannya sama lo?! Bukan gue yang kotorin, kenapa jadi lo yang marah sama
gue...?! Kayak yang gambar lo aja.., ” balasnya nggak peduli. Dan adu mulut pun
dimulai....
“ Heh! Dasar nggak
bisa ngehargain pemberian orang!! “ bentak Uerul. Dsb..dsb..dsb..... sampai
akhirnya, Uerul menunjuk ke arahku, yang tak jauh di belakang Matahari, sambil bilang, “ Tuh, anaknya! Ayo,
minta maaf! “ suruhnya pada Matahari. (Apa
– apaan nih? Kenapa jadi nunjuk aku?? Apa sih maunya Uerul? Biqin malu aja! ) sewotku dalam hati. Kulihat Matahari
mencari – cariku. Mungkin karena kecil, aku jadi nggak terlihat olehnya yang
tinggi. Akibatnya, dia terus berputar – putar mencariku yang sebenarnya ada tepat
di depannya. Setelah dia berhasil melihatku, tiba- tiba saja dia mengulurkan
tangannya padaku.
“ Eh? “
Sambil setengah kaget, aku melihat wajahnya, terlukis raut wajahnya yang
dingin. Dia berkata,
“ Ketemu
juga... Ceria, ya? Matahari..., “ katanya mungkin mempertegas perkenalan itu.
Meski sedikit, kulihat ada senyum di wajahnya, karena itu kusambut tangannya,
“ Ya, salam
kenal... “ Kami pun berjabatan. Saat
itulah pertama kalinya aku merasakan tangannya. Lembut meski sedikit kasar, dan
hangat.... Beberapa saat kemudian Matahari pergi setelah menerima kembali
gambar yang kotor itu, dan sepertinya sepanjang jalan dia terus membersihkannya
dengan tangannya yang putih. (Hmm.. untuk
kali ini rasanya Uerul memberikanku kesempatan untuk lebih dekat dengan
Matahari, yah, walaupun agak aneh juga…)
Hari – hari
ujian pun tak terasa telah berakhir. Dan besok adalah hari pengambilan raport
kenaikan kelas. Seperti biasa, raport anak kelas 1 diambil oleh orang tua
masing – masing dan kelas 2 diambil sendiri oleh murid.
Pukul 09.00
am, SMU K.U. sudah dipenuhi oleh orang tua murid dan murid K.U. sendiri. Begitupun di kelasku. Teman – temanku sudah
banyak yang datang untuk melihat hasil prestasinya masing - masing, dan...
kejutan! Aku mendapatkan peringkat ke-2. Kurasa itu termasuk kemajuan yang
pesat mengingat peringkatku sebelumnya sama sekali nggak masuk 10 besar. Dan
meskipun nggak sesuai dengan keinginanku, di kelas 3, aku dimasukkan ke jurusan
IPA yang kurasa membosankan karena selalu berhadapan dengan rumus – rumus
setiap harinya. Setelah mendapatkan
pencerahan dari wali kelas, kami semua keluar meninggalkan kelas. Walaupun
sudah waktunya untuk pulang, tapi gengku belum mau pulang karena masih banyak
yang mau dilakukan, salah satunya adalah nongkrong di tempat biasa, kantin!
Tapi ada sesuatu
yang mengejutkan terjadi. Saat melewati lobby di lantai bawah, aku, —ya tentu saja bersama
gengku—, bertemu dengan Matahari, yang seperti biasa selalu bersama dengan
Choco, his soulmate. Sambil
mempercepat langkahku, aku melewati Matahari yang terlihat lagi ngobrol sama
Choco. Tinggal selangkah lagi melewati pintu lobby sekolah, tiba – tiba
kudengar suara Matahari yang kayaknya lagi memanggil seseorang. Merasa tak ada
yang dipanggil di antara kami, tentu saja dengan santainya kami mulai menjauhi
lobby. Saat itulah, terdengar suara atau mungkin lebih tepatnya teriakan
panggilan dari Matahari,
“ Cherryy!! “
Dengan spontan, kami semua menoleh ke
arahnya, tapi rasanya mungkin seluruh cewek yang ada di situ juga menoleh ke
arah Matahari. Entah bagaimana melukiskannya, yang pastinya aku kaget setengah
mati. (Matahari barusan manggil namaku?!)
Begitu kuarahkan pandanganku padanya, kulihat dia menggerakkan tangannya seolah
menyuruhku ke tempatnya. Sebelum ke sana,
tanpa sadar aku menatap satu persatu wajah gengku. Disimpulkan bahwa semuanya
bermuka masam dan tak bisa dibilang menyenangkan. Di satu sisi aku ingin
langsung menjelaskan apa yang terjadi, tapi di satu sisi lagi, Matahari masih
memanggil namaku, yang sepertinya telah menarik perhatian para cewek yang ada
di sekitarnya. Dengan langkah berat, aku menuju ke arah Matahari yang telah
mengerutkan dahinya tanda tak sabar. (Mau
ngomong apaan, ya, Matahari...?? Duh.. Jantung aku nggak karuan nih.....!)
“ A-ada apa,
Matahari? “ tanyaku padanya setelah berhasil melangkahkan kakiku yang rasanya
berat.
“ Minta
gambar lagi, donk! Tapi yang gede, ya? Biar gue bisa pajang..., “ katanya
sambil melemparkan senyum, yang seperti biasa, selalu membuat lututku lemas.
“ Ga-gambar? “(Oooh.....) “ Hmm, Ya udah....
selesainya pas abis liburan aja, ya? “ tanyaku.
“ Hah...? Ohya,
mau liburan ya...? Ok deh! “ katanya setuju dengan senyuman 1 juta volt . Tiba – tiba saja Uerul datang memotong
pembicaraan kami,
“ Hei!
Matahari! Masuk apa nih?? IPA apa IPS?! “ tanyanya dengan wajah yang terlalu over.
“ Wesh! IPA
donk! Matahari gitu loh!! “ katanya bersemangat. Sejenak pandanganku mengarah
ke lidah Matahari. Mungkin dia merasa
diperhatikan, karena itu, dia melihat ke arahku, dan mata kami pun beradu.
“ Kenapa? Koq
ngeliatinnya sampai kayak gitu...?
“ katanya curiga.
“ Eh, nggak.
Itu. Emangnya nggak ketahuan? “ tanyaku sambil menunjuk ke arah lidahnya.
“ Oh, ini ? ” Matahari pun
menjulurkan lidahnya, dan menujukkan jelas tindikan di lidahnya, “ Nggak koq. Kalo
ada guru yang ajak ngomong, mulutnya jangan dibuka gede – gede. Jadinya nggak
ketahuan, deh! Hehehe..., “ katanya dengan nada sedikit nakal.
“
Matahari.... “ Tiba – tiba seorang ibu setengah baya, berumur sekitar 38 atau
40-an datang mendatangi kami. Saat aku melihatnya, ibu itu melemparkan senyum
yang membuatku kaget. (Siapa?) Kemudian, ibu itu
berbicara dengan Matahari, karena tak ingin mengganggu, aku hanya berdiri di
samping Matahari. Sesaat ibu itu melihat ke arahku dan melemparkan senyum. Dan
begitulah seterusnya, setiap ibu itu melihat ke arahku, dia selalu melemparkan
senyum, yang membuatku semakin salah tingkah.
“ Ya udah, ntar
Matahari ke atas, mama nunggu di sini aja, ya? “ kata Matahari sangat manis. (Mama? Jadi, yang di depanku ini, mamanya
Matahari...? Waduh....)
“ Cherry.., “
panggil Matahari pelan membuyarkan pikiranku, “ Ditinggal dulu, ya, “ katanya
sambil melangkah pergi meninggalkan aku, mamanya, Choco, dan Uerul. Saat aku
memutuskan untuk pergi dari situ karena suasananya sudah membeku, —gara – gara seluruh
tatapan dingin cewek di lobby rasanya menancapku dari seluruh penjuru—, tiba- tiba Choco
memanggil mamanya Matahari,
“ Tante,
tante! Ini nih ceweknya Matahari, tante!“ katanya sambil menunjuk ke arahku.
Sejurus saja, mata seluruh cewek di lobby menatap ke arahku, termasuk yang ada
di lantai 2. Huwaa, serem euy!
“ Tante,
permisi dulu, mau pulang. Udah siang.., “ pamitku padanya. Dengan langkah seribu,
aku langsung meninggalkan lobby. (Celaka
13 deh kalau gini....)
“ Cher, masa’
tadi, gue lihat pas ada nyokapnya, Matahari ngelirik – ngelirik ke elo, Cher..., “ kata Uerul memberitahu saat kami dalam
perjalanan menuju kantin. (Oh ya? Ngapain
ya..??)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“ Mungkin dia
bingung, mau ngenalin elo apa kagak sama nyokapnya, kali..., “ tebak Ika, —ketika aku menceritakan peristiwa
itu padanya keesokan hari, di Studio band tempat Ika biasanya main bareng anak
bandnya.
“ Ah, nggak
mungkin.. Masa’ dia mau ngenalin gue sih? Kayak gue tuh siapanya dia aja....,
“ kataku tak percaya.
“ Eh, bisa
aja! Emangnya loe tau apa yang lagi dipikirin sama Matahari? “ tanya Ika yang
masih kekeh sama pendapatnya.
“ Ga tau…, “
jawabku polos.
“ Tuh, kan!~ gimana kalo ntar
lo telpon dia? Apa..... mau ke rumahnya sekarang? “ ajak Ika yang telah bersiap
– siap untuk berdiri dengan senyum yang sepertinya ngajak nantang.
“ Ha... ha..
ha.. Nggak! Makasih! “ tolakku mentah – mentah. Setelah itu, Ika dipanggil oleh
sang ketua band untuk latihan band dan kami pun berpisah.
RRRR.....
RRRRR.....RRRR...
“ Haloo....,
“ suara lembut seorang ibu menggaung di seberang telpon.
“ Selamat
sore, bisa bicara dengan Matahari, tante.. ? “ jawabku tenang karena yang
mengangkat bukan cewek jutek kayak biasanya.
“ Ini dari
siapa, ya? “ tanyanya.
“ Dari
Cherry, tante...., “ jawabku sopan dan datar.
“ Halo... ” Tiba
– tiba saja suara itu telah berubah menjadi suara bass yang dingin dan datar,
kalau suara ini sudah pasti dia.
“ Eh,
Matahari.... kaget, tiba- tiba suara nyokap lo jadi ngebass gini... lagi
ngapain nih...? “ tanyaku basa – basi seperti biasanya yang dia tanggapi
dengan...
“ Ngapain
nelpon, nih? “ tanyanya sesuai dengan
tebakanku.
“ Ng... kalo
nggak ganggu, mau ngobrol sebentar.. boleh nggak? “ tanyaku dengan nada manja —yang biasanya langsung
dimarahi oleh Matahari.
“ Jangan
bikin gue merinding, donk..! Geli tau! “ katanya marah – marah, “ Mau ngomong
apa? “ lanjutnya.
“ Yang
kemaren..... waktu yang lo panggil gue pas ambil raport. Tentang gambar itu...,
“ kataku menjelaskan.
“ Ya, kenapa?
Udah selesai, ya?! Keren ‘ga?! Pas masuk kasih, ya! “ katanya semangat.
“ Eh, tunggu,
gue belum selesai ngomong koq! Baru gue mau nanya, ukurannya mau yang segede
apa? Gue ‘kan
nggak tau, ntar kalo salah lo nggak suka.. ”
“ Yah, gimana
sih! Pokoknya ‘kan
gue bilang yang gede! Mau karton, A3, atau A4... asal bukan se-uprit, gue mau koq! “ katanya dengan
nada yang agak membentak, “ Oia, ngomong – ngomong ..., “ lanjutnya.
“ Apa? “
“ Lo... kecil
juga, ya? “ katanya lalu ketawa. (Apa?! Kecil?! Nggak terima! Mentang – mentang
tinggi, seenaknya aja ngatain orang kecil!)
“ Tapi, imut
juga...., “ katanya lagi dengan nada yang agak pelan tapi masih setengah
tertawa. Mendengar itu, amarahku langsung saja tiba – tiba hilang, dan sekarang
jantungku berdetak dengan sangat cepat.
“ Koq, diem
aja...? Marah, ya? Sorry, ya.... koq Matahari jadi jahat gini, ya..? Cuma
bercanda koq.. jangan marah..., “ pintanya dengan nada yang agak memelas.
“ Hmm...
nggak marah koq..., “ kataku sambil mencoba menenangkan detak jantungku yang
semakin berdetak cepat.
“ Hehehe...
bagus deh... Oia, Matahari mau ngecat rambut nih... menurut Cherry, warna yang
cocok apaan? “ tanyanya. ( Warna? Ngg..
apa ya?... Ohya! )
“ BIRU! “
teriakku semangat.
“ Biru? Ah,
norak... kalo tato, apa yang keren? “ tanyanya lagi.
“ Tato?? Ng.. gimana kalo sepasang sayap di bahu? ‘Kan keren tuh.. kalo
lagi ngelurusin tangan ke depan, kayaknya tuh sayap jadi mengembang di bahu
lo... gimana? “ kataku memberi pendapat sambil membayangkan sang vokalis
L’Arc-En-Ciel, HYDE_sama, yang punya
tato sayap di punggungnya. (my angel!♥ )
“ .... Ah, ‘kan nggak boleh ditato...
‘kan masih kecil... ditato ‘kan nggak baik, ntar jadi jelek..., “ katanya sok imut.
“ Yee... tau
gitu, mendingan tadi nggak usah kasih pendapat deh..., “ kataku agak kesal.
“ Hahaha.. “ tawanya menggaungi telpon. Dan
begitulah percakapan dari telpon hari itu. Ternyata yang kemarin dia manggil,
memang cuma mau minta digambarin tanpa ada maksud yang lain. ( Hhh.. padahal kupikir ada yang mau
diomongin yang lain...)
Hari liburan
pun terus berlalu. Hari liburan begini, biasanya aku kerja part time di sebuah toko kosmetik, lumayan buat tambahan uang jajan
yang semakin seret. Suatu hari, tiba – tiba selagi melayani pembeli, Hp milikku
berdering. Ada sms
dari Uerul. Setelah toko agak sepi, aku sempatkan
membuka inbox di Hpku. ‘Chr,
Mthri mo pndh sklh! Td pas gw tlpn, kt’a dy mo pndh sklh sm Cho2. Cb deh lo
telpn dy, kali aja dy crt ma lo’ kurang
lebih begitulah isi dari sms itu. (Matahari
pindah sekolah? Ga salah tuh? Ah, paling Matahari lagi bete trus Uerul telpon,
and bikin nyolot, trus perang deh...) Tapi
akhirnya,
“ Tolong jaga sebelah sini sebentar, ya? Ada urusan mendadak,
nih.., “ kataku minta izin, karena aku penasaran juga dengan berita itu, apa
boleh buat.
“ Matahari...? “ tanyaku
setelah mendapatkan jawaban di Hpnya.
“ Ya, kenapa,
Cher? “ tanya seperti biasa. ( Oke! To the point!! )
“ Matahari
lagi bete, ya? “ tanyaku memastikan dugaanku.
“ Nggak,
kenapa? “ tanyanya balik.
“ Tadi Uerul
ngasih tau, katanya Matahari lagi bete gitu... “
“ Siapa suruh
dia nyolot sama gue?! Lo tau kan
gue nggak suka sama orang yang sok tahu trus bikin nyolot?! “ katanya marah –
marah.
“ Ya udah.. Nggak
usah ditanggepin kalo ntar dia kayak gitu lagi, Matahari, gue boleh tanya nggak..?
Emangnya Matahari mau pindah sekolah, ya? “ tanyaku agak pelan, takut dia malah
tambah marah.
“ Nggak...
Siapa yang bilang? Matahari nggak bakalan pergi ke mana- mana koq!.. Tenang
aja..., “ katanya yang terdengar seperti
sedang tersenyum. Mendengar itu tanpa sadar
aku bilang,
“ Syukur deh
kalo gitu... Tadi rada takut juga sih...., “ kataku meluncur begitu saja.
“ Chery...
kalo masih mau ngobrol ntar dilanjutin lagi, ya? “ pintanya tiba – tiba.
“ Eh?
Emangnya kenapa? Matahari keganggu, ya? “
“ Ah, nggak.
Cuma Matahari udah dijemput temen, mau pergi ke salon, “ jelasnya.
“ Salon? Mau
ngapain? “ tanyaku setengah kaget.
“ Rambut
Matahari kan merah, makanya sekarang mau
diitemin lagi di salon, besok ‘kan
sekolah..., “ katanya. Sesaat terdengar suara temannya memanggil namanya, “
Udah dulu, ya? Udah dipanggilin terus, tuh “ katanya lagi.
“ Iya... Oh
ya, yang ganteng, ya! “ kataku bercanda.
“ Hahaha...
pastinya donk!! Ya udah ya, temen Matahari udah teriak – teriak di luar, dah...
“ Telpon pun terputus. Ternyata Matahari bilang mau pindah memang gara – gara Uerul yang bikin dia marah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pagi yang
cerah menyambut hari pertama kembali sekolah. Sekarang SMU K.U jadi semakin ramai
dan penuh dengan murid – murid baru. Dari kelasku, 3IPA2, aku melihat Matahari
ada di lantai bawah lagi mencari kelasnya yang baru. Sesaat, entah itu cuma
perasaanku atau apa, tapi tiba- tiba Matahari menoleh ke arahku yang saat itu
sedang memperhatikannya dari lantai 3, kemudian tersenyum, lalu pergi entah
kemana. Dari Uerul, aku tahu kalau kelas Matahari adalah 2IPS4. (Kenapa Uerul jadi lebih tahu
tentang Matahari daripada aku? Koq
jadi aneh gini...Lagipula gimana ceritanya dari IPA yang waktu
itu Matahari pernah bilang, sekarang malah jadi IPS?? Yeah, who cares ‘bout
that any way?) Ohya, aku masih sekelas dengan Ika dan Uerul,
sedangkan anak geng yang lainnya di kelas yang lain.
Hari – hari
pun terus berlalu. Saking padatnya jadwal belajar, aku jadi sedikit melupakan
Matahari. Tanggal 21 juli pun tiba... (baru sadar waktu setengah hari
udah berjalan, tepatnya waktu siang mau ujian) hari yang amat kutunggu. Aha! You
know it...! it’s Matahari’s Birthday! Tapi, waktu aku sempatkan untuk ke
kelasnya, Mataharinya nggak ada. Kata penduduk di sana, dia lagi di kantin. (Wah, kalau begitu.. terpaksa lewat
telpon.....)
Jam di kamar
menunjukkan pukul 19.30. Lewat Hp, aku mencoba menghubunginya lagi, —setelah 2x
gagal untuk menghubunginya tadi siang. Dering telpon pun berbunyi, kebetulan
sekali yang mengangkatnya adalah orangnya langsung,
“ Halo? “ terdengar suaranya menggaungi Hpku.
“ Halo,
Matahari, ya? “ tanyaku memastikan.
“ Iya,
kenapa? Ini Cherry, kan? “ tanyanya yang membuatku agak kaget.
“ Eh, tau
aja.... “
“ Iya, donk!
Udah hapal. Kenapa? “ tanyanya lagi.
“ Lagi
ngapain? Gi sibuk ? “
“ Oh.. lagi
ini... ngerjain kliping bahasa Inggris.... buat guru gitu deh..., “ katanya
menjelaskan dengan detailnya.
“ Hm... Happy Birthday, ya!! XD “ kataku ceria.
“ Iya..
Makasih, ya! “ Dari suaranya sepertinya dia sedang tersenyum.
“ Oia,
gambarnya maunya dikasih kapan? “ tanyaku
mengganti topik.
“ Terserah...
yang baiknya aja, “ jawabnya singkat.
“ .. Kalo
gitu, besok ya? Tapi ngasihnya gimana? Ke kelas Matahari atau gimana? “ tanyaku
bingung sendiri.
“ Yang
baiknya aja... Terserah. Kalau mau ke kelas nggak pa-pa. Tau ‘kan kelasnya? “ tanyanya memastikan.
“ Iya. 2IPS4,
kan?
Istirahat, ya? “ kataku memberitahu.
“ Ya... datang
sendiri, ya? Jangan sama siapa- siapa. Apalagi sama Uerul..., ” katanya dingin.
“ Ya... eh,
iya! Sorry ya nggak bisa kasih kado.., “ kataku. Lalu, tiba – tiba Matahari menjawab dengan
kata – kata yang langsung membuat wajahku memerah.
“ Nggak
pa’pa. Cherry inget aja Matahari udah seneng koq...! ” katanya dengan nada yang
lembut. Ucapan itu begitu singkat tapi rasanya akan selalu teringat di
pikiranku. Begitulah, sesaat setelah itu, kami berdua
sama – sama mengakhiri percakapan di telpon dan saling mengucapkan selamat
malam.
Keesokan
harinya, sesuai perjanjian, aku datang ke kelasnya, tapi dengan membawa seorang
teman. Cowok. Namanya Adit, cs-anku
karena dia telah mengenal Choco termasuk Matahari sejak dulu, lagipula rumahnya
lumayan dekat dengan rumahnya Matahari, tapi sayangnya dia sudah lupa gang
rumahnya. Alasanku lain membawanya bersamaku adalah karena sebelum menuju kelas
Matahari, aku harus melewati banyak kelas 2 yang orang –orangnya nggak bisa
dibilang menyenangkan. Apalagi cowok – cowoknya, yang selalu menatap dengan
mata yang membuat adrenalinku bekerja cepat. Sampai di kelas Matahari, aku
minta seseorang yang kebetulan ada di depan kelasnya untuk memanggilnya, tapi
dia bilang kalau Matahari nggak ada di kelas, dia lagi ke kantin. (Kantin? Katanya janjian di kelas? Wah,
jangan – jangan dia lupa??) Sebelum meninggalkan kelasnya, aku berpesan
pada orang itu untuk menyampaikan pada Matahari kalau aku menunggunya di
jembatan antara gedung kelas 3 dengan gedung kelas 2 waktu pulang sekolah.
Akhirnya dengan perasaan gondok, aku
kembali ke kelasku. Sepanjang jalan, aku terus diejek Adit. Alhasil, kepalan tinju pun mendarat di
perutnya, yang membuatnya meringis kesakitan dan ngedumel terus di sepanjang
jalan.
Bel pulang
sekolah pun berbunyi. Mataku langsung ke arah jembatan. (Mana Matahari? Koq belum datang? Padahal ‘kan kelasnya udah bubaran...) kataku
dalam hati sambil mengamati setiap orang yang keluar dari lobby bawah melalui
jendela kelasku. Sesaat kemudian, mataku menangkap sesosok manusia. (Matahari?! Koq dia pulang? Wah, kurang ajar
tuh temennya, pasti dia nggak nyampein pesan dariku!)
“ Kenapa lo, Cher? Ngeliatin apaan, sih ampe muka lo tuh kayak gitu..,
“ kata Uerul tiba – tiba dari belakang.
“ Hah? Oh,
eh, nggak..., “ jawabku terbata – bata.
“ Siapa sih?
Matahari, ya? “ katanya penasaran sambil ikut melihat ke arah lapangan, dan
membuatku terjepit, karena tempat duduk di kelas lumayan kecil, hanya cukup
untuk satu orang.
“ Apaan, sih,
Rul! Sakit tau!! Kejepit nih! Awas donk! “ kataku marah, sambil mencoba mendorong
badannya untuk menjauh dariku.
“ Pada
ngapain, sih? Rul, lo ngapain ngejepit Cherry? Udah tau badannya Cherry tuh
kecil, jangan tambah dibikin kecil donk! Ntar Matahari marah, loh! “ kata Adit
yang tau - tau saja berdiri di belakang kami, bersama Ika. Sambil membantuku
berdiri, Adit membisikkanku sesuatu,
“ Eh, Cher. Tadi gue lihat Matahari udah keluar dari gerbang,
kayaknya dia nggak nongkrong dulu, deh.., “ katanya sambil tersenyum ngeledek.
“ Rese lo!! “
Pukulan pelan pun mendarat di badannya. Ika dan Uerul yang nggak tau
permasalahannya, hanya diam melihat Adit kupukul. Pukul 14.00, anak kelas 3
baru pulang sekolah. Jam pulang kelas 3 dengan kelas 2 beda setengah jam, jadi
kurasa, aku takkan bertemu dengan Matahari hari ini. Langkah kami, —aku, Uerul,
Ika, dan Adit cs, yaitu Panji dan
Henry—, melangkah menuju kantin, biasalah tuntutan perut yang terus berteriak. Sampai
di kantin, kami semua memesan makanan sesuai selera kami masing- masing, —tapi tetap saja semuanya
memesan bakso. Setelah mendapatkan pesanan semangkok bakso, aku langsung
meramunya dengan berbagai macam bumbu, saus, dan kecap. Sebagai pelampiasan
perasaanku yang sedang marah – marah, tanpa terasa semangkok bakso yang pedas
itu berhasil kuhabiskan dalam
waktu tidak
sampai 2 menit. Serentak saja, anak – anak yang lain langsung melongo, lalu
berkata,
“ Cherry, lo
laper apa kelaparan? “ kata Panji yang mangkoknya masih penuh dengan bakso.
“ Tau tuh..
Masa’ yang jadi pelampiasannya bakso, sih? Tapi masih mending deh, daripada ‘ntar
gue lagi yang kena..., “ kata Adit sambil melanjutkan makannya.
“ Ada apaan, sih,
sebenernya? “ tanya Henry, yang biasa dipanggil dengan Baqõ, karena ke-keling-annya,
alias item banget bo’.
“ Ga tau.
Dari tadi juga kayaknya Cherry rada aneh..., ” kata Ika, yang tengah
menghabiskan baksonya dan mulai menikmati kuahnya yang sudah kental dengan saus,
“ Lo tau kali, Rul? “ opernya ke Uerul yang lagi kepedesan, dan hanya
menjawabnya dengan gelengan kepala.
“ Gini loh, guys,... “ Adit mulai cerita, “ Ceritanya tuh,
ya... si Cherry ini janjian sama matahari di kelasnya. Tadi pas istirahat ‘kan gue temenin nih anak
ke kelasnya... Eeh, pas ke kelasnya, si Matahari tuh nggak ada, kata temennya
sih dia ke kantin... Ya
udah deh,
sekarang Cherry lagi bete sama Matahari gara – gara dia dah bilang ke temennya,
ditunggu sama Cherry di jembatan, tau – tau si Matahari malah pulang sama
temennya...., “ kata Adit menjelaskan, sedangkan aku sedang sibuk menghilangkan
rasa pedas di mulutku, karena itulah aku tak terlalu memperdulikannya.
“ Ya ampun..
masa’, cuma kayak gitu, lo jadi aneh gini, sih.. PDA..., ” kata Ika yang tengah
minum.
“ Aps tuh?? “
tanya kami serempak.
“ Please Donk
Ah...., “ jawabnya sambil tersenyum padaku.
“ Habis...
gue ‘kan jadi
gedek.... katanya mau ketemu di
kelas, trus nyuruh gue ke kelasnya sendirian... tapi untung gue bawa lo, Dit.
Kalo nggak gue bakalan sendirian di situ kayak kambing congek.... Dasar rese!
Ngerjain aja “
protesku marah – marah sambil minum air dingin.
Setelah hampir
satu jam di kantin, dan puas makan, kami semua memutuskan untuk pulang. Karena
kebetulan aku dan Uerul arahnya sama, kami pun pulang berdua jalan kaki,
sedangkan yang lainnya pulang dengan motor masing- masing. Sepanjang jalan,
kami berdua hanya diam. Tapi, setelah melewati sebuah wartel, Uerul bilang
padaku untuk jalan duluan, karena dia mau telpon dulu sebentar dan memintaku
untuk menunggunya di tempat fotokopi depan seperti biasa. Dengan langkah pelan,
karena barang bawaan yang berat, aku menuju ke tempat fotokopi tempat biasa aku
nongkrong sekaligus main.
Sejenak entah
kenapa, jantungku berdetak dengan cepat. Tempat fotokopi tinggal beberapa langkah
lagi. Sambil mencoba menenangkan jantungku, aku terus melangkah ke tempat foto
kopi. Begitu sampai di tempat fotokopi, mataku tiba – tiba beradu dengan Choco.
(Aduh! Kaget... Kirain siapa, ternyata Choco... Tapi
kenapa jantungku tambah cepet? Oia,
ngomong – ngomong, mana “pacarnya”
koq dia sendirian aja...Loh koq, jadi mikirin dia lagi...? Payah.!) Aku pun tetap melangkah
masuk ke tempat fotokopi dengan jantung yang bukannya tenang malah semakin cepat.
“ Eh, Ceria.
Dah pulang, ya? Koq sorean? “ sapa Ibu fotokopi.
“ Ah, iya. Tadi
abis makan dulu di kantin..., “ jawabku. Tiba – tiba Ibu fotokopi mendelikkan
matanya ke arah tempat duduk di dalam. Karena tertutup etalase, aku jadi nggak
tahu apa yang ditunjuknya. Semakin aku melangkah masuk ke dalam, jantungku
semakin berdetak cepat. (Ada apaan,
ya..?) Tinggal selangkah lagi, aku
berhasil melihat yang Ibu fotokopi maksud. Tas hijau, tinggi, putih, rambut dispike. (Kayaknya aku tahu, deh...)
“ Loh,
Cherry? Belum pulang, ya? “ Setelah melihatnya, aku langsung tahu alasan kenapa
jantungku berdetak cepat, dan juga alasan kenapa Ibu fotokopi menunjuk ke arah
dalam.
“ Hee...
Matahari?? Koq...?? Kenapa di sini? “ tanyaku kaget.
“ Lagi nunggu
anak – anak yang lain, buat ngerjain tugas sekolah... Ohya.. mana gambarnya? “
tanyanya menghampiriku.
“ Ah... ini.. ada di kantong..., “ Aku pun memberikan gambar itu padanya.
“ Makasih,
ya! Gambarnya keren banget... tapi koq kayaknya gambaran Jepang banget, ya...? “ katanya gembira
setengah bertanya, “ Oh iya... tindikan Matahari udah diambil sama guru baru, “
lanjutnya tiba – tiba memberitahuku setelah melihat ada gambar tindikan di
gambar yang kuberikan, “Huh! Dasar guru baru sialan!“ gerutunya di depanku.
Meskipun dia sudah marah – marah begitu, memangnya aku bisa ngembaliin
tindikannya? Masih bagus cuma diambil, kalau sampai berurusan sama BP bisa
berabe nanti. Tapi, melihatnya seperti ingin dihibur, aku hanya bilang,
“ Makanya
jangan pake ke sekolah... Kalo nanti berurusan sama BP yang repot ‘kan Matahari sendiri juga, kan? Lagipula... Matahari masih tetep keren
koq tanpa tindikan itu... “ kataku tanpa sadar. Mendengar itu, Matahari nyengir
lalu cemberut lagi. (Kayaknya hiburanku
nggak manjur, ya?) Dan tiba – tiba saja Matahari melemparkan senyum yang
belum pernah dia perlihatkan padaku selama ini dan berkata, “ Nanti gambarnya
Matahari pajang, ya? “ katanya dengan wajah yang gembira. Tiba – tiba Choco
datang,
“ Oi,
Matahari... Kayaknya keasyikan lo berdua bakalan ada yang ganggu nih..., “
katanya memberitahu, lalu pergi menjauh dari tempat fotokopi. Sebenarnya
Matahari berniat menyusul, tapi belum sempat Matahari pergi, Uerul tiba – tiba
datang, lalu menyapa Matahari.
“ Eh, ada
Matahari... koq belum pulang? Oh.. gue
tau, lo nunggu Cherry, ya? Chieee..., “ godanya pada Matahari. Kulihat Matahari
hanya menatapnya dengan tatapan dingin, kemudian tersenyum kecil dan berkata,
“ Jangan sok
tau. Gue di sini nunggu temen – temen gue. Lo sendiri ngapain? “ tanyanya
sambil kembali berjalan ke arahku yang masih berdiri diam di tempatku.
“ Yee.. gue ‘kan mau nemenin Cherry di sini... iya ‘kan,
Cher? “ tanyanya padaku yang lagi pesan
minuman. Aku nyengir.
“ Kalo
Cherry? Tadi Cherry ke sini ngapain? Apa mau beli kertas kado? “ tanya Matahari
padaku. Aku yang saat itu lagi nggak connect,
nggak ngerti apa maksud dari pertanyaan Matahari dan hanya menjawab dengan
gelengan kepala. Saat itulah, Uerul
langsung tertawa, dan berkata,
“ Wah, Cher! Kayaknya ada yang kepengen dibeliin kado, nih! Dah
beliin aja, Cher, “ suruhnya menunjuk ke arah kertas kado yang masih berantakan
sambil tertawa puas. Kulihat Matahari hanya tersenyum simpul dengan wajah yang
sedikit memerah. (Hee... Emangnya
Matahari beneran mau dikasih kado?)
“ Matahari
mau kado? Kalo gitu...”
“ Nggak! Kata
siapa? Mau aja Cherry percaya sama dia...., “ katanya memotong perkataanku.
“ Oh ya,
Matahari, masa’
tadi ada yang marah – marah sambil makan bakso, loh! katanya sih dia lagi BT
sama seseorang gara – gara lupa sama janjinya, “ Uerul melirikku.
“ Cherry
marah sama Matahari, ya? Kenapa? “ Matahari menatapku
seolah dia nggak bersalah. Walaupun agak berat, aku mulai bercerita.
“ Tadi waktu
jam istirahat, gue dateng ke kelas Matahari, sambil bawa tuh gambar. Tapi, kata
temen Matahari, Matahari lagi ke kantin. Trus gue titip pesen sama temen
Matahari itu. Gue bilang kalo gue nunggu di jembatan. Tapi, ternyata Matahari
pulang sama temen Matahari, gimana gue nggak bete? “ jelasku pelan tanpa
menatap wajahnya.
“ Matahari ke
kantin beli permen..., “ jawabnya singkat, “ Matahari kira Cherry nggak jadi ke
kelas. Soalnya Matahari juga udah nunggu. Terus tentang pesan itu, Matahari
emang nggak nerima. Tapi.. akhirnya kita ketemu juga ‘kan di sini? Cherry masih marah sama
Matahari? “ tanyanya dengan tatapan yang membuat jantungku kembali berdetak
cepat.
“ Ehm!! Wah, mesra
banget.. jadi iri nih..., “ kata Uerul yang lagi – lagi mengganggu suasana.
Tiba – tiba suara deru motor mendekat. Terlihat ada tiga cewek dan 3 cowok
termasuk Choco datang dengan motor. Melihat Choco, Uerul tiba – tiba jadi diam
seperti kehabisan baterai. Mata mereka sesaat beradu pandang, kemudian saling
buang muka.
“ Woi,
Matahari! Ayo, pergi! Dah, pada ngumpul nih! Apa lo masih mau ngobrol,
biar ntar gue jemput? “ usul Choco pada Matahari. Sesaat Matahari
menatapku, lalu mulai melangkah ke arah Choco di motor.
“ Nggak usah.
Gue udah selesai koq,
ayo, berangkat, “ ajaknya setelah dia
naik ke motor. Tiba – tiba dia menoleh ke arahku, dan berkata dengan gerakan
bibirnya yang tipis,
“ Matahari pergi
dulu, ya? Sorry yang tadi....
Makasih gambarnya, ya? Gue bakal simpen.. Dadah..., “ katanya sambil
melambaikan tangannya. Setelah Choco tersenyum ke arahku, motor pun mulai
bergerak meninggalkan tempat foto kopi. Begitu juga aku yang mulai berjalan
pulang setelah menghabiskan
minumanku.
Rasanya hari ini, aku jadi lebih dekat dengan Matahari lebih dari yang biasanya .
Keesokan
harinya, meski Matahari bilang kalau dia nggak mau kado dari aku, tapi dari
awal aku memang berniat untuk memberinya kado. Hanya saja, sekarang aku jadi
bingung karena aku tak tahu apa yang disukai Matahari. Awalnya aku berniat
memberinya sebuah kalung. Tapi Matahari itu fashionable
(termasuk metroseksual juga....), jadi bukan mustahil kalau dia punya
banyak koleksi aksesoris khas cowok. Seandainya aku memberinya sebuah kalung,
bagaimana kalau dia sudah punya banyak. (Hmm...
masa’ mau ngasih kado, mesti tanya dulu sama orangnya?... Tapi....)
RRRR..... RRRR..... Akhirnya kuputuskan juga
untuk menelponnya meski terpaksa. Sesaat kemudian terdengar suara Matahari
seperti habis bangun tidur.
“ Hallo?
Siapa nih..., “ katanya malas.
“ Ini
Cherry... Ganggu, ya? “ tanyaku was – was.
“ Ngg..
nggak. Kenapa? “ tanyanya lalu diam.
“ Ini.. Mau
nanya... Matahari suka kalung, ga? “ tanyaku langsung, tanpa basa – basi dulu
seperti biasa karena sepertinya aku telah mengganggu waktunya.
“ Suka,
kenapa? Ini juga lagi make..., “ katanya memberitahu.
“ Nggak..
Cherry kepengen ngasih Matahari kalung... “
“ Dalam
rangka apa, nih? “ tanyanya.
“ Ngg..
Mungkin sebagai hadiah ulang tahun? “
“ Ha? Nggak
usah kali..., “ tolaknya.
“ Kalau gitu,
mungkin sebagai kenang – kenangan? “ tanyaku lagi.
“ Kenang –
kenangan? Emangnya Cherry mau ke mana? “ tanyanya dengan nada sedikit kaget, “
Nggak usah repot – repot, kali... Gambar dari lo itu udah jadi kado buat gue.
Jadi, nggak usah repot nyari kado. Ya? Cherry kasih aja ama yang lain..., “
katanya lagi dengan nada yang tiba – tiba berubah jadi dingin.
“ Apa?
Maksudnya apa? “ tanyaku nggak ngerti,
“ Matahari
marah, ya? “ tanyaku memastikan.
“ Nggak.
Tapi, lo lagi sama cowok, kan?
Kasih aja ama dia..., “ katanya datar.
“ Ha? Nggak koq! Matahari koq jadi marah? “
“ Udah, ya? “
pintanya.
“ Ha? Ya
udah... Dah... ” Aku pun menutup telpon dan berpikir sebentar (Matahari kenapa
lagi sih???.....)
Hari – hari
kemudian terus berlalu tanpa ada kejadian penting yang terjadi. Seminggu... dua
minggu... tanpa terasa sudah dua minggu seperempat aku
tidak menelponnya. Kangen... sudah pasti, apalagi setelah aku jarang melihatnya
di sekolah, karena jadwal pelajaran yang padat. Akhirnya hari minggu,
kusempatkan diriku pergi ke wartel untuk menelponnya. Dering telpon pun
berbunyi. Memang agak lama, tapi akhirnya telpon pun diangkat. Terdengar suara
Matahari,
“ Hallo. “
“ Matahari,
ya? Ini gue, Cherry. Ganggu, ga? “ tanyaku.
“ Nggak.
Kenapa? “ tanyanya balik.
“ Mau ngobrol
aja. ‘Kan
udah lama nggak telpon. Kangen, ga? “ tanyaku bercanda. Sesaat terdengar dia
tertawa, lalu berkata,
“ Nggak
tuh... Gimana mau kangen kalau tiap malam di sms-in. Payah nih..., “ jawabnya
dengan nada mengejek. Dan begitulah, telpon hari ini lagi - lagi membuatku
sangat senang, karena Matahari banyak bercerita tentang dirinya. Hobbynya, grup
band yang dia suka, lagu yang nggak dia suka, sampai perjalanannya menjadi
seorang musisi (Drummer, Gitaris,
Bassist, dan vokalis...!) Dia juga sempat bilang kalau dia paling nggak
suka sama orang yang pakai topeng buat nutupin pribadinya yang jelek. ‘Kalo udah jelek ya udah jelek aja!‘
begitu katanya. Mungkin dia ingin bilang ‘Just
Be Your Self’. Selain itu, hari ini adalah hari pertama kalinya aku
mendengarnya menyanyi buatku, bukan cuma satu lagu saja tapi 3 sekaligus. Suaranya pun terdengar seperti sudah
terasah dengan baik. Akhirnya setelah puas ngobrol, kami pun mengakhiri percakapan
hari itu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tanggal 16
Agustus pun datang. SMU K.U seperti biasa merayakan 17-an dengan mengadakan
berbagai lomba seperti tahun lalu. Hanya saja sekarang tidak ada lomba merias
wajah, tapi diganti dengan lomba band. Tentu saja ini dijadikan ajang unjuk
kebolehan di depan cewek – cewek. Segala macam trik di pakai untuk menarik
perhatian juri, tapi masih dengan cara sportif tentunya. Sayangnya, Matahari
tidak ikut lomba ini, katanya anak cowok di kelasnya nggak kompak jadinya dia
menggundurkan diri sebagai calon gitaris kelasnya.
Terik
matahari yang lagi “lucu – lucunya” tidak dihiraukan oleh para penonton yang
keringatnya sudah membasahi baju seragam. Tapi, meskipun aku termasuk penonton di
situ, aku tidak begitu menikmati lomba band yang sudah seperti konser perdana anak
SMU K.U itu. Karena hari ini adalah hari yang dijanjikan oleh Matahari untuk
berfoto bersamaku, —seperti yang dikatakannya waktu aku telpon kemarin. Kepala
udah celingak – celinguk ke sana
kemari, aku masih belum menemukannya di kerumunan orang. Alhasil aku keluar dari kumpulan manusia itu
dan mulai mencarinya di sekitar lapangan. Tapi yang kutemukan malah teman
se-genkku yang lagi asyik ngegosip di pinggiran lobby. Karena tak ada tujuan
yang pasti, aku memutuskan untuk berkumpul bersama mereka.
“ Oi,
Cherry!! Sini! Ngumpul bareng kita!! “ ajak Choki yang lagi ngipas – ngipas
gara – gara kepanasan.
“ Kenapa lo?
Koq, kayak orang bingung gitu? “ tanya Ika setelah melihatku berjalan sambil
celingak – celinguk mencari Matahari.
“ Gue tahu!
Lo pasti nyari dia kan?
“ tebak Uerul setelah aku duduk di sampingnya.
“ Sok tahu
lo! Emangnya dia masuk? “ tanyaku memastikan.
“ Masuk. Tadi
gue lihat dia di deket UKS bareng sama pacarnya,
“ jawab Uerul yakin. Mendengar pembicaraan kami, anak – anak lain yang tidak
tahu jadi bertanya, “ Lo berdua ngomongin siapa, sih? Cher,
lo lagi cari siapa? Cerita donk! “ pinta mereka.
Belum sempat
menjawab pertanyaan mereka, tiba – tiba Uerul menarik tanganku dan membawaku ke
arah UKS, tanpa berkata apa – apa. Entah kenapa jantungku lagi – lagi berdetak
cepat, meski tak kulihat Matahari ada di sekitarku.
“ Rul, lo ngapain
bawa gue ke sini? “ protesku sambil melihat sekelilingku kalau – kalau ada
Matahari.
“ Ssst! Diem
aja! Gue tahu lo ada urusan sama Matahari. Makanya gue tarik lo ke sini, “ jelas
Uerul. Kulihat di sekitar UKS banyak orang yang berkumpul seperti ada sesuatu
di sana. (Ada apa, ya? Jangan – jangan Choco pingsan
lagi....) Tapi, kekhawatiranku hilang ketika kulihat Choco ada di luar UKS
dalam keadaan sehat. (Akh! Gila! Ada Matahari!!) Langsung
saja rasa gugup menyergapku, mana hari ini Matahari lagi keren – kerennya pula.
Dia pakai sweater hijau, tas hijau, untung rambutnya nggak ikut hijau. Tapi,
sayangnya, lagi – lagi dia mengacuhkanku begitu saja. Kesel sih iya, tapi....
“ Eh, Cherry?
Koq? Dari tadi ada di sini? “ tanya
Matahari tiba – tiba setelah aku memutuskan untuk melangkah meninggalkan UKS.
Kaget, aku menoleh dan melihat ada Matahari di hadapanku.
“ Hah? Eh,
oh... Ng-nggak koq! Baru nyampe...., “ jawabku asal. Kulihat Matahari terus
menatapku, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“ Oia, jadi
nggak fotonya? “ tanyaku akhirnya. Kulihat dia tersenyum, lalu diam.
“ Gue mau
makan dulu di luar. Ntar balik lagi, tunggu aja, “ katanya singkat, lalu
melangkah pergi dengan Choco. Setelah melihatnya keluar gerbang menuju tempat
makan, aku memutuskan untuk berkumpul dengan Adit cs, daripada dengan genkku, —karena aku tak melihat batang hidung
mereka di tempat sebelumnya, begitu juga Uerul yang tadi bersamaku. Setelah
melihat Adit cs di kumpulan manusia –
manusia gila yang sedang moshing, aku
memutuskan untuk menunda bergabung dengan mereka.
Beberapa saat
kemudian, moshing mereda. Setelah
melihat Adit, —tanpa kedua temannya, aku
berjalan menuju ke arahnya.
“ Adiitt!!!!
“ teriakku memanggilnya. Kulihat dia mencari – cari sumber suara. Setelah
melihatku melambaikan tangan, dia berjalan menuju ke arahku dengan susah payah
keluar dari kumpulan orang.
“ Apaan? Koq
lo sendirian aja? Mana anak – anak yang lain? Gila, panas banget! Ada minuman nggak? “
tanyanya beruntun menghujaniku. Karena kebetulan aku membawa sebotol minuman
dingin, langsung saja kuberikan padanya. Dengan satu syarat, “ Jangan diabisin!
“ perintahku.
“ Ngomong –
ngomong lo mau ngapain di sini? Ikutan moshing?
“ tanyanya meledek sambil mengembalikan botol kosong padaku. Kayaknya dia nggak
dengar apa yang tadi kubilang supaya nggak menghabiskan minumanku.
“ Dasar! Lo
mau gue ke injek, ya? Gue nungguin Matahari, nih! “ kataku menjelaskan.
“ Oh... trus
mana Mataharinya? “ cetusnya polos.
“ Lagi makan.
Tapi katanya sih mau balik lagi, “ terangku, “ Oia, lo liat anak – anak gue
nggak? “
“ Anak lo?
Sejak kapan lo punya anak? Ama siapa?? “ katanya pura – pura nggak ngerti.
“ Serius...
liat nggak? “ tanyaku sekali lagi.
“ Nggak. Udah
ah, gue mo nonton, nich! Mau nonton nggak? Ada yang imut tuch! Mumpung udah lumayan
nggak terlalu padat, koq! “ ajaknya. Memang sudah agak renggang daripada yang
tadi. Sekarang tinggal orang – orang gila kelas tiga yang udah siap goyang
dengan wig warna – warni di kepalanya.
“ Oke deh.
Tapi, jagain gue ya! “ kataku wanti – wanti takut kena moshing.
Mungkin telah
sejam berlalu, karena matahari sudah bersinar dengan semangat ’45 menyinari
bumi. Itu artinya sudah sekitar jam ½ 12 atau jam 12 tepat. Tapi, Matahari
belum terlihat batang hidungnya. Lagipula, lapangan sudah mulai terlihat sepi,
karena panas yang menyengat. Tapi, meski begitu, entah kenapa anak – anak kelas
tiga terutama yang cowok, masih bersemangat bergoyang yang diiringi dengan lagu
dangdut. Begitupun aku, yang masih berdiri di lapangan dibawah lindungan tubuh
Adit dari panas yang menyengat. Sesaat kulihat ada Baqõ di dekat meja para juri,
sedang melambaikan tangannya ke arahku.
“ Apaan? “
tanyaku. Baqõ nggak jawab. Dia hanya menggerakkan matanya ke arah belakangku.
Aku sama sekali nggak ngerti apa maksudnya. Belum sempat aku menoleh, tiba –
tiba di sampingku udah ada Uerul yang dari tadi menghilang entah kemana.
“ Loh,
Cherry? Koq, lo masih ada di sini? Belum pulang? Ngapain? “ tanyanya bergerombol.
“ Elo! Gue
cariin dari tadi! Ke mana lo?! “ bentakku.
“ Gue kira lo
dah pulang. Tadi gue makan dulu bareng ama anak – anak di kantin. Elo sendiri? “
tanyanya lagi.
“ Biasa...
gue lagi nunggu yayank gue..., “ jawabku
asal.
“ Matahari? Emangnya
dia kemana? “
“ Tadi sih,
katanya mau makan dulu. Tau deh, udah pulang kali? “ jawabku tanpa melihat
Uerul, karena pandanganku lagi ke arah Baqõ yang sibuk dengan matanya. ” Apaan
sih? “ tanyaku semakin nggak ngerti bahasa Baqõ yang ditambah lagi dengan gerakan bibir maju
mundur. Tapi akhirnya aku mengerti setelah aku berhasil menoleh ke belakangku. (Matahari??!!!!)
“ Eh,
Matahari... Udah dari tadi di sini? “ tanyaku sedikit gugup mengingat
perkataanku tadi.
“ Lumayan, “
jawabnya sambil tersenyum, “ Udah siang, koq belum pulang? Nunggu siapa? “
tanyanya.
“ Nunggu
Matahari. Eh! Nu-Nunggu... Ng.... ngeliat itu... main band....! Iya, band! “
jawabku berantakan. Mukaku saat itu pasti udah kayak kepiting rebus. Aku tak
berani menatap wajahnya. (Aduh... mukaku panas banget nih....)
“ Yo,
Matahari! Tinggal dulu ya? Gue tunggu di tempat biasa, “ kata Choco
memberitahu, kemudian pergi setelah mendapatkan senyuman Matahari sebagai
jawaban. Tanpa sengaja, pandangan pun kami beradu. Saat itu, waktu terasa
berhenti. Detik terasa jam. Sampai akhirnya, lagi – lagi....
“ Woy!!
Bengong aja! “ Uerul tiba – tiba saja
datang dan membuyarkan semuanya. Segera saja dengan kompaknya, kami berdua sama
– sama buang muka.
“ Eh, lo juga
masih ada, Rul.... Kirain gue, lo dah pulang...., “ kata Matahari sambil
tersenyum meledek.
“ Maksudnya
apa nih?! Ga seneng ya gue di sini?! “ balas Uerul nggak kalah jutek, “ Udah
ah! Kalian jadi foto nggak, nih? Sini biar gue fotoin!! “ katanya menawarkan
diri. (Koq, dia tau kalau kita berdua
janjian mau foto bareng???....) Kualihkan pandanganku ke arah wajah
Matahari. Kelihatan sekali kalau dia nggak setuju.
“ Ih, keren!
“ kataku tanpa sadar setelah melihat ada gambar naga hitam di punggung tangan
Matahari, “ Siapa yang gambar? “ tanyaku sambil menatap gambar itu dengan
seksama —tanpa menyentuhnya.
“ Gue yang
gambar. Keren, kan!
“ katanya bangga. Dengan senyuman mantap aku menganggukkan kepalaku.
“ Woy! Jadi
nggak fotonya? Gue udah pegel nih! “ teriak Uerul. Ternyata dia sudah mengambil
posisi yang berjarak ±3 meter dari kami berdua.
Sambil setengah tertawa, aku mulai berjalan menjauh dari Matahari.
“ Loh, Cher? Lo ngapain? Fotonya berdua donk! “ (Apa? Berdua? Nggak salah?)
“ Ah, nggak
usah...., “ kataku sambil melihat raut wajah Matahari yang seperti biasa, nggak
ada reaksi.
“ Buruan! “
Sepertinya Uerul bener – bener nggak sabar ingin segera mengambil foto kami.
Dengan terpaksa, aku mulai melangkah mendekat ke arah Matahari.
“ Yang mesra
donk!! Kurang deket!! Matahari senyum donk!!! “ teriaknya bersemangat.
Kulangkahkan kakiku mundur sampai tak kusadari kalau sudah menyentuh tubuhnya.
Suasananya begitu membuat jantungku berdetak kencang di tambah lagi aku bisa
mendengar detak jantung Matahari di telingaku.
“ Nah! Say cheese!!!! “ Sepertinya satu foto telah selesai. Aku dan
Matahari mulai berjalan menjauh, tapi tiba – tiba Uerul berteriak lagi, “ Eh,
belum selesai!! Sekali lagi! “ katanya memberitahu. Kami pun berfoto bersama
lagi, meskipun dengan jarak jauh. Foto terakhir adalah foto Matahari sendiri,
dan tentu saja yang mengambilnya adalah aku sendiri.
“ Keren
banget....! “ kataku tanpa sadar. Entah terdengar oleh
Matahari atau tidak, tapi dari balik lensa kamera kulihat dia tersenyum. Foto
yang dijanjikan pun telah terlaksana meskipun ada sedikit gangguan. Setelah
itu, kami berdua memutuskan untuk pulang, karena terik matahari yang semakin
menyengat. Begitu pun dengan Matahari yang pergi ke tempat di mana Choco sedang
menunggunya.
Keesokan
harinya, tanggal 17 agustus diadakan upacara bendera sesuai tradisi. Tapi upacara
tidak berjalan dengan lancar karena anak muridnya tidak tertib mengikutinya,
apalagi di saat ada pertunjukan marching band. Anak – anak cowoknya langsung
maju ke lapangan dan merusak barisan upacara yang sepertinya telah susah payah
disusun oleh para guru. Meski begitu para guru tidak ada yang mengomel seperti
biasanya, mungkin karena hari kebebasan.
Setelah
selesai upacara, gengku beserta Adit cs,
memutuskan untuk nongkrong dulu di kantin sekalian makan. Di sana, Uerul memberitahukanku sesuatu.
“ Cher, lo tau nggak? “ katanya mulai berbicara.
“ Nggaaak...!
“ potong kami serentak bersamaan.
“ Gini, waktu
lo foto bareng sama dia kemaren. Lo sadar ga? “ tanyanya lagi tanpa
menghiraukan gurauan kami semua.
“ Emangnya
apaan? “ tanyaku menanggapi.
“ Jadi lo ga
tau ya? Dia ‘kan
meluk pinggang lo, “ jelasnya memberitahu. Mendengar itu, jelas aku tak percaya
karena aku nggak merasakan apapun, kecuali jantung yang berdetak cepat.
“ Bo’ong
banget! Sok tau lo. Gue nggak ngerasa apa – apa, koq! “ protesku.
“ Coba aja lo
liat di foto. Udah dicuci belum? “ tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku. Klise
foto itu masih terpasang di dalam kamera, kebetulan masih beberapa film kosong
yang belum terpakai.
“ Filmnya
udah abis belum? Kalo belum kita foto – foto dulu, yuk! “ ajak Adit tiba –
tiba. Mendengar usulan itu, semuanya melihat ke arahnya dengan senyuman
meledek.
“ Yee...
dasar! Itu sih maunya lo aja. Iya kan?
“ kata Panji meledek.
“ Iya, nih...
mentang – mentang lagi pakai seragam lengkap PasKib jadi belagu, “ ledek Baqõ
sambil memukulnya pelan.
“ Iya, Iya! ‘Kan jarang – jarang gue
pakai seragam kayak gini, “ kata Ika ikutan. Memang hari ini, mereka berdua
menjadi Petugas Pengibar Bendera yang tak pernah mereka ikuti sebelumnya.
Berhubung peristiwa seperti ini jarang terjadi, aku menyetujuinya. Karena itu
setelah pulang sekolah, mereka mau pergi ke rumahku untuk berfoto ria.
Matahari
mulai memancarkan sinar orange-nya, jam 5 lewat seperempat. Anak – anak yang
tadi datang berfoto telah pulang setelah puas menghabiskan isi film di
kameraku. Kulihat pulsa di Hpku, masih cukup untuk menelpon Matahari. Maka,
“ Matahari? “
tanyaku setelah mendapatkan jawaban dari seberang telpon.
“ Ngapain
nelpon? Ini Cherry ‘kan?
“ katanya rada dingin.
“ Soal...
yang konser di Kemayoran itu. Matahari main jam berapa? “ tanyaku rada takut
dengar suara Matahari yang lagi dingin.
“ Sekitar jam
8-an. Kenapa? “ tanyanya dengan nada yang udah nggak terlalu dingin.
“ Nggak,
cuma- “ Belum selesai aku bicara, tiba – tiba Matahari memotong,
“ Cherry
nggak usah ikut, “ katanya, “ Matahari main sampai malam, ntar kalau Matahari
naik stage, enggak ada yang jagain
Cherry, lagipula Matahari ntar nginep di situ. Bisa bahaya kalau Cherry ikut
nginep, ntar diapa - apain. Jadi nggak usah aja, “ lanjutnya. Mendengar
perkataannya aku jadi terdiam. (Matahari
perhatian banget....) wajahku kembali bersemu merah . Sampai kudengar Matahari memanggilku
kembali dari dunia maya,
“ Woy! Koq
jadi diem, sih? Ada
lagi nggak yang mau diomongin? “ tanyanya kembali jutek.
“ Nggak, nggak
ada lagi, koq. Cuma nanya soal itu aja, “ kataku takut.
“ Ya udah,
dah....! “ Telpon pun ditutup. Sepertinya mood Matahari lagi jelek, nggak
biasanya dia sekasar itu denganku, meskipun kadang – kadang rada dingin. Tapi hal
itu nggak terlalu aku pikirkan, hingga keesokan harinya terjadi sesuatu yang
membuatku bingung, plus sedih, plus pusing, plus semuanya.
Setelah
pulang sekolah, seperti biasanya kalau ada pulsa plus waktu aku menyempatkan
diri untuk menelpon sumber sinar dalam hari – hariku. Dan hari ini, karena ada
sedikit urusan, aku menekan nomor telpon rumahnya. Dering telpon pun terdengar,
lalu,
“ Halo..! “
suara sang kakak yang entah kenapa selalu jutek menggaungi telpon.
“ Halo,
Mataharinya ada? “ tanyaku dengan jantung yang berdetak kencang tanpa kutahu
sebabnya.
“ Mataharinya
nggak ada. Ng... nggak tahu sampai jam berapa. Kalau nggak penting, tolong
nggak usah telpon. Makasih. “ KLIK! Dan telpon pun ditutup.
Aku yang masih terbengong – bengong, menatap Hp-ku sendiri. Kejadian itu terasa
begitu cepat, dan masih terasa ngambang
di pikiranku. Sedetik kemudian, aku tersadar. Mukaku panas, jantungku berdetak
cepat, dan alhasil keringat pun mengucur. Perkataan datar nan dingin itu masih
menggema di kepalaku. Lagi – lagi hal seperti ini terjadi lagi, dan waktu itu
Matahari berhasil membuatku lebih baik setelah mendengar perkataannya. Tapi,
rasanya perkataan sang kakak baru saja melekat tepat dalam hatiku. Dalem
banget kata – katanya.... (Apa yang
terjadi? Kenapa kakaknya jadi tambah lebih dingin dari pada biasanya?? Apa
matahari yang memintanya????........ Duh, koq jadi kayak gini??) Setelah
berhasil menenangkan pikiran, perasaan dan hatiku, aku memutuskan untuk bicara
dengan Matahari di sekolah. Entah apa yang membuatku mempunyai keberanian
seperti itu, tapi itulah yang akan kulakukan.
Pagi datang
dengan cuaca yang kurang mendukung. Agak mendung dan dingin. Setelah menaruh
tas di kelas, aku melangkahkan kakiku menuju kelas 2IPS4. Entah sudah berapa
kali aku menelan ludah untuk menenangkan perasaanku. Pikiranku pun kosong, yang
kudengar hanyalah jantungku yang berdetak cepat. Lalu,
“ Matahari...
bisa keluar sebentar, nggak? “ pintaku setelah menemukannya di kelas lagi
mengerjakan tugas. Wajahnya terlihat terkejut, tapi tetap dingin.
“ Kenapa?
Koq, pagi – pagi nyamper ke kelas? “ tanyanya datar. Tak ada ekspresi di
wajahnya yang terlihat segar.
“ Matahari,
nanti pulang lo bisa nunggu gue setengah jam, nggak? Terserah di mana aja. Ada yang pengen gue
omongin, “ kataku sambil menatap jelas matanya. Tiba – tiba, senyum mengembang
di wajahnya dan berhasil membuat wajahku bersemu merah.
“ Mau ngomong
apa? Kenapa nggak sekarang? Ntar pulang nggak bisa, soalnya ntar gue nggak ada
temen pulang, “ jawabnya tenang. Mendengar itu, meskipun agak kecewa, aku memakluminya
karena rumahnya lumayan jauh dari sekolah. “ Gimana kalau istirahat? Ntar
datang aja ke kelas, “ tawarnya kemudian. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya
lalu kembali menuju kelasku karena bell sudah memanggil. Saat kembali ke kelas,
Uerul menatapku, menghampiri lalu berkata,
“ Dari mana
lo? Tadi gue lihat lo datang dari koridor anak kelas 2. Jangan bilang kalau lo
ketemu sama Matahari, “ katanya agak aneh. Tanpa menatapnya, aku terus berjalan
tanpa menanggapi pertanyaannya. Lagipula, aku tak mau melibatkannya dalam
urusan yang satu ini. Cukup aku saja yang menyelesaikannya. Aku melangkah
menuju Bella, temanku yang tomboy, dan kayaknya nggak mau tahu urusan orang,
alias cuek and rada sableng.
“ Ntar
istirahat temenin gue ke kelas 2IPS4, ya? Ada urusan sama satu manusia, “ kataku pelan dan datar. Dengan cepat dia
menoleh, lalu menatapku dengan tatapan seribu makna, dan senyuman yang
mencurigakan, sambil berkata,
“ Ciee...
Ceritanya mau ketemu soul mate, nih?
Iya ntar gue temenin, tapi abis itu gue tinggal, ya? Gue nggak mau ganggu, “
katanya sambil setengah tertawa. Dan itulah yang terjadi, 4 jam pelajaran
terasa sangat singkat, sehingga tanpa kusadari, bell istirahat pun berbunyi.
Sesuai rencana, aku dan Bella berjalan menuju kelas Matahari. Koridor, seperti
biasa sangat ramai. Perlu usaha keras agar terbebas dari kumpulan penghuni
koridor kelas 2, yang memenuhi jalan. Dan akhirnya,
“ Woy,
Matahari!! Ada
yang nyariin, tuh! “ panggil temannya yang kebetulan ada di depan pintu dan
melihatku lagi terhimpit oleh badan – badan yang tak berbau sedap anak kelas 2.
Dengan cepat dan tanpa pamit, Bella langsung pergi meninggalkanku di depan
kelas Matahari. Nggak beberapa lama kemudian, Matahari muncul. Jantungku
berdetak cepat melihatnya berjalan ke arahku dengan tatapannya yang tajam.
“ Kirain
nggak jadi dateng, “ katanya basa – basi.
“ Lagi
ngapain? “ balasku.
“ Lagi nyuruh
temen – temen ngerapiin rambut gue pakai gel rambut, keren ‘kan? “ katanya bangga sambil memperlihatkan
rambutnya yang mengkilap hitam, “ Oia, mau ngomong apaan? “ tanyanya.
“ Kemaren
sore, Matahari ada di rumah? “
“ Ada. Kenapa? Gue lagi
tidur, “
“ Kemaren gue
telpon, trus kakak lo bilang kalau lo lagi nggak ada, “ kataku mulai
menjelaskan.
“ Oh, lo
telpon, ya? Gue nggak tau. Nggak ada yang bilang, “
“ Waktu itu,
kakak lo bilang kalau gue nggak usah telpon lo lagi. Kenapa...? Kayaknya kakak
lo selalu jutek kalau gue telpon lo....., “ jelasku memberitahunya. Entah apa
yang membuatku berani berkata seperti itu padanya. Lalu, kudengar dia
menjawabnya.
“ Cherry
digituin lagi, ya? Jangan diambil hati... mungkin itu pembalasan dendam dia
sama gue. Soalnya gue suka ngerjain cowok – cowok yang nelponin dia. Mungkin
karena itu, dia balas dendam. Sorry ya...., “ katanya datar tanpa senyum yang
terukir di wajahnya siang itu. Sejenak aku menyadari, di sekitarku ada yang
berbisik – bisik sambil menatap sinis padaku. “ Lihat, tuh...! Pacarnya yang
baru...., “ kata salah satu dari mereka yang sempat kudengar. Aku merinding. (Dasar anak kelas 2...!Wuu…!) Tiba – tiba bell masuk berbunyi
dan menghalau pikiran kesalku.
“ Cher..., “ panggil Matahari pelan.
“ Hah...? “
“ Entar
pulang jam berapa? “ tanyanya tiba – tiba.
“ Eh? Pulang
jam setengah 3-an...., “ jawabku heran, “ Kenapa? “ lanjutku.
“ Ah,
enggak... Ya udah, ke kelas sana,
udah bel...., “ katanya menyuruhku, “ Hati – hati, ya..., “ lanjutnya lagi
sebelum aku melangkah pergi. Sambil tersenyum, aku menganggukkan kepalaku, dan
melambaikan tangan. Sesampainya di kelas, Bella langsung menanyaiku macam –
macam. Tapi, aku tak ingin membicarakannya karena rasanya masih ada yang
menjanggal di pikiranku, —entah apa.
Seminggu
setelahnya, aku sama sekali tidak melihatnya di lingkungan sekolah. Dan hari
ini, kebetulan aku melihatnya dari jembatan ketika kelasnya ada pelajaran olah
raga di lapangan. Tanpa kusadari, mata kami beradu. Dalam waktu hitungan
sepersekian detik, dia langsung membuang muka. Hal itu cukup membuatku
terkejut, karena biasanya kalau bertemu, kami akan sama – sama tersenyum. (Kenapa? Perasaan koq nggak enak.....) Karena kejadian itu, aku jadi tidak
konsentrasi belajar, pikiranku melayang dan penuh pertanyaan alasan mengenai sebab
dinginnya Matahari dan sikap anehnya. (
Matahari kenapa? Emangnya aku ada salah sama dia, ya? Tapi... apa..??)
“ Dia cemburu
kali sama lo, gara – gara lo deket sama cowok lain..., “ kata Ika berpendapat,
setelah aku bercerita padanya.
“ Masa’...?
Bisa juga cuma perasaan lo aja, Cher..., “ kata
Bella.
“ Bisa
aja.... Tapi..., “ kataku masih sanksi.
“ Coba lo
pikir – pikir lagi semua kejadian yang udah lewat, yang kira – kira bisa bikin
Matahari marah sama lo... Apa aja..! “ kata Ika menyarankan. Aku menurut.
Setelah pulang sekolah, ganti baju, dan makan, aku langsung masuk kamar dan
bergelut dengan pikiranku sendiri. (Apa
ya... yang kira – kira bisa bikin Matahari marah...?? Hmm... Kayaknya dia mulai
dingin semenjak foto bareng, terus waktu telpon dia tentang festival, dia rada
dingin.... tapi, aku tetap sms dia tiap malem, Yah, walaupun cuma sekedar say
good night...... Terus, ke rumah dia, aku naik motor sama Adit, tapi gara –
gara lupa alamatnya, jadi cuma keliling perumahan. Itu juga aku kasih tau sama
dia.... klimaksnya waktu telpon dia tanya tentang festival Jepang, aku didinginin
banget....! Dingin puol…! Hmm.... Apa itu ya....?? Waduh, jadi pusing
sendiri......) Setelah berpusing – pusing ria selama
satu jam kurang, aku lebih memilih untuk menjalaninya saja. What will be will be.... gitu aja.
Setelah
seminggu lewat, aku sama sekali tidak membicarakan hal itu, sama sekali! Hingga
akhirnya, salah satu teman lamaku bernama Maria, bilang, “ Cherry, lebih baik
lo telpon dia sekarang atau nggak sama sekali supaya masalah itu selesai... “ sambil
memegang pundakku. Rasanya ingin sekali, bahkan sudah dari hari – hari yang
lalu, aku ingin menelponnya. Tapi, entah kenapa selalu saja ada suara – suara
di dalam pikiranku yang menyuruhku agar tidak menelponnya dalam waktu dekat
ini. Tapi, akhirnya aku menolak menuruti suara itu, dan lebih menyetujui saran
Maria. Kulangkahkan kakiku menuju wartel terdekat, kutekan nomor telponnya, dan
nada dering pun terdengar. Kurasakan jantungku berdetak dengan sangat cepat. (Perasaanku nggak enak...) Tak lama, ada
yang mengangkat. Ternyata Ibunya. Matahari pun dipanggilnya. Jantungku berdetak
semakin cepat.
“ Ya, kenapa?
“ tanya Matahari singkat menjawab telpon.
“ Matahari?
Ng... Boleh tanya nggak...? “ tanyaku
sambil menelan ludah.
“ Nanya apa?
“ balasnya singkat.
“ Matahari
lagi marah, ya? “
“ Nggak. Sama
siapa? “ tanyanya dingin.
“ A, ama....
Che-Cherry...? “ tanyaku takut.
“ Nggak, “
jawabnya singkat.
“ B, bener? “
“ Iya! Emang
kenapa? “ tanyanya datar.
“ Koq,
dingin, sich? “ tanyaku memberanikan diri.
“ Hah? “
“ Koq,
Matahari jadi dingin...? “ tanyaku sekali lagi.
“ Emang dari
dulu kayak gini, kali! “ katanya dengan nada yang agak membentak. Mendengar
itu, jantungku kembali berdetak cepat, bahkan lebih cepat, karena itu, aku
memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Begitupun dengan Matahari, yang dengan
cepatnya langsung menutup telpon. Setelah membayar wartel, aku kembali bergelut
dengan pikiranku. (Matahari nggak marah,
tapi kenapa sikapnya tuh dingin banget....? Dia bilang kalau dia udah dari dulu
kayak gitu, padahal selama ini sikapnya tuh baik – baik aja.... Pasti ada yang
bikin dia jadi dingin gitu. Hmm... ) Keesokan harinya, tiba – tiba Matahari
ada di koridor kelas tiga di samping tembok kelasku. Spontan, aku langsung
melemparkan senyum. Tapi, entah kenapa dia langsung buang muka, lalu pergi
dengan anak cowok kelas 3IPA1 (Apa -
apaan tuh?)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Entah sudah
berapa hari, atau mungkin berapa minggu, aku tak lagi berbicara dengan
Matahari. Meski sering kulihat dia di sekolah, tapi aku sama sekali tak ingin
membicarakannya. Ucapan dan sikapnya yang dingin berhasil membuatku agak
menjauh darinya. Aku tak ingin sikapnya lebih dingin lebih daripada itu,
lagipula wajahnya terlihat begitu dingin sepanjang hari.... Tiba- tiba, nada
dering sms berbunyi, private number. Cherry, coba lo
telpon Matahari deh, tadi gue nelpon dia, and ada sesuatu. Coba deh!! Aku langsung
mengernyitkan dahi. (Siapa nih? Sesuatu??
Telpon nggak, ya?? Perasaanku sih lagi nggak pa-pa.... Tapi, rada takut juga
sih.... Tapi, penasaran..... )
“ Halo...? “
suara ngebass di seberang menjawab. Suara seperti itu, sudah pasti dia.
“ Halo, bisa
bicara dengan Matahari? “ kataku memastikan. Tiba – tiba terdengar dia tertawa,
“ Udah lupa
sama suara Matahari, ya? Koq, ngomongnya gitu?... Hahaha..., “ jawabnya sambil
tertawa renyah. Walaupun masih deg-degan, aku bersyukur karena dia udah nggak
dingin lagi kayak waktu itu. Kemudian terdengar dia berbicara lagi,
“ Tumben nih
nelpon... Ini Cherry, kan? Kenapa..? Udah kangen, ya? “ katanya
lagi.
“ Matahari
lagi seneng, ya? Kayaknya ceria banget...., “ tanyaku agak heran.
“ Ah, nggak.
Biasa aja, koq..., “ jawabnya, “ Oia, Matahari ganti nomor. Soalnya akhir –
akhir ini banyak yang iseng neror, gitu..., ‘” lanjutnya memberitahu.
“ Ooh...
tapi, Matahari nggak mikir kalau yang neror itu gue, kan...? “ tanyaku bercanda.
“ Hah? Ya,
nggak lah..! Emangnya itu Cherry, ya? “ balasnya.
“ Yee...
kurang kerjaan banget sampai neror orang keren kayak lo..., “ kataku bercanda
sambil setengah tertawa. Entah apa yang merasukiku hingga tanpa kusadari, aku
berkata padanya,
“ Matahari...
besok ‘kan
hari senin, jadi ada nomat... Kita nonton yuk...! “ ajakku tanpa sadar.
“ Hah? Besok?
Ngg.... boleh juga.... jam berapa? “ tanyanya.
“ Ng...
gimana kalau jam 5? Soalnya besok anak kelas 3 pulang jam 4.... “
“ Hah, jam
5?.... “ katanya agak kaget, “ Ng... ya udah..., “ lanjutnya lagi. Meski kuajak
tanpa kusadari sendiri, aku merasa senang karena besok aku bisa nonton berdua
dengannya. Dan lagi ketika, aku meminta nomornya, dia bilang akan memberinya di
dalam bioskop saja. Tapi, ada yang menganjal di pikiranku. Ketika tadi aku
bilang nontonnya jam 5, sepertinya dia terdengar terkejut, lalu menyetujui
ajakanku dengan nada ragu. Yah, setidaknya dia sudah nggak dingin lagi. Mungkin
kemarin waktu dia dingin, dia lagi banyak masalah yang rumit. .
Hari senin
pun datang, kudengar kalau Adit cs akan nonton juga hari ini, begitu pun
dengan Ika, lalu Bella, serta anak – anak yang lain. (Wah, hampir setengah kelas ikut nonton....! Bisa – bisa booking satu
baris, nih!) Matahari siang bersinar
dengan teriknya. Udaranya panas membuat keringat bercucuran, ditambah lagi pelajaran
yang memeras otak. Wah, bikin malas mikir deh..! Jam di dinding menunjukkan pukul 13.15, sebentar lagi akan
terdengar bel pulang untuk anak kelas 1 dan 2, dan bel istirahat untuk anak
kelas 3. Tapi, tiba – tiba wakil kepala sekolah datang dan berkata kalau anak
kelas 3 tidak akan istirahat karena waktu pulang akan dipercepat. (Wah, tumben banget, nih! Yes!!) Meski
dibilang kalau tidak ada istirahat, yang namanya lapar apa boleh di kata. Akhirnya
dengan seribu alasan, kami sekelas berusaha untuk ke kantin untuk mendapatkan
makanan.
Jam di
dinding menunjukkan pukul 13.40. Dengan serempak, kami datang berbarengan
kembali ke kelas dengan kantong yang penuh dengan makanan untuk dimakan di
kelas. Tiba – tiba Alin, teman sekelasku, datang menghampiriku yang lagi
menikmati gorengan di tangan. Setengah berbisik, dia berkata, “ Eh, Cher, tadi gue ketemu sama Matahari di Perpustakaan lagi
minta obat. Kayaknya dia lagi sakit, deh... hidungnya merah, trus dia pakai
jaket tebal lagi..., “ jelasnya, lalu dia kembali duduk di tempat duduknya dan
mulai menikmati makanan yang dia beli. Sambil menghabiskan makanan di tanganku, aku berpikir sesaat. (Matahari sakit...? Koq, tiba – tiba
banget... kayaknya dia kemaren
masih ceria aja tuh... ah, ke Perpus aja deh, siapa tau dia masih ada...) Setelah minum, aku
mengajak Ika untuk menemaniku. Dengan alasan ke toilet, aku berhasil keluar
dari kelas dan mulai turun ke lantai bawah, ke perpustakaan.
Pintu berat
itu kubuka. Kosong. tak ada seorang pun di Perpus kecuali penjaga Perpus itu
sendiri.
“ Kenapa,
Ceria? Pelajaran apa kalian? “ tanyanya setelah melihat kami berdua berkeliaran
di waktu pelajaran. Aku tak menjawab, kualihkan pandanganku ke seluruh keliling
perpustakaan. Tak ada tanda – tanda ada orang.
“ Bu, tadi
Matahari ke sini, nggak? “ tanyaku akhirnya.
“ Matahari?
Iya, emangnya kenapa? “ tanyanya kembali.
“ Dia ngapain
di sini? Dia sendiri? “ tanyaku beruntun tanpa sadar, karena takut kejadian tahun
lalu terulang kembali. Matahari pingsan karena panas tubuhnya yang tinggi.
Kayaknya dia maksain masuk sekolah dengan tubuh yang panas karena demam.
Alhasil, seharian dia hanya terbaring di UKS dengan jaket tebal —entah berapa
lapis menyelimuti tubuhnya.
“ Tenang
dulu, dong...! Dia nggak apa – apa, cuma
minta obat flu. Kayaknya sih, dia lagi flu, “ katanya memberitahuku. (Hoo.... lagi flu, ya....) pikirku sambil
menghela napas lega. Tiba – tiba senyum mencurigakan mengembang di wajah Ibu
penjaga Perpus.
“ Kamu takut
banget, ya? Kamu suka sama matahari..?? “ katanya menggoda. Mukaku langsung
merah. Dengan gelagapan, aku menjawab,
“ Ha, Hah?
En, nggak koq!... A, aku cuma... Ng... k-khawatir aja...., “ kataku bersusah
payah untuk tenang.
“ He...
he...he... harusnya kamu lihat dia tadi... lucu, deh! Hidungnya merah banget,
trus mukanya itu.... Wah, bikin gemes! “ katanya heboh, “ Yah, kamu ‘kan udah tahu Matahari
nggak apa – apa. Nah, sekarang balik sana
ke kelas. Ntar Ibu bilangin loh kalian berdua kabur...! “ ancamnya. Setelah
bilang terima kasih, kami berdua pun permisi pergi. Setelah mendengar berita
itu, aku menyimpulkan bahwa acara nonton nanti sore akan batal, tapi karena
Matahari lagi sakit, aku bisa memakluminya. Mungkin nanti sore aku akan nonton dengan
anak – anak yang lain.
Pukul 16.45,
aku dan Ika telah bersiap untuk pergi ke bioskop. Tak lupa, aku menghubungi
Matahari untuk memastikan dia ikut atau tidak. Tapi, aku terkejut setelah
Ibunya memberitahu kalau Matahari belum pulang sekolah. (Apa dia tetap datang ke bioskop? Atau malah pergi main? Yah, sampai di
sana nanti aku
juga akan tau...)
“ Woy, Ika!!
Buruan jalannya! “ suruhku pada Ika yang jalannya terlalu santai.
“ Ah,... kaki
gue capek..., “ keluhnya setelah kusuruh lari. Apa boleh buat, film mulai tepat
pukul 17.00, sedangkan pukul 16.56 kami masih dalam perjalanan di mobil. Kayaknya
kami akan telat beberapa menit. Akhirnya, setelah lewat dari jamnya, —sekitar 5
menit, kami berdua sampai di mol. Di depan bioskop lantai 4, kami lihat ada Bella.
“ Ah! Gara –
gara kalian berdua, kita nggak dapet tiket, tau! Ngapain aja sih, lama banget!!
“ katanya marah – marah. Sama kesalnya, aku menunjuk Ika.
“ Ini, nih!
Emang dasar siput! Lama banget jalannya! “ kataku memarahi Ika juga, “Mana yang
lain? Udah masuk semua? “ tanyaku setelah menyadari kalau yang di luar cuma ada
Bella.
“ Masih nanya?!
Ya iyalah! Kita tunggu aja Tony sama
Yosa. Mereka lagi beli makanan, “ katanya memberitahu. Akhirnya, kami bertiga
menunggu kedatangan dua anak sableng itu untuk mengetahui rencana selanjutnya.
Beberapa saat kemudian, Tony dan Yosa datang membawa sekantong makanan kecil.
“ Eh, ada
Cherry juga, ya? Koq, mukanya masam banget, sih? “ kata Tony menghampiri.
“ Kalian mau
nonton juga, ya? “ tanya Yosa. Kami mengangguk. “ Tapi, tinggal yang jam 8
malem. Mau? “ tawarnya. Tiba – tiba, Bella berkata setengah berteriak,
“ Cherry!!
Matahari, tuh! “ Kaget, aku langsung menoleh. Entah
bagaimana mengekspresikan suasana hatiku saat melihatnya. Matahari nggak
sendiri, di sampingnya ada sesosok cewek manis berambut hitam panjang dan
lurus. Matahari sendiri memakai jaket yang terlihat tebal dengan selembar
tissue di tangannya.
“ Matahari!!
“ panggilku tanpa sadar. Matahari dan cewek di sampingnya menoleh ke arahku.
Begitu juga dengan Bella, Ika, Tony, dan Yosa. Matahari tersenyum melihatku.
“ Entar nggak
jadi? “ tanyaku sambil menahan rasa sakit di hati. Dia tersenyum lagi, lalu
menggerakkan bibirnya. Kubaca setiap gerakan itu, “ Entar gue dateng lagi. Gue
mau nganterin dia dulu, ya? “ katanya sambil menunjuk cewek itu yang mulai
melangkah pergi meninggalkan Matahari sendiri. Aku mengangguk. Matahari
tersenyum lagi, lalu mulai berlari menyusul cewek itu. (Kenapa aku harus ketemu sama dia waktu dia lagi jalan sama cewek??)
Nyesek banget. Tanpa kusadari, air mataku jatuh membasahi pipiku. Melihat itu, Bella langsung menyodorkan
saputangannya. Lalu kudengar, Tony berkata sesuatu,
“ Bukannya
itu cewek ude punya cowok?? Kalau kagak salah namanya Frida, deh! “ katanya
memberitahu.
“ Wah, kalau
begitu, mungkin kayak gini ceritanya: Tuh cewek punya masalah sama cowoknya,
trus dia minta Matahari temenin dia buat menghibur dia...,“ kata Ika
berpendapat.
“ Kalau gitu,
Matahari cowok panggilan, donk! Gyahahaha...!!! “ Yosa tertawa puas. Mendengar
mereka semua berkata seperti itu, entah kenapa aku jadi ingin ikut tertawa. (Jadi, ini maksudnya kenapa Matahari
terdengar ragu saat aku mengajaknya nonton jam 5.... Tapi, kenapa dia nggak
langsung bilang kalau dia udah punya
rencana yang lain...?? Cowok panggilan, ya? He... he... he... jahat juga nih
anak – anak...)
“ Udah, Cher... ‘Kan
ada Aa Tony... Ntar kalau Cherry mau nangis, peluk Aa aja...! “ katanya
menawarkan diri sambil memeluk bahuku. Akhirnya aku berhasil tertawa, setelah
Yosa menarik tangan Tony, lalu memeluknya dengan erat sambil bilang, “ Enak aja
lo meluk Cherry.... Mendingan elo meluk gue!! “ Melihat aku tertawa, Bella
menanyakanku sekali lagi tentang acara nonton jam 8 malam. Dengan cepat, aku
langsung mengangguk. Buat apa lama – lama bersedih untuk orang kayak gitu, ya ‘kan? Setelah menelpon
orang rumah untuk minta izin pulang malam, aku di ajak makan malam dulu sebelum
nonton sama Bella.
“ Lo masih
ngarepin dia dateng, Cher? “ tanya Ika,
menyadari kalau pandanganku selalu ke arah pintu luar mol.
“ Hah? Ah...
Ng... Iya... sedikit..., “ jawabku pelan.
“ Nggak apa –
apa, koq! Udah diabisin dulu tuh makanannya, ntar ada yang ngambil, loh! “ kata
Ika sambil menatap Bella dengan senyuman mengejek.
“ Boleh, kan? “ balas Bella
sambil mengambil beberapa potongan ayam dari piringku. (Hhh....... Apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi.... mungkin ada
sisi baiknya aku ngeliat dia berdua dengan Frida. Lagipula, aku tahu gimana
sifat Matahari.... dia nggak mungkin datang lagi ke sini, cuma buat nonton
denganku .Nikmati aja makanan di depanku ini. Rasanya nggak buruk – buruk amat
koq... Oke! Selamat makan!!) Pukul 19.30, Yosa menelpon agar kami langsung
naik ke atas untuk mengambil tiket yang sudah di beli olehnya. Di lantai 3,
kami bertemu dengan Adit cs dan anak – anak yang lain. Mereka baru selesai
menonton film yang baru akan kami tonton nanti.
“ Adit, tadi
gue ketemu Matahari sama cewek, “ kataku memberitahu Adit. Kulihat Adit
tersenyum, lalu memegang kepalaku, dan mengacak – acak rambutku.
“ Sakit, ya?
Kasihan banget, sih! Udah, ntar juga lupa...., “ hiburnya.
“ Besok kalau
ketemu, ntar gue silet mukanya biar nggak ganteng lagi! “ kata Panji bercanda.
Setelah Adit memberikan uang titipanku, kami pisah dengan mereka, dan langsung
ke tempat Yosa, mengambil tiket lalu nonton. Ternyata film yang kutonton
bernuansa horror, tapi karena pikiranku lagi melayang – layang, aku jadi nggak
begitu takut. Lagipula di sampingku ada Yosa. Jadi, kalau aku takut, aku bisa berlindung
di balik badannya yang segede gaban
itu. Sejak saat kejadian di bioskop itu,
aku jadi benar – benar menjauh dari Matahari, nggak nelpon dan juga nggak
peduli sama dia. Buat apa ikut campur sama rumah tangga orang lain yang cuma
bikin sakit hati? Lebih baik cari gebetan yang lain......
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“ Cheryy....
Cherryy.... Main, yuk! “ panggil Adit kayak anak kecil minta main. Geli
sendiri, aku tertawa.
“ Boleh! Mau
main apa? “ tantangku sambil menutup buku yang kubaca.
“ Main jadi
informan aja! Gue jadi informannya, lo jadi bosnya. Nah, sekarang suasananya di
kantor, trus gue mau ngelaporin sesuatu. Gimana? “ katanya sambil bergaya kayak
informan penting. Sambil menahan ketawa, aku mengikuti permainannya.
“ Aku
berhasil mendapatkan sebuah berita penting dari sasaran kita, “ katanya memulai
permainan, lalu duduk di depanku.
“ Apa? “
kataku sambil memasang wajah serius, meski aku pengen banget ketawa.
“ Jangan
senyum, donk! Masa’ penjahat lucu..? “ pintanya, “ Gini,... Eh, salah!
Begini.... Sasaran kita yang bernama Matahari hari ini terlihat mengusir
pasangannya di depan umum, setelah beberapa hari belakangan ini terlihat mesra
di kantin, bahkan tidak menyadari kalau aku melempar kaki permen lollipop yang
lengket ke tasnya. Khehehe..., “ katanya sambil memasang wajah nakal. Aku
terdiam. Sudah lama aku tak mendengar kabar dari Matahari. Memang kuakui kalau aku rindu mendengar suaranya
yang dingin itu. Tapi, aku sudah memutuskan untuk menjauh dari Matahari, nggak
peduli dengan apa yang terjadi padanya.
“ Kenapa?
Nggak seru, ya? Yah, payah! “ keluh Adit setelah melihat aku hanya bengong
mendengar berita itu.
“ Eh,
sorry...! Bukannya gue nyuekin lo, tapi gue tadi lagi mikir. Koq, lo tega
ngelempar dia pakai lollipop? Ntar kalau lengket di rambutnya gimana? 'Kan kasihan..., “ kataku
tanpa sadar kayak membela Matahari.
“
Helloww....! Tadi lo ke mana aja? Tadi ‘kan
gue bilang kalau gue ngempar dia pakai ba-ta-ng lollipop bekas gue makan, trus
gue lempar ke dia and nempel di tasnya. Gitu loh, ‘mbak! “ katanya sewot. Tak
lama kemudian, Ika datang dan memarahi Adit karena meninggalkannya sendirian di
kantin. Menonton pertengkaran mereka, aku senyam – senyum sendiri. Aku sama
sekali nggak mau mikirin urusan Matahari yang akan membuat perasaanku kembali
sakit.
Pulang
sekolah, aku langsung melihat Hpku. Melihat apa ada yang menelpon atau sms.
Rupanya ada 1 sms yang diterima. Kubuka, dari Uerul, Cherry,
sorry klo gue ganggu. Tadi pagi gue ketemu Matahari di ruang guru. Dia nanyain
lo, trus dia ngirim salam kangen buat lo. Cuma itu aja yang pengen gue kasih
tau. Dah..! (Matahari? Kenapa....?)
“ Kayaknya lo
lagi bete banget, sih? Ada
apaan? “ kata Daniel, ketua perkumpulan anak muda di lingkungan rumahku. Hari
ini kebetulan ada acara ngumpul – ngumpul di rumahku. Dan saat itu, pikiranku
lagi melayang entah ke mana, padahal acara saat itu lagi seneng – senengnya.
“ Hah? Nggak
apa – apa, koq! “ kataku mencoba untuk tersenyum.
“ Gue nggak
minta lo senyum, tapi gue mau lo cerita ma kita – kita kalo lo lagi ada
masalah. Emangnya kita di sini buat apaan? Ngeliat muka lo yang berat banget
itu? “ katanya marah.
“ Bener!
Nggak apa – apa, koq! “ kataku tetap kekeh nggak mau cerita.
“ Ngeliat
muka lo itu.... Pasti tentang cowok, ya? “ tebak si gendut, Okta.
“ Tunggu!
Jangan cerita dulu. Biar gue terawang dulu pikiran Cherry sekarang.... Hmm...,
“ kata Arjuna, si cowok yang berlagak cool,
sambil bergaya ala peramal, “ Pasti cowok itu selingkuh ama cewek lain, ya? “
tebaknya. (Wow, tepat juga nih
tebakannya....!)
“ Koq?... “
kataku terkejut.
“ Aha! Bener,
kan! Tebakan
gue bener lagi...! Kayaknya gue emang berbakat jadi peramal nih! “ katanya
bangga. (Wah... aku dikerjain....)
“ Oh...
cowok, ya? Dia cowok lo? “ tanya Daniel.
“ Bukan, cuma
gebetan aja...., “ jawabku malas.
“ Siapa, Cher? Matahari, ya? Lo ngeliat dia jalan sama cewek? “
tanya Maria yang tahu hubunganku dengan Matahari. Aku mengangguk pelan.
“ Kalo cuma
gebetan-“ Belum sempat Okta melanjutkan omongannya, tiba – tiba Daniel
memotong, “ Eh, walaupun cuma gebetan, tapi kalau ngeliat dia bareng sama orang
lain, ‘kan
sakit juga! Iya, kan?
“ katanya yang langsung dijawab oleh sebagian orang di situ dengan acungan
jempol, kemudian lanjutnya, “ Tenang aja, Cher!
Selama janur kuning belum merunduk, lo masih ada kesempatan buat deket sama dia.
Sebelumnya lo suka nelpon dia? “ Aku
mengangguk. “ Kalau gitu, lo jangan langsung vakum buat telpon dia. Jarangin
aja. Kayak 2 bulan sekali, atau terserah lo. Entar juga lama – lama dia sadar
kalau lo selalu ada di samping dia... Percaya deh! “ katanya yakin. (Bener? Masa, sih?....)
“ Iya, Cher! Semangat, yach!! “ kata semuanya memberikanku
semangat. (Wah, jadi terharu nih...) Aku
tersenyum, “ Makasih ya, guys...! You are the best! Gue jadi semangat lagi
nih! Nggak sia – sia gue punya temen kayak lo semua, “ kataku sedikit meledek. Setelah acara ngumpul
– ngumpul selesai, aku memutuskan untuk menulis surat untuk Matahari. Isinya tentang perasaan
kecewaku karena Matahari tidak cerita kalau dia udah punya cewek, lalu tentang
tawaran yang di kasih oleh Daniel tentang acara manggung di café/ club Jakarta. Beberapa menit
kemudian, surat
itu selesai kutulis. Kupandangi selembar surat
itu. (Masalahnya... kapan aku kasih surat ini kalau dia jalan
berdua terus sama ceweknya....? Entar ceweknya salah paham, ‘kan kasihan Mataharinya... Yah, yang penting
ini surat udah selesai di tulis, tinggal tunggu waktu yang tepat.)
Seminggu
kemudian, entah kenapa kami semua dipulangkan lebih cepat dari pada yang
biasanya. Surat
yang ingin kuberikan pada Matahari selalu kubawa, tapi selalu saja nggak ada
waktu yang tepat untuk kuberikan padanya. Dan hari ini, aku melihat Matahari
pulang sendiri, tanpa ceweknya. Mungkin ini kesempatan yang jarang terjadi atau
mungkin tak akan terjadi 2 kali, jadi aku langsung menyuruh Ika dan Adit untuk
memberikan surat itu, kebetulan Matahari nggak langsung pulang, tapi nongkrong
dulu di tempat biasa anak cowok ngumpul, namanya warung Emak. Sambil menunggu
Ika dan Adit kembali, aku nunggu di tempat parkir motor, kebetulan barang
bawaanku lagi banyak, jadi lebih baik aku duduk dan menunggu. Beberapa saat
kemudian, lapangan mulai ramai, karena anak – anak yang tadi belum keluar dari
kelas mulai pulang. Entah kenapa, jantungku berdetak cepat. Udah lama, aku nggak
merasakan perasaan deg – degan seperti ini lagi. Pandanganku terus mengarah
keluar gerbang, berharap agar Ika dan Adit segera kembali dan memberikanku
kabar baik. Tiba – tiba, Matahari melintas di depan mataku. Wajahnya terlihat dingin,
tapi matanya terus menatapku, tanpa senyuman. Biar bagaimana pun, aku harus
memberikannya senyum. Aku terus tersenyum padanya, hingga akhirnya dia
menghilang di balik tembok gerbang. (Akhirnya
Matahari matanya melihatku... Apa suratnya udah diterima...? Atau malah
ditolak.....?) Akhirnya Ika kembali,
tanpa Adit.
“ Gimana, Ka?
“ tanyaku sambil menghampirinya.
“ Udah
diterima. Katanya makasih, “ jawabnya singkat sambil terus berjalan ke tempat
duduk.
“ Terus? Gitu
aja? Adit mana? “ tanyaku lagi sambil menyusulnya.
“ Adit lagi
ngerokok di sana.
Paling entar balik lagi. Cherry, tadi pas gue ngasih suratnya ke Matahari..., “
katanya mulai cerita, “ Mukanya tuh dingin banget! Asli, gue nggak pernah
ngeliat muka cowok yang dingin tapi keren banget kayak dia... Apalagi waktu dia
nanyain lo, “ katanya menunjukku.
“ Hah? Dia
nanyain gue apaan? “
“ Dia bilang
gini, Cherry mana? Dia masuk?... Gitu! “ katanya sambil menirukan gaya Matahari yang khas.
“ Waktu dia
bilang kayak gitu, mukanya kayak gimana? Dingin...? “ tanyaku lagi.
“ Mukanya
bikin gue deg – degan sendiri kayak orang bego, “ kata Adit tiba – tiba dari
belakangku, “ Gue yang cowok aja sampai muka gue merah, apalagi Ika yang cewek.
Untung dia nggak mimisan...., “
lanjutnya lagi sambil duduk di sampingku. (Haah..?!
Adit aja sampai merah.... Gimana kalau sampai aku yang lihat...? Bukan mimisan
lagi, udah pingsan kali...)
“ Serius? “
tanyaku masih nggak percaya.
“ Dua rius! Kalau
gue gay, pasti gue udah meluk dia
deh! Mukanya tuh, kayak sedih, kangen, trus apa, ya? Dingin.... keren banget
deh! “ katanya histeris sendiri. (Matahari
kangen?? Nggak salah tuh?) Setelah kejadian itu, Ika mengajakku pulang
bareng naik motor. Begitu keluar dari gerbang, aku bertemu dengan Uerul dan
temannya. Tiba – tiba Uerul memintaku berhenti.
“ Cherry,
tadi gue ketemu Matahari. Kayaknya ada yang aneh sama dia deh! Tadi ‘kan gue bilang sama dia
dapat salam dari Cherry, salam sayang teramat sangat. Lo tahu ‘kan biasanya dia cuek
banget. Terus tadi tuh nggak. Dia malah senyum manis banget terus bilang gini: Kalau
gitu salam balik kayak gitu juga sama dia. Gitu! “ katanya menggebu. Pikiranku
semakin penuh dengan tanda tanya. (Ada apa dengan Matahari? Koq,
jadi aneh gitu? Kayak bukan Matahari aja... Apa memang Matahari kangen sama
aku...? Kayaknya nggak mungkin banget deh! Apa... apa, ya? Duh, pusing, nih!) Tapi
meski begitu, aku masih belum mampu untuk menelponnya. Perlu kupikir 2 kali
untuk melakukan itu. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya terhadap surat yang kuberikan
padanya. Marah, apa yang lain?
Dua minggu
telah lewat setelah kejadian itu. Selama 2 minggu itu, aku nggak lagi melihat
Matahari jalan berdua dengan Frida. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua.
Suatu hari di hari minggu, aku tergerak untuk menelpon Matahari. Terdengar
suara Matahari menggaungi telpon sebagai jawaban.
“ Hallo? “
“ Halo, bisa
bicara dengan Matahari? “ tanyaku rada takut.
“ Kenapa?....
Tumben nelpon, nih. Ada
apa? “ tanyanya sambil setengah tertawa.
“ Nggak ada
apa – apa, sih.... Cuma pengen ngobrol aja. Udah lama nggak ngobrol sama
Matahari, “ jelasku pelan.
“ Ooh... “
“ Udah baca surat dari gue? “
tanyaku.
“ Oo.... Oia!
Udah..,. “ jawabnya.
“ Jadi? “ tanyaku
ingin tahu reaksinya mengenai isi suratku itu. Jantungku berdetak cepat
menunggu jawabannya.
“ Di mana? “
tanyanya mengenai tawaran yang kuberikan mengenai manggung di café Jakarta.
“ Ooh, suka, ya? Ntar gue tanya sama temen gue
dulu, ya lengkapnya..., “ kataku, “ Oia, gimana nih sama ceweknya...? Ciee...
udah punya cewek, nih! “ godaku. Tapi, aku terkejut setelah mendengar
jawabannya yang singkat.
“ Jangan sok
tahu, kalau nggak tau! “ katanya sedikit marah, “ Jangan ikut campur gitu aja.
Lagipula cewek itu cuma temen yang minta ditemenin pulang, doank! “ lanjutnya lagi
dengan nada yang masih marah. Entah kenapa aku masih belum percaya dengan
penjelasannya itu, karena itu aku berkata padanya,
“ Iya, temen,
tapi, udah ke-gep lebih dari 3 kali jalan berdua. Iya ‘kan? “ kataku, yang tanpa kusadari seperti
orang cemburu. Kemudian terdengar desahan napas Matahari di telpon, mungkin dia
tersenyum mendengar aku berkata seperti itu, karenanya dia berkata,
“ Tenang
dulu, dong! Emang cuma temen, koq! Bener! Waktu itu, cuma kebetulan pulang
bareng. Rumah kita ‘kan
berdekatan, jadi dia kepengen pulang bareng. Gitu doank, koq! “ katanya
menjelaskan dengan nada yang lembut. Mendengar itu aku terdiam. Aku tak tahu
harus menjawab apa mendengarnya berkata lembut seperti itu.
“ Koq, jadi
diam? Masih nggak percaya, ya? Waduh.... sorry, deh kalau gitu..., “ katanya
tiba – tiba meminta maaf.
“ Kenapa jadi
minta maaf? Harusnya ‘kan
gue yang minta maaf udah marah – marah sama lo...., “ kataku sedikit terkejut
sekaligus merasa bersalah. Kemudian terdengar desahan napasnya lagi telpon. “
Ah, ya udah nggak usah dipikirin! Kita ganti
pembicaraan... Matahari kenal sama Stevanus, ya? “ tanyaku. Stevanus yang
kumaksud adalah seorang cowok yang dulu pernah dikeluarkan karena ketahuan OD
alias Over Dosis di sekolah. Aku sudah mengenalnya sebelum bertemu di sekolah
K.U. karena dulu aku ada hubungan dengannya, dan belum lama ini kudengar kalau
Matahari sering ngumpul dengannya.
“ Hah? Siapa?
“ tanyanya lagi. (Ah, iya mungkin dia
nggak tahu nama aslinya...)
“ Stevanus...
Steven, Epoy, Epen! “ kataku menyebutkan semua nama panggilannya.
“ Oh, iya,
iya! Kenapa? Lo suka, ya? “ ejeknya.
“ Hah? Nggak
salah? Nggak banget deh! “ jawabku tegas. Tapi, entah kenapa setelah bertanya
seperti itu, Matahari bersikeras memperkenalkanku padanya. Tentu saja aku
menolaknya, —karena sesuai perjanjianku dengannya dulu, kalau kami tidak akan
saling menegur walaupun bertemu lagi dan bersikap kalau kami tak saling
mengenal—. “ Emangnya kenapa? Entar gue kenalin, ah... lo harus ikut, ya! “
kata Matahari masih bersikeras.
“ Jangan!
Jangan membuka kembali masa lalu.... Cukup lo aja yang ada di ha- “
“ Mantan,
ya...? “ tanyanya memutuskan perkataanku, “ ....... baru? “ tanyanya lagi
dengan nada pelan.
“ Nggak....
SMP......, “ jawabku akhirnya.
“ Oooh...., “
katanya sambil menghembuskan napas panjang. Mendengarnya seperti itu, aku
tersenyum. Entah apa yang dipikirkan oleh Matahari sampai dia menghela napas
yang begitu panjang dari pada yang biasanya.
“ .....
Matahari...., “ panggilku pelan, dan dengan nada sedikit mesra.
“ Apa? “
tanyanya dengan nada yang nggak kalah mesra.
“ Boleh minta
sesuatu, nggak? “ kataku dengan nada sedikit mendesah pelan.
“ Minta apa?
“ tanyanya lagi dengan nada lebih mendesah dari padaku. Jujur, aku merinding
mendengar suaranya yang sepertinya begitu dekat dengan telingaku.
“ No-nomor
Hp, donk? ‘” tanyaku rada gugup dengan jantung yang berdetak cukup kencang.
“ Hahaha..!!
“ Terdengar dia tertawa puas mendengarku gugup karenanya, “ Kenapa grogi? Nggak
tahan, ya? Hahaha...!!! “ katanya meledekku lagi. (Gimana mau tahan dengar suaranya yang mendesah?!) Setelah puas tertawa, dia menyebutkan
nomor Hpnya yang dulu sempat tertunda diberikan. Sebelum mengakhiri telpon hari
itu, aku menanyainya tentang keikutsertaannya dalam kegiatan pesantren kilat
yang diadakan oleh sekolah selama bulan puasa.
Tapi tanpa kuduga, Matahari memintaku menjelaskan alasan kenapa dia harus
mengikutinya, kalau nggak dia tidak akan pergi ke sekolah untuk mengikuti pesantren. Bingung harus menjelaskan
apa, aku menjawabnya asal – asalan. Lagi – lagi Matahari tertawa mendengarku
bingung sendiri, tapi karena aku sudah menjawabnya, dia akhirnya setuju untuk
datang ke pesantren. Setelah mendapatkan apa yang kuinginkan, aku memutuskan
untuk mengakhiri percakapan. Kami pun sama – sama menutup telpon, setelah
mengucapkan selamat siang. Beberapa hari kemudian, aku menghubungi Daniel dan
menanyakan tentang tawaran manggung di café yang dia berikan. Ternyata tawaran
itu udah nggak berlaku lagi, gara – gara udah ada yang tempatin. Dengan rasa
menyesal, aku memberitahukan Matahari lewat sms. Lagi – lagi Matahari membuatku
terkejut. Karena, Matahari yang selama ini nggak pernah balas sms yang kukirim,
membalas sms-ku dengan pesan yang singkat dan jelas: gpp,
sorry ya udah ngerepotin,,, M’aci! (Wah, ada
perkembangan, nih..! Sms pertama dari Matahari.... Jarang banget
nih yang kayak gini...)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Liburan awal
bulan puasa telah tiba. Selama 2 minggu nggak ada rencana yang penting untuk
menghabiskan liburanku. Benar – benar membosankan..... Suatu hari, tepatnya
dini hari, aku berencana membangunkan Matahari untuk sahur. Kunyalakan Hpku,
dan kutekan nomornya. Tersambung... rupanya Hpnya aktif. Kebetulan.... akan kutulis
pesan untuknya. (Balas nggak balas yang
penting dibaca.... (^-^)) Setelah
menghabiskan 2 halaman sms, kuputuskan untuk melanjutkan tidurku. Tiba – tiba
beberapa menit kemudian, dering sms berbunyi. Malas – malasan karena mata yang
berat, kubuka inbox. (Hah? Nggak salah,
nih? Dari Matahari..... Dia balas apaan...?) Kubaca pelan – pelan. Matahari
udah bangun, Cherry. Udah sahur, koq... Nggak lupa. Kenyang banget nih... Tadi
makannya banyak banget... Cherry koq nggak tidur..? Yaud, Met bobo, ya... Aku tersenyum sendiri. Matahari
sekarang udah nggak kayak dulu lagi. Jadi lebih perhatian... Ternyata ada
asyiknya juga liburan meskipun nggak ada rencana bareng sama anak – anak yang
lain... (Yah, semoga besok, eh, udah
besok ya?... He... He... He... Semoga hari ini adalah hari lebih yang
menyenangkan daripada kemaren....)
Seminggu
kemudian, aku sempatkan untuk menelpon Matahari. Sangat kebetulan, yang
mengangkat telpon adalah Papanya. Ternyata suaranya nggak jauh beda sama
Matahari. Mungkin umurnya masih termasuk muda. Tak lama kemudian, Matahari yang
mengangkat telpon. Di telpon, Matahari bercerita mengenai liburannya di Bandung, mengenai
lidahnya yang ditindik lagi, lalu mengenai pertandingan basket yang akan dia
ikuti malam ini. Sepanjang aku menelponnya malam itu, ada hal yang membuatku
sempat tersedak karena kaget plus terkejut. Matahari minta Hpnya diisi pulsa
sebanyak 5 kali yang seratus ribu, dengan imbalan kalau dia akan jadi cowokku. (Kenapa dia menggunakan perasaanku untuk hal
seperti ini? Apa dia pikir aku mau melakukannya..?!)
“ Yah....?
Bisa ‘kan? “
katanya sambil menghela napas. Kata – katanya seperti memaksaku untuk melakukan
apa yang dia minta.
“ ..... Pa-Payah...!
“ kataku akhirnya, “ Jadi, harga diri lo itu cuma seharga dengan isi pulsa 5x?!
“ kataku sedikit kasar dan membentak. Saat itu aku benar – benar tak menduga
akan mendengarnya berkata seperti itu. Kemudian terdengar napasnya lagi di
telpon,
“ Makanya
diisi donk...! “ katanya. Tanpa kusadari, aku tertawa. Aku mengejeknya seperti
anak kucing yang minta dikasihani sampai nggak tahu apa yang dilakukannya.
Sesaat kudengar tawa Matahari yang tiba – tiba meledak, kemudian samar – samar
di tawanya, kudengar dia berkata kalau tawaran itu akan ditunggunya terus. Aku
tersenyum. (Yah, mungkin suatu saat akan
terkabul....) Sebelum menutup telpon, aku sempat mengajaknya nonton hari
senin besok. Kemudian dia bilang kalau dia mau datang asal ditraktir. Sambil
bersungut – sungut, aku mengucapkan selamat malam dan selamat tidur, lalu
menutup telpon. Benar – benar hari yang
mengejutkan sekaligus mendebarkan. (Itu ‘kan sama aja dia
‘menembakku’ secara nggak langsung. Tapi, kenapa ngasih syarat yang susah
banget sih...? Boleh nyicil nggak, ya? He... he... he... Yah, what will be, will be aja deh....)
Keesokan
harinya, ternyata rencana yang sudah kubuat dengan Ika, Yosa dan Tony, nggak
berjalan sesuai apa yang diharapkan. Kami kehabisan tiket nonton karena antrian
yang begitu amat sangat panjang. Akhirnya dengan langkah lunglai, kami keluar
bioskop, —tanpa rencana. Setelah berbengong – bengong ria selama beberapa
menit, akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di time zone. Sekitar pukul 17.13, Yosa dan Tony pamit
pulang karena ada janji yang lain. Bingung mau kemana, kami pun memutuskan
untuk kembali ke toko buku. Setelah membeli beberapa buku komik, kami mencari
tempat makan karena sudah waktunya makan malam. Di sana, tepatnya di Pizza Hut, kami mengenyangkan perut kami. Tiba – tiba nada dering sms
berbunyi. Dengan mulut yang masih penuh, aku meraih Hpku di tas. (Hoo, tumben dari Matahari, nih.... Ada apaan, ya?) Kubaca dengan perlahan
pesan dari pemuda dingin itu. Rupanya dari siang dia menunggu kiriman pulsa
dariku, dan ternyata sampai sekarang, malam, nggak ada pulsa yang datang.
Alhasil dia sewot sendiri, tapi aku nggak menghiraukan omelannya. Lebih dari
itu, aku lebih senang dia menanyakan apa saja yang telah kulakukan di mol,
dengan siapa aku nonton, jadi atau nggak acara nontonnya. Tapi, berhubung pulsa Hpku juga habis, aku
tidak membalas sms darinya. Akhirnya tanpa terasa liburan pun berlalu dengan
cepat dan sudah waktunya untuk kembali ke sekolah.
Pagi ini, kusempatkan
untuk pergi ke counter Hp untuk mengisi pulsa Hpku dan Hp Matahari sebelum
masuk sekolah. Kebetulan SMU K.U membuka kios Hp untuk para murid, yang
harganya pun sesuai dengan kantong para murid. Sayangnya Hp matahari sedang
tidak aktif, jadi aku terpaksa menunggunya hingga tanpa kusadari bell masuk pun
memanggil. Sampai di kelas, tiba – tiba Uerul menghampiriku.
“ Kayaknya
ada yang baru isi pulsa, nih! “ katanya tersenyum seribu makna. Aku terkejut
mendengarnya. Karena itu, aku membalasnya dengan berkata, “ Lo suka ngikutin
gue, ya? Kayaknya lo tau semua yang gue lakukan, deh! “ kataku jutek sambil
tersenyum. Mendengar aku berkata seperti itu, dengan cepat raut wajahnya
berubah memerah, lalu kembali ke tempat duduknya. Entah apa yang dipikirkan
olehnya saat itu yang kembali berwajah jutek menatapku. Tanpa memperdulikannya
yang mulai menggerutu di bangku belakang, aku pun duduk menempati bangkuku,
karena guru telah masuk kelas.
Tanpa terasa, 8 jam telah berlalu. Jam di dinding telah menunjukkan pukul
15.00 tepat, ini berarti waktunya pulang ke rumah masing – masing. Dengan
cepat, aku melangkah menuju kios Hp di sekolah untuk menanyakan apakah pulsa
yang tadi pagi kubeli sudah terkirim ke Hpnya Matahari. Rupanya sudah terkirim
tepat setengah jam yang lalu, bersamaan dengan pulangnya anak kelas 2 dan kelas
1. Dengan segera, aku mengeluarkan Hpku dan mulai mengetik sms untuk Matahari
yang isinya kurang lebih seperti ini, “ Pulsanya udah sampai y? Nanti sms-an ya! “ Beberapa menit kemudian, Matahari membalas sms dariku, “ Makasih ya! Cherry emang temen Matahari yg plg baik
bgt!! ” Senyuman
pun mengembang di wajahku. Dengan langkah santai, aku mulai meninggalkan
lingkungan sekolah menuju rumah. Malam pun tiba. Aku mengetik sms untuk
Matahari sebagai ucapan selamat tidur. Dan setelah mendapat balasan sms dari
Matahari, aku pun mulai menuju alam mimpi.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dua hari ke depan, aku nggak melihat sosok Matahari di wilayah sekolah.
Penasaran, aku melangkah menuju kelasnya yang sudah kosong. Kulihat daftar
absensi. Ternyata benar. Matahari udah 2 hari nggak sekolah dengan alasan
sakit. Tentu saja aku jadi khawatir. Matahari sakit apa sampai dua hari nggak
masuk?
Malam sebelum tidur, aku coba bertanya dengan mengiriminya sms. Setelah ada
laporan delivered, entah kenapa jantungku berdetak dengan cepat. Tapi
aku nggak terlalu memikirkannya hingga Hp-ku tiba – tiba bergetar. Begitu
kubuka inbox, ternyata ada balasan dari Matahari. Aku senang karena
nggak biasanya Matahari suka membalas sms dariku. Tapi begitu isinya kubaca,
jantungku hampir berhenti sesaat. Isinya adalah makian dengan semua penghuni
kebun binatang dikeluarkan. Tentu saja aku kaget, shock. (Ada apa, nih?! Tiba – tiba Matahari ngomel –
ngomel nggak bener?!) Aku mencoba tenang sambil mengatur napas. Kubalas lagi
smsnya yang nggak jelas itu; “apaan sih? Koq, Matahari
marah – marah? Emangnya salah kalo gue nanya keadaan lo?” Nggak
lama Matahari kembali membalas. Tapi isinya masih kayak yang tadi; “Woi, selon aja donk! Jangan sok perhatian gitu deh!! Gara – gara lo, gw
kena omelan nyokap gue. Gw nggak perlu perhatian dari siapa pun termasuk dari
loe!!” Bingung mau sms
apa lagi, tiba – tiba Matahari kirim sms lagi. Isinya menyuruh aku untuk
menelponnya. Tentu saja aku enggan. (Kenapa
harus telpon dia kalau cuma mau dengar caciannya? Ogah!) Aku mengiriminya sms lagi. Aku bilang
kalau aku nggak mau telpon Matahari kalau Matahari masih marah, tapi kalau udah
tenang, baru aku telpon. Matahari membalasnya; “Matahari minta maaf, soalnya gue lagi emosi abis berantem sama bokap.
Matahari pengen Cherry telpon biar nggak ada dendam. Kalau Cherry masih anggap
Matahari temen, telpon ya!” Aku terdiam. (Bukannya nggak nganggep temen lagi...
Tapi pulsanya nggak cukup buat telpon lama – lama…) Akhirnya aku mencoba
untuk tidur. Tapi nggak disangka tiba – tiba Matahari menelponku. Takut plus
deg-deg-an, aku jadi nggak berani angkat telpon dari dia. Nggak tahu udah berapa
kali Matahari menghubungiku tapi nggak kuangkat karena aku udah bener – bener tidur.
Keesokan paginya, aku mendapat pesan dari Matahari yang menyuruhku ke
kelasnya sendirian, dia lagi cabut dari rumah. Aku menghela napas (Hhh… kena
masalah deh sama Matahari…)
Begitu bel istirahat berbunyi, dengan langkah yang berat aku melangkah
menuju kelas Matahari yang ada di ujung koridor kelas 2. (Huwaa, takut
banget nih… bakalan diapain ya sama Matahari..?Hii…) Sampai di depan pintu
2IPS4, aku tanya sama temen sekelasnya Matahari ada apa nggak.
“ Matahari? Ada.
Tuh lagi duduk! “ katanya menujuk ke dalam kelas paling pojok. Aku melongok
masuk. Terlihat ada Matahari lagi duduk sama teman – temannya yang tampangnya
sangar. Melihatku datang, ekspresi wajahnya langsung berubah. Senyumnya
langsung hilang gitu aja.
“ Oi.. Sini…, “ katanya menyuruhku mendekat. Jantungku
berdetak cepat. Aku melihat ke sekeliling. Anak – anak cewek langsung berbisik
– bisik melihatku menghampiri Matahari. Nggak tau deh apa yang mereka omongin.
Sampai
di tempat Matahari, teman – teman sangarnya memberikanku senyum. Sedangkan
Matahari sendiri…
“ Woi, minggir! Gue mau keluar…! “ katanya sambil
menendang – nendang bangku temannya yang lagi duduk.
“ Nggak, ah! Males! Lo aja yang keluar naik meja, “
kata temannya yang item gendut yang duduk di sampingnya nggak peduli. Setelah
memukul bahunya, Matahari berdiri di bangku dan menaiki meja. Lalu turun tepat
di hadapanku. Meskipun aku lagi deg – deg-an, bingung
mau diapain, tetap aja Matahari paling bisa bikin aku terpana. (Matahari
wangi…♥♥)
“ Ayo, keluar.., “ ajak Matahari. Aku mengangguk.
Di depan
pintu kelas, Matahari berhenti dan menatapku. (Huwaa… jangan bikin aku
tambah deg – deg-an, donk….)
“ Matahari, maaf banget, ya..? “ kataku pelan. Aku nggak berani natap
matanya. Pasti nakutin...
“ Iya! Semua gara – gara Cherry, kan! Gara – gara Cherry, gue jadi diomelin
sama nyokap. Gara – gara Cherry, gue jadi berantem sama bokap. Trus gara – gara
Cherry kemaren nggak angkat telpon dari gue, sekarang masalahnya jadi panjang.
Coba kalo kemaren Cherry angkat telponnya, trus jelasin semuanya. ‘Kan bokap jadi nggak
usah ke sini. Dasar…! “ katanya menghela
napas. (Kayaknya masih marah, tuh…)
“ Sorry… gue nggak tau masalahnya… “ Aku memberanikan
diri melihat matanya. Seperti biasa, tajam! Matahari diam dan tetap menatapku.
Nggak lama, dia menutup mata dan menghela napas lagi.
“ Hh~ Ya udahlah.
Bukan salah Cherry juga, Matahari yang salah, maaf,
ya? Serapi – rapinya sampah diumpetin toh bakalan
ketahuan juga, iya kan? “ katanya minta maaf sekalian berpribahasa. (Eh?
Bukannya bangkai yang diumpetin??)
“ Sebenernya waktu Cherry kirim sms itu, Matahari lagi
minum – minum di rumah temen…, “ Matahari mulai cerita gimana kejadiannya, “ Hp
Matahari lagi dipegang sama nyokap. Ngebaca sms dari Cherry, nyokap jadi kaget.
Dikiranya Matahari sekolah, tau – tau malah nggak masuk 2 hari. Pas pulang ke
rumah, Matahari lagi mabok banget. Kepala pusing, badan sempoyongan, jadinya
pengen langsung tidur… “ Matahari diam dan kembali menatapku yang lagi serius
denger ceritanya. Tiba – tiba dia membuang muka dan mengusir teman – temannya
yang tanpa kusadari ikut menguping dari belakang. Setelah puas, Matahari datang
lagi, tersenyum padaku, dan kembali melanjutkan ceritanya yang tadi terputus, “
Ee… terus waktu mau ke kamar tiba – tiba nyokap cegat, trus tanya emangnya
selama 2 hari nggak masuk? Yah… Cherry tau ‘kan gimana kalau orang lagi mabok, pasti
ngomongnya nggak bener... Waktu itu Matahari ngomongnya kasar, jadi nggak usah
diceritain. Trus nyokap kasih tau kalau ada sms dari Cherry yang bilang
Matahari nggak masuk. …Matahari bilang, “Cherry? Cherry siapa? Salah orang
kali..? anak sekolah lain kali…“ Denger gitu bokap jadi marah. Matahari cuek,
lanjut mau ke kamar, tau – tau bokap mukul. Matahari marah, trus ngebales,
keluar deh dari rumah… “ Matahari diam, dan kembali melihatku. (Hoo… jadi
gitu ceritanya.. Wah! Jadi gara – gara aku donk…?! Aduuh…)
“ … Maaf, ya…, “ kataku pelan. Matahari tersenyum.
“ Ya udahlah,.. sekarang Matahari tinggal di rumah
temen, jadi makan juga seadanya. Nggak enak sama yang punya… “ Tepat setelah
Matahari selesai cerita, bel istirahat selesai pun meraung.
“ Yah, udah bel... koq, cepet banget sih… “ (Kan belum puas bareng Matahari!.. dasar bel rese!)
“ Ya udah, Cherry balik ke kelas sana, “ suruh Matahari sambil mendorong
bahuku.
“ Ah, tapi… “
“ Tenang aja. Hari minggu nanti Matahari balik ke
rumah, koq..! “ katanya memberitahu. Aku mengangguk, “ Sorry, ya…, “ kataku
sekali lagi sebelum balik ke kelas.
“ Hati – hati, ya.. “ kata Matahari sambil melambaikan
tangannya. Aku tersenyum dan mengangguk. Dengan langkah yang udah agak ringan,
aku kembali ke kelas yang ternyata udah ada guru yang lagi asyik duduk di kursi
‘kebesaran’nya. Sambil tertunduk malu, aku masuk ke kelas dan duduk di
bangkuku. (Kayaknya baru kali ini aku kena masalah sama Matahari… udah gitu
ngabisin waktu istirahat sama dia lagi…! Hehehe…♥)
Hari
minggu empat hari kemudian, kudengar Matahari sudah kembali ke rumahnya. Tapi
lebihnya aku nggak tahu. Mungkin keadaannya sudah lebih tenang. (Yah… semoga
saja seperti itu…)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“ Gue terlambat!! “ teriakku sambil berlari menuju
sekolah. Pagi ini, aku bangun kesiangan gara – gara matahari yang
menyembunyikan dirinya di balik awan. Kupikir masih subuh, soalnya di luar
masih agak gelap, tapi ternyata sudah pagi!
Dengan napas terengah – engah, aku memasuki
gedung sekolah. Karena toh akhirnya akan dimarahi juga, aku mulai memperlambat
langkahku sambil mengatur napas. (Ah... Sial
banget pagi – pagi harus mendengar omelan guru...) Membayangkan nantinya
akan berhadapan dengan guru, rasanya langkahku makin berat aja. Apalagi tangga
yang kunaiki kayaknya tinggi banget. Gara – gara ngelamun, aku jadi nggak sadar
apa atau siapa yang ada di depanku sampai akhirnya aku menabraknya.
“ Loh, Cherry? Baru dateng ya? “ Aku mengangkat
kepalaku untuk melihat siapa yang kutabrak. Nggak disangka pagi – pagi udah ada
kejutan seperti ini, karena ternyata yang kutabrak adalah seseorang yang
bernama Matahari.
“ Ah, iya, ada sedikit masalah... hahaha..., “ jawabku
malu dengan muka yang sepertinya sudah merah, “ Matahari sendiri kenapa bawa
tas? “ tanyaku menyadari kalau Matahari masih bawa tas di bahunya.
Senyum khas Matahari pun mengembang di wajahnya, “
Matahari baru dari ruang guru gara – gara telat datang. Terus sekarang mau ke Lab,
ada tugas di situ, “ jelasnya. (Rupanya
Matahari juga bangun kesiangan, ya..?) “ Ya, udah, sekarang Matahari ke Lab dulu, ya,
“ katanya lagi sambil pergi melambaikan tangan. Aku mengangguk dan terus
tersenyum ke arahnya sampai akhirnya dia hilang dari pandanganku.
“ Woi!! “ Ika mengagetkanku dari belakang sampai
rasanya jantungku mau keluar saking kagetnya karena kupikir guru. “ Ngapain lo
bengong – bengong di tengah jalan kayak kesambet gini? “ lanjutnya menepuk
kepalaku.
“ Ika sendiri koq
keluar? Emangnya boleh jalan – jalan? “ tanyaku balik sambil melanjutkan perjalananku
menuju kelas. “ Gurunya nggak masuk. Lagi sakit kali, “ jawabnya santai. Nggak
tahu kenapa, tapi kayaknya hari ini aku mendapatkan 2 keberuntungan sekaligus.
Sudah ketemu Matahari pagi – pagi, trus sekarang lolos dari omelan guru juga.
“ Loh? Ngapain gue ikut balik ke kelas sama lo? Gue ‘kan baru mau ke kantin!
“ celetuk Ika tiba – tiba, karena sepertinya tanpa sadar dia mengikuti
langkahku ke kelas. Dengan tergesa – gesa, Ika langsung turun tangga dan lari
menuju kantin di bawah.
Pintu kelas
yang tertutup mulai kubuka dan pemandangan menakjubkan pun terlihat. Kelas
dalam benar – benar dalam keadaan ‘berantakan’. Kursi dan meja sudah tersebar
di mana – mana. Aku sampai nggak tahu lagi yang mana meja dan kursiku.
Sedangkan di sudut ruangan ada yang tidur, sebagian lagi ada yang main gitar,
bergosip ria, main HP, dengerin musik dari CD Player, dan sebagian lagi hanya
jalan – jalan nggak jelas di kelas. Yang masih dalam keadaan damai hanya meja
dan kursi guru yang berada di sudut depan kelas. Adit kemudian datang
menghampiriku.
“ Hei, Cher! Tumben
datangnya telat, kenapa? “ tanyanya.
“ Hei, Dit!
Biasalah... pengaruh rumah kaca, “ jawabku asal setengah tertawa. Dahi Adit
mengernyit, “ Hah?? Maksud lo apaan? “ tanyanya lagi nggak ngerti sambil garuk
kepala. “ Cuma bercanda! Maksud gue pemanasan global, “ Aku menepuk bahu Adit, dan
menuju jendela kelas. Bisa dipastikan kalau Adit makin bingung.
“ Lo ngomong apaan sih dari tadi? Ada pengaruh rumah kaca, trus pemanasan
global juga. Emangnya ntar ada ulangan biologi ya? “ tanya Panji yang kayaknya ikut
bingung juga dengar kata – kataku sama Adit.
“ Nggak koq. Hari ini nggak ada ulangan apa – apa.
Tadi gue cuma asal jawab, toh ujung – ujungnya 2 peristiwa itu ada hubungannya
sama matahari ‘kan?
“ jelasku tersenyum sambil menatap Matahari yang lagi jalan di lapangan basket
bawah ke arah ruang Labotarium.
“ Oh, Matahari, ya? Matahari yang di bawah apa
matahari yang di atas? “ Panji mulai menggodaku setelah melihat Matahari ada di
bawah. Mendengarnya bertanya seperti itu, dengan cepat aku menoleh dan
tersenyum, “ Dua – duanya…? “ Panji langsung nyengir.
Tiba – tiba Ika datang dengan napas yang terengah –
engah kayak habis lari dan tangan yang memegang kantong kresek seperti penuh
dengan makanan, lalu sepersekian detik pun terdengar suaranya, “ Woi! Guru
piket dateng!!! “ Serentak saja satu kelas kalang kabut, yang tadinya tidur pun
langsung terbangun dan ikut membereskan meja yang dia tiduri. Kekacauan terjadi
beberapa menit sampai akhirnya semua beres dan guru piket pun memasuki kelas.
Dengan logat Medannya yang kental, guru itu langsung berkomentar setelah
melihat Baqõ yang kebetulan duduk di depan meja guru sedang mengatur napas dan
mengelap keringat di kepalanya, “ Bah! Kenapa kau berkeringat begitu? “
kemudian melayangkan pandangannya ke seluruh murid di kelas yang memang sedang berkeringat
semua gara – gara mengangkat meja dan kursi, —begitu pun aku.
“ Bah! Kalian semua juga berkeringat rupanya. Habis
ngapain kalian pagi – pagi sudah berkeringat begini, nanti bau kalian! “
katanya lagi. Mendengarnya terus berkomentar, kami hanya menjawabnya dengan
senyuman terpaksa. Sekitar setengah jam kemudian guru piket itu meninggalkan
kelas setelah memberikan kami tugas yang harus dikerjakan. Tapi tugas pun
tinggal tugas, soalnya cuma sebagian kecil aja yang ngerjain, sedang yang
lainnya kembali mengerjakan kesibukannya sendiri. Ika pun mengeluarkan semua
isi dari kantong tersebut yang memang ternyata makanan yang dia beli dari
kantin. Setelah mengambil 2 batang coklat, Ika menghampiriku.
“ Nih, Cher! Mau
nggak? “ tawarnya padaku. Ditawari coklat enak, siapa yang mau menolak. “
Thanks! “ Sekitar 2 jam kemudian, bell istirahat pun terdengar. 4 jam kosong lewat
gitu saja dengan bersenang – senang di kelas. Tapi, yang namanya istirahat
tetap saja istirahat. It’s time to go to
canteen!
Sampai di
kantin, aku dan gank-ku yang baru,—Lilis, Wulan, Uerul, Ika— langsung menempati
tempat duduk yang kebetulan hanya ada satu meja yang kosong. Setelah memesan
makanan, pertemuan para cewek yang sedang berkumpul pun dibuka.
“ Gila, enak banget nih kalau tiap hari kayak gini.
Jam kosong 4 jam nonstop! “ seru Uerul senang. Mendengar itu Ika langsung
nyeletuk,
“ Enak sih enak, tapi kan nggak enak juga nggak
belajar. Kita jadi kelewatan dari kelas IPA yang lain, “ sungutnya protes.
Memang sih, kelas tiga bukan waktunya buat main – main soalnya musuh terbesar
kelas tiga adalah UAS alias Ujian Akhir Sekolah. Terlihat kalau anak – anak
yang lain selain Uerul mengangguk setuju. Meski sedikit, aku juga setuju
mendengar itu.
“ Tapi ‘kan itu bukan salah kita. Lah, gurunya juga
nggak masuk, kan? “ kata Uerul yang masih kekeh ga mau kalah sama Ika. Begitu
pun dengan Ika.
“ Tapi ‘kan gurunya juga udah usaha ngasih kita tugas
buat kita belajar sendiri. Bener apa salah itu sih urusan belakangan, “ balas
Ika yang termasuk salah satu yang mengerjakan tugas dari guru yang tadi pagi dikasih
di saat – saat terakhir sebelum bel istirahat berbunyi. Ika memang murid pintar,
meski sering telat datang, dia menduduki peringkat 1 dari kelas satu SMU K.U. Melihat
pertarungan pendapat mereka, kami hanya bisa diam mendengarkan. Sampai akhirnya
pesanan makanan datang, baru mereka berdua diam dan dengan tenang menyantap
makanan di depannya. Kami bertiga tersenyum kompak menatap mereka berdua. “ Mari
makan...! “ Satu suapan siomay pedas segera menuju mulutku. Tiba – tiba dari
belakang seseorang mencolek punggungku. Geli, aku langsung menoleh.
“ Cherry lagi makan, ya? “*DEG!*
Seketika jantungku langsung berdetak cepat. Dengan
pelan, aku mengangguk. Senyuman sempurna mengembang di wajah cowok tampan di
hadapanku, siapa lagi kalau bukan Matahari.
“ Makan yang banyak, ya? Biar cepet tinggi. Hehehe...
“ lanjutnya melambaikan tangan sambil berlalu. Melihat senyumannya, aku jadi nggak
bisa ngebales kata – katanya. Mataku hanya menatapnya berjalan menjauh dari
kantin sambil bercanda dengan temannya. Lalu,
“ Apa maksudnya nih, Cher? Lo ama Matahari dah jadian?
“ Mendengar pertanyaan Uerul, wajahku langsung memerah. Mimpi apa aku bisa jadian
sama makhluk itu.
“ Koq, lo nggak kasih tau gue kabar gembira ini, sih?
“ protes Ika.
“ Tu-tunggu dulu... “
“ Ada apa sih? Cherry ada hubungan sama cowok keren
tadi ya? “ kata Wulan yang ikut bertanya.
“ Eh, itu... hubungan sih emang ada, tapi.... “ Lagi –
lagi belum sempat aku jelaskan, Lilis ikut bertanya juga, “ Gue denger dia
playboy, koq lo mau ama dia sih? “
“ Oke, tenang, tenang.... Denger, ya? Kalo gue ampe
jadian ama tuh Matahari, gue pasti udah ada di rumah sakit sekarang gara – gara
mimisan terus. Lagipula, nggak mungkin Matahari suka ama gue, “ kataku mulai
jelasin, “ Trus tadi, gue juga nggak tau tiba – tiba dia nyolek gue. Gue juga
kaget tau! “ omelku.
“ Tapi seneng, ‘kan? “ Mendengar perkataan Ika, aku
tertunduk malu. Aku memang kaget waktu Matahari tiba – tiba
muncul, tapi di balik itu rada seneng (bgt!) juga dia mau
menyapaku duluan. Acara makan pun dilanjutkan kembali dengan perasaan berbunga
– bunga.
Setelah istirahat, pelajaran kembali dilanjutkan
seperti biasanya. Sampai jam pulang membuyarkan pikiran kami yang sempat
tersedot ke dalam suasana belajar yang serius. Waktunya bersiap – siap untuk
pulang ke rumah dan... istirahat.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seminggu ke depan aku tak sempat memperhatikan
Matahari, karena ujian yang datang berturut – turut menghiasi isi kepalaku.
Pusing! Apa boleh buat, minggu ini adalah minggu terakhir di akhir tahun. Itu
artinya hanya tinggal beberapa bulan lagi untuk menghadapi raja terakhir di
masa kelas 3 SMU, UAS. Wah, rasanya ingin lari saja. Aku masih belum siap lahir
batin untuk menghadapi itu. Ujian – ujian terus saja dihujani oleh para guru
kepada kami para murid yang tak berdosa. Bukan waktunya untuk memikirkan hal
lain, selain pelajaran, kalau tak ingin mengalami penyesalan karena tidak
lulus. Ayo, semangat belajar!
Malam, sekitar jam 8pm, Hpku berdering. Ada sms dari
teman sekelasku. Kubaca pelan karena tak biasanya dia mengirimi
sms padaku. Cherry,
Matahari mau pindah sekolah, tadi Uerul kasih tau gue. Kayaknya kali ini serius
deh, soalnya *some text missing* Membaca kalimat terakhir,
rasanya aku ingin melempar Hpku. Gimana bisa ilang di saat yang penting kayak
gini. Ugh! Dasar Hp nyebelin!!
Aku menenangkan perasaan sebentar, lalu mulai
berpikir. (Dulu juga pernah kayak gini,
tapi kenyataannya bukan kayak gitu. Matahari nggak mau pindah. Lagipula dia
juga pernah janji nggak bakal pergi. Kok, sekarang kayak gini lagi? Apa aku
tanya aja sama Matahari? Toh, cuma memastikan aja...) Aku mulai mengetik
sms untuk Matahari dan segera kukirim. Delivered.
5 menit berlalu, 10 menit, 20 menit, 1jam, 2 jam. (Argh! Kenapa Matahari nggak bales?! Kan jadi penasaran kalo kayak
gini. Ya udah lah, besok aku ke kelasnya aja langsung.) Dalam hati, aku
berdoa semoga saja besok dia masuk sekolah, dan bisa ketemu dengannya. Dan...
semoga dia memang nggak mau pindah! Amin. Kalau begini, gimana bisa konsentrasi
belajar? Tapi, pagi dan istirahat rasanya mungkin sulit untuk ke kelasnya
karena ujian menungguku untuk diselesaikan. Jadi semoga saja bisa bertemu waktu
pulang sekolah.
Jam sekolah usai telah berbunyi kencang. Setelah
membereskan perlengkapan belajarku dan mengambil tas, aku melangkah cepat
menuju kelas Matahari. Koridor kelas 2 terlihat sepi, hanya sebagian kecil saja
yang lagi membersihkan kelasnya masing – masing. (Semoga Matahari masih ada di kelasnya. Semoga masih ada... ada...
ada... Ada!!) Aku melongok ke dalam
kelas Matahari. Kosong.... Rupanya Matahari sudah pulang. Dengan langkah gontai, aku menuruni tangga
dan menuju lobby utama. Ketika melewati ruang guru, tiba – tiba seseorang
memanggilku. Aku berharap itu Matahari, tapi ternyata Guru kesenian
kesayanganku. “ Ada apa, Pak? “ tanyaku heran. Tiba – tiba guru muda itu
memberikan gulungan kertas dan menyuruhku membukanya. Kubuka perlahan. Ternyata
kertas itu adalah gambarku yang dulu pernah kuikutkan dalam lomba gambar antar
kelas 3.
“ Selamat, ya! Gambarmu menang runner up. Terus usaha, ya! “ ucapnya sambil menepuk bahuku. Aku
menunduk malu. Sebenarnya gambar itu adalah gambar yang pernah kuberikan pada
Matahari dalam versi aslinya, sedangkan yang di Matahari adalah fotokopiannya. Tentu
saja image gambar itu adalah Matahari sendiri. Sambil terus tersenyum menatap
gambar itu aku melewati lobby luar. Sesaat tiba – tiba mataku sepintas
menangkap sesosok bayangan orang di tempat duduk lobby. Cepat, aku menoleh.
“ Ma-Matahari? “ Aku kaget melihat yang kulihat di
depan mata. Matahari sedang duduk dengan santainya di tempat duduk lobby. Mataku kukucek
karena kupikir cuma imajinasiku saja gara – gara melihat gambar Matahari.
“ Kenapa? Cherry kelilipan? “ tanyanya tersenyum
sambil menghampiriku.
“ Ah, bukan. Cuma kaget. Matahari koq belum pulang? “ aku
nunduk malu, takut ketahuan kalo mukaku sudah merah.
“ Lagi nunggu Choco. Loh, itu? Bukannya itu gambar
yang pernah Cherry kasih ke Matahari? “ tunjuknya ke tanganku.
“ Iya. Ini yang aslinya. Tadi dikasih sama Guru
Kesenian selesai lomba. Ng... menang runner
up, “ kataku pelan. Aku mengangkat wajahku. Aku mau tahu gimana reaksi
sumber imageku. Dan lagi – lagi wajahku memerah lihat senyumnya mengembang di
wajahnya yang putih.
“ Wah, hebat! Tapi yang jadi imagenya lebih hebat,
donk! Hehehe... “ katanya sambil menujuk dirinya sendiri. Wah.... dia tahu! Oia,
kebetulan sekalian tanya soal kepindahannya itu.
“ Ng, Matahari. Cherry denger Matahari mau pindah, ya?
Emangnya bener? “
“ Uerul, ya? Payah!... Iya, Matahari mau pindah.
Ng,... kayaknya ke luar kota gitu, “ jawabnya tanpa melihatku.
“ Luar kota? Ke mana? “ tanyaku penasaran.
“ Ssstt... Ada aja. Matahari mau menghilangkan jejak,
“ jawabnya tersenyum sambil menutup mulutnya dengan jari telunjuk. (Gayanya
emang paling keren!♥)
“ Gitu? Kapan pindahnya? “
“ Kayaknya abis liburan tahun baru ini, “ ucapnya
pelan menatapku dalam. Ucapannya seperti petir yang menyambarku di siang hari. (Matahari beneran mau pindah?!) Aku
masih setengah nggak percaya, terlebih lagi kalau dia bakal pindah abis liburan
natal dan tahun baru ini. Itu ‘kan artinya aku cuma bisa ketemu Matahari sehari
lagi. Lusa udah mulai libur Natal dan tahun baru. Waduh! Gimana nih? Tapi,
tapi... bukannya jadi tanggung? Soalnya ‘kan sebentar lagi Matahari mau naik
kelas 3. Tanggung banget kalo pindah, padahal tinggal 5 bulan lagi ujian. Aku
nggak rela kalo dia pergi sekarang. Soalnya.... acara tahun baru? Valentine?
Masa’ nggak ngerayain bareng Matahari...?
Dengan
gontai aku melangkah pulang. Besok adalah hari terakhir masuk sekolah di tahun
ini. Rasanya cepat banget kalau harus pisah sama Matahari. Aku nggak bisa
ngebayangin kalau aku melewati hari – hariku tanpa ada Matahari yang biasa
menerangi. Wuah, rasanya koq sedih banget sih? Padahal ‘kan dia cuma pindah
sekolah, bukan sampe pindah planet, rumahnya juga tetep. Tapi ... kalau pindah
juga?
TRRRT....TRRRRT...
Malam sebelum Christmas’s Eve, Hpku
bergetar. Rasanya malas banget ngambilnya. Hari terakhir sekolah di tahun ini
udah selesai. Aku sama sekali nggak ketemu sama Matahari di lingkungan sekolah.
Mungkin kemaren adalah hari terakhir aku ketemu sama dia... Kalau tau begitu,
harusnya kemaren aku pergi jalan – jalan aja. (Hhh... payah!) Kuambil Hpku
yang masih saja terus bergetar. Malas – malasan aku mengangkatnya.
“ Haloo..? “ jawabku enggan. Mendengar suara di
seberang telpon, jantungku langsung berdetak cepat. Dengan semangat, aku
langsung bangun dari tempat tidurku.
“ Ini Cherry, ya? Matahari, nih! “ katanya. Nggak nyangka banget
kalo Matahari menelponku malam – malam gini, pas waktu aku juga lagi mikirin. “ Lagi ngapain? Koq, ngangkatnya lama banget?
“ tanyanya.
“ Ah, itu... Kirain Cherry, siapa yang nelpon.
Takutnya cuma orang iseng aja, “ jawabku bohong. Sesaat terdengar hembusan
napasnya di telpon.
“ Tapi, ternyata Matahari, ‘kan? Dasar.... cape’ tau
nunggunya! Kirain nggak bakal diangkat, “ katanya marah – marah. Tapi, aku
senang. Soalnya aku bisa denger suara Matahari sekarang. “ Lagi ngapain? “ tanya
Matahari lagi.
“ Lagi... lagi tidur – tiduran sekalian baca buku, “
jawabku bohong lagi. (Padahal aslinya sih
lagi malas – malasan di tempat tidur trus mikirin Matahari, deh. He... he...
he...) Pikirku sambil senyum – senyum sendiri.
“ Mikirin Matahari? “ tanyanya datar.
“ Eh? “ Aku hampir tersedak mendengar dia bertanya
seperti itu. (Koq, pertanyaannya tepat
banget sih? Emangnya dia bisa baca pikiran, ya?) “ Koq, nanya kayak gitu? Kaget..., “ tanyaku
“ Bener, ya? Lagi mikirin? “
“ Eh? Itu... Iya, sih... Tapi, Matahari koq tumben
nelpon? Ada apa? “ jawabku malu sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.
Jantungku makin berdetak cepat.
“ Hm... Cuma mau ngasih tau kalo sekarang Matahari
masih ada di rumah yang lama. Masih ada barang – barang yang mau diberesin.
Terus besok, besok ‘kan malam Natal. Abis berdoa, Cherry jangan langsung tidur,
ya? Matahari mau sms Ceria..., “ jelasnya. Aku kaget tiba – tiba dia manggil
dengan nama asliku. Aku sampai bisa ngerasain detak jantungku yang berdetak
makin cepat.
“ O-Oh... Iya. Cherry tunggu, ya? “ kataku akhirnya.
“ Iya. Ya udah, itu aja. Jangan tidur malam – malam,
ya? Dah... “ Telpon pun ditutup. Dalam satu tarikan napas, aku berteriak sekuatnya
tanpa suara. (Apa tadi barusan?! Matahari
menelponku cuma buat ngasih tau kalau dia sekarang lagi di rumahnya? Wuah! Nggak
kayak Matahari biasanya yang dingin. Udah gitu, dia juga mau sms pas malam
Natal? Kira – kira mau sms apaan ya? Jadi nggak sabar buat Christmas’s Eve nih!
Matahari kenapa, ya?) Memikirkan besok akan jadi hari yang menyenangkan,
aku tertidur pulas di samping foto Matahari yang kupunya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Minggu, 24
Desember. Cahaya matahari pagi membangunkanku dari dunia mimpi. Rasanya
kejadian yang semalem kayak mimpi aja. Matahari yang dingin kayak gitu mau
menelponku. “ ‘Met, pagi, Matahari! Jangan lupa janjinya
malam ini, ya! “ kataku sendiri kayak orang bego ke foto Matahari. Setelah membersihkan rumah untuk persiapan
Natal, dan merencanakan rencana Natal dengan teman – teman gereja, aku mulai
menghias Christmas’s tree sambil
bersenandung. Mungkin karena tingkahku yang aneh, Ibuku sampai mengira aku
mulai stress. Sambil menunggu sms dari Matahari, tanpa terasa waktu berlalu
dengan cepat sampai akhirnya sudah malam.
Tapi… (Matahari bohong…!) Sampai sekarang, jam 1 dini hari alias udah
masuk tanggal 25 Desember, sms dari Matahari belum juga kuterima di Hpku. (Ah... Matahari nyebelin… cape – cape
ditunggu tapi nggak jadi sms… Payah, nih...) Capek nunggu, aku pun mulai
tertidur. Nggak tidur – tidur banget sih, soalnya sesekali aku terbangun buat
lihat display Hpku ada sms masuk atau nggak.
Tiba – tiba, aku terbangun
gara – gara matahari yang sinarnya sudah mulai menyelinap masuk dari jendela
kamar. (Uwaa… Udah pagi! Jam berapa
sekarang?) “ Hah..!? Jam 8!!? “
Buru – buru, aku langsung mengambil handuk, dan masuk kamar mandi. Sepertinya
aku tertidur waktu nunggu sms dari Matahari semalem. Tapi tetap saja sampai
sekarang belum ada sms dari dia. Memang ngeselin juga. Tapi, sekarang bukan
waktunya pusing mikirin sms dari si ganteng itu, karena aku udah amat sangat
terlambat buat ke gereja! Sepotong roti kusambar sebelum akhirnya aku
mengeluarkan jurus langkah seribuku untuk pergi ke tempat pemberhentian
angkutan umum terdekat! Gara – gara itu, hampir saja napasku putus waktu sampai
di halaman gereja. Malu udah menarik
perhatian orang – orang sekitar, aku lebih memilih untuk duduk di paling
belakang. (Ugh…! Ini gara – gara
Matahari!... Hhh…udahlah, nggak penting juga marah – marah, buang – buang
tenaga aja….)
Udah
mulai sore, rumahku jadi ramai. Mulai dari saudara, teman, sampe tetangga
datang berkunjung untuk merayakan Natal bersama atau cuma sekedar kasih ucapan
selamat Natal. Urusan dengan Matahari tadi pagi terlupakan begitu saja karena
banyak yang mesti dilakukan. Tapi, lagi – lagi itu nggak berlangsung lama sampe
Hpku berdering. Kulihat, dari Matahari… Cherry, Maaf ya,. Matahari semalem abis ikut party ama temen2 trus minum
banyak. Jadi Matahari lupa. Sekarang aja masih pusing. Maaf ya? Oia, Met Natal
Yc,… (Dasar tukang
clubbing… Tapi,. Aku maafin deh, toh dia jadi sms juga. Tapi, masa’ yang mau di
omongin cuma ini aja?) Aku coba balas smsnya, tapi nggak dibales. Ya udahlah,
ngapain ngurusin cowok ganteng itu, mendingan ngabisin kue – kue natal yang
udah cape – cape dibawain ama sebagian orang yang dateng ke rumah.
Liburan kali ini bener – bener
ngebosenin. Nggak tau mau ke mana, trus nggak tau juga mau ngapain. Huwaa… bete
banget! Sepanjang hari cuma malas – malasan malah biqin badanku jadi karatan.
Daripada nanti jadi melar, kayaknya aku mesti gerakan badan sedikit, nih.
Karena itu kuputuskan untuk membersihkan seluruh sudut kamar yang udah mulai
nggak enak dilihat. Setengah hari,
akhirnya aku selesai juga. Lihat jam udah sekitar 19.00pm. Hmm.. kayaknya kalau udah cape kerja paling enak
berendam air hangat, nih!
Tanggal 28 Desember, tiba –
tiba Ika mengajakku ke Dufan buat ngabisin waktu liburan yang menurutnya
ngebosenin,—sama yang aku rasain. Dia bilang akan membawa cowoknya yang baru
sekaligus buat dikenalin ke aku. Tapi kalo dia bilang begitu, berarti aku bisa
jadi kambing congek donk? Nomor Matahari langsung kutekan. Nggak berapa lama,
terdengar suara Matahari sebagai jawaban.
“ Hah? Ke Dufan? Nggak salah? “ tanyanya waktu kuajak.
“ Kenapa? Ikut, ya? Anggep aja buat ngisi liburan, “
ajakku lagi penuh harap.
“ Hm, boleh deh… Jam berapa? “ tanyanya lagi.
“ Katanya sekitar jam 8an…, “ jawabku. Tiba – tiba
terdengar tawa Matahari, “ Mau ngapain pagi – pagi ke sana? Mau jadi satpam?
Hahaha.. “ katanya tertawa.
“ Koq ketawa…? Soalnya ‘kan lumayan dari sini ke sana,
kalo macet gimana? “ tanyaku membela diri.
“ Iya, iya… Ketemu dimana? “
“ Ketemu di sana aja. Ntar sekalian Cherry kasih tiket
diskonnya… “
“ Oh, oke deh…, “ kata Matahari yang kayaknya setuju
mau dateng. (Yeah! Kalau kayak gini ‘kan kayak double date! Ho..ho..ho...)
Sekitar
pukul 10.00am, kami bertiga sampai di kawasan Dufan. Dilihat dari pintu masuk
yang sudah antri panjang, kayaknya di dalam bakalan ramai banget. (Kalau kayak gini gimana caranya ketemu
Matahari??) Kucoba menghubungi Hp Matahari. Nonaktif…. (Wah, jangan – jangan dia masih tidur di rumah??) Melihatku
menghela napas, Ika langsung nanya tanpa basa basi, “ Matahari nggak jadi ikut,
ya? Cuekin aja lagi! “ katanya nggak peduli. Sambil bersungut – sungut, aku
mulai mengikuti langkah mereka masuk ke Dufan setelah bayar tiket masuk.
Masuk ke
dalam wilayah Dufan, aku terpana, alias takjub. (Gila, rame banget!! Udah
gitu, ‘bertebaran’ cowok – cowok keren lagi!! Matahari mah lewat!) Masih dalam keadaan terpana, aku memperhatikan
setiap orang yang berlalu lalang di sekitarku. Menjelang tahun baru kayaknya
banyak pasangan yang bersenang – senang di sini. Makanya, ke mana mata
memandang tetep aja nangkepnya udah punya pasangan masing – masing, termasuk
Ika yang kayaknya udah mulai bosen sama cowok yang ada di sampingnya, yang
emang pacarnya sendiri.
“ Cher, sini dong! Ngapain sih sibuk sendiri? “
katanya menyuruhku jalan berdua. Loh? Berdua?..
“ Mana cowok lo, Ka? Koq, nggak ada? “ tanyaku sambil
menghampiri.
“ Bete gue! Gue suruh aja dia beli minuman buat kita.
Eh, ngantri itu, yuk! “ ajaknya sambil menunjuk salah satu permainan yang
kayaknya bisa jadi pemanasan buat mompa adrenalin, Kora – Kora.
“ Itu? Wuih… Boleh juga! “aku mengiyakan, “ Eh, tapi
cowok lo gimana? Masa’ ditinggalin? “ tanyaku sadar kalau kita bertiga. Lagi –
lagi Ika masa bodoh, “ Ah, gampang! Ntar gue sms. Ayo, ntar keburu penuh! “
ajaknya lagi. Meski rasanya nggak enak ninggalin cowoknya, aku pasrah ditarik
Ika yang udah nggak sabar.
Sekitar 5 menit-an teriak – teriak, kami kembali ke
tempat semula. Nggak tega kayaknya kalo ngeliat situasi cowoknya Ika sekarang.
Duduk di bangku, sendirian, tangan pegang 2 minuman, 1 minuman lagi di bangku.
Melihat kami datang, dia langsung berdiri menyambut. Biasanya cowok bakalan
ngomel kalo dijadiin pembantu, tapi melihat dia, aku salut. “ Ini minumannya, “
katanya tersenyum sambil kasih minuman ke Ika. (Wah, ini sih bukan cowoknya, tapi calon pembantunya Ika…)
Istirahat sebentar, kembali aku melayangkan pandanganku ke setiap orang yang lewat. Benar – benar
cuci mata♥.
Beberapa saat kemudian, kami kembali mengantri untuk
naik Pontang – Panting. Kali ini
tentu saja bertiga. Yah, meskipun Ika memilih duduk yang agak jauh dari
cowoknya, ―yang duduk di sampingku. Setelah berpusing – pusing ria, kami
mencari makanan untuk makan siang. Puas menganjal perut, aku kembali
menyaksikan adegan ‘perbudakkan’, cowoknya Ika disuruh mengantri Arum Jeram, sedangkan Ikanya sendiri
sedang menikmati makanan pencuci mulut yang tadi dibeli, ice cream. Nggak tahan, aku mulai bertanya
pada Ika,
“ Ka, sejak kapan lo cari cowok buat jadi pembantu lo?
“ tanyaku langsung.
“ Itu, ya? Hm.. sekali – kali boleh ‘kan? Dia juga
nggak marah, koq! “ jawabnya sambil menelan suapan terakhir ice cream
di tangannya. Mendengar itu, aku hanya
menggeleng – gelengkan kepalaku. (Bener –
bener deh nih cewek…) Melihat tempat cowoknya mengantri udah nggak terlalu
jauh dari pintu masuk, aku mengajak Ika untuk ikut mengantri bareng. Nggak
lama, kami akhirnya dapat giliran juga buat berbasah – basah ria di Arum Jeram.
Wuih,…! Tapi, yang sialnya, kenapa di antara kami bertiga ―plus 2 orang lain
yang ikut― jadi aku yang baju + celananya paling basah?! Koq, yang lain
nggak??... Yah, terpaksa deh, selesai dari Arum Jeram, aku jadi berjemur sebentar untuk mengeringkan
baju dan celanaku. Lumayan bikin bahuku gosong juga, soalnya matahari sorenya
lagi semangat’45 bersinar menyinari bumi, baju aja sampai kering! Selesai aku
berjemur, kami lanjut ke permainan Kincir – Kincir. Jam di sana sudah
menunjukkan sekitar pukul 16.45, tapi orang – orang yang datang malah semakin
banyak. Penuh banget! Ketika melewati Panggung Boneka, kulihat rupanya ada
pertunjukan musik. Pengen nonton sih…. Tapi
nggak enak sama Ika yang pengen banget naik Kincir – Kincir yang udah di
depan mata. Niat naik sih lumayan semangat tapi begitu lihat antriannya yang
panjang banget… kayaknya semangat bakal turun. Mesti ngantri berapa jam buat
naik nih?? Kulihat wajah Ika, dan ―seperti
yang kuduga―, lagi – lagi ‘perbudakkan’ pun dimulai. Tentu saja korbannya nggak
lain adalah cowoknya Ika. (Cowoknya koq
nggak nolak sih?) protesku dalam hati sambil melihat sekitar Panggung
Boneka, ―siapa tau ada tempat buat nonton― (Yah,
walau pun aku nggak tau, tapi kayaknya kalau Matahari di’budak’in kayak gitu,
ceweknya nggak bakalan selamet tuh! Ngomong – ngomong Hpnya Matahari udah aktif
be―) “ lum…., “ lanjutku keluar dari mulut. Setengah nggak percaya, mataku
menangkap seseorang yang mirip banget sama Matahari lagi duduk di belakang
Panggung Boneka. Style-nya Matahari banget! Kaos merah, celana skate putih,
sepatu kets putih, rambut boleh banget! Dengan cepat aku memberitahu Ika
tentang apa yang kulihat sambil menunjuk orang itu. Ika tersenyum, terus
bilang, “ Ya nggak mungkin lah dia ada di sini. Sadar dong, Cher! Lagipula itu
‘kan jauh, bisa aja mata lo salah gara – gara mikirin matahari terus! Nggak
percaya? Samperin aja.., “ semprotnya sambil menantang.
Mendengar itu, aku kembali bersungut – sungut, “ ‘Kan
dipager-in, gimana mau ke sana…? “ kataku pelan. Kembali kutatap orang itu (Emang bener – bener mirip sama Matahari…♥) pikirku sambil tersenyum simpul
sendiri. Tiba – tiba Ika mengajakku makan roti bakar yang kiosnya di dekat
Panggung Boneka.
“ Cowok lo nggak diajak? “ tanyaku. Ika menggeleng.
“ Lo tenang
aja, nggak usah khawatir soal dia. Soalnya ntar pulang bakal gue kasih yang
lebih buat dia♥, “ katanya sambil tersenyum nakal. Entah apa yang Ika maksud,
tapi mudah – mudahan aja bukan sesuatu yang berbahaya.
“ Lagipula Cherry suka pertunjukan musik kayak gini
‘kan? “ lanjut Ika, “ Sekalian nonton aja sambil makan roti bakar. Enak, ‘kan?
“ katanya tersenyum padaku. Aku terkejut, tapi sepersekian detik aku kembali
tersenyum, “ Keren, deh! “ kataku senang. Pertunjukan sudah mulai berlangsung
cukup lama hingga kami mendapatkan pesanan kami, 4 roti bakar coklat. Hmm… Delicious! Makan roti bakar sambil nonton musik emang
asyik, cuman lagu yang dipertunjukan sudah bukan aliran kami berdua jadinya ya
nggak nyambung. Sambil tertawa, kami memutuskan untuk menyelesaikan makan kami
dengan cepat, dan kembali ke tempat antrian. Pukul 17.00, antriannya masih
panjang. Kulihat cowoknya Ika masih berdiri nggak jauh dari tempat dia pertama
kali mengantri. Pasti capek banget tuh…
Beberapa
saat kemudian, muncul barisan pawai boneka. Keren banget! Bukan bonekanya, tapi
orang – orangnya yang didandanin sedemikian rupa menyamai temanya. Ada Ratu
Mesir beserta pengawal – pengawalnya, ada Raja Firaun plus mummy dan beberapa
pengawalnya, dan Putri – Putri plus Pangerannya yang ―entahlah berasal dari
mana. Tapi ada sesuatu yang membuatku agak terkejut dan malu. Di antara barisan
kodok hijau, ada salah satu kodok hijau yang menggodaku hingga membuatku
tertawa. Dan gara – gara ulahnya itu, dia nyaris tertinggal pasukan kodok yang
lain. Entah apa maksudnya, tapi dia berhasil membuat orang – orang melihat ke
arahku, sedangkan Ika tertawa puas banget melihatku salah tingkah.
“ Wah, Cher, kayaknya
itu Pangeran kodok lo deh! Hahaha… minta cium, tuh! Huahahaha…!! “ ejeknya di
sela tawa yang makin meledak. Jelas aja itu membuat mukaku merah. Cuma satu
kata yang bisa keluar, “ Sialan lo, Ka… “ kataku. Bukannya berhenti, Ika malah
semakin tertawa melihat wajahku jadi merah.
Sedangkan orang – orang di sekitarku senyam – senyum. Bener – bener deh…
Lampu – lampu di Dufan sudah mulai
menyala ketika matahari mulai menghilang. Padahal sudah hampir pukul 18.00,
tapi kulihat antrian Kincir – Kincir masih juga panjang, sedangkan cowoknya Ika
hanya beranjak beberapa meter dari tempatnya semula berdiri. (Gila… lama banget… masa’ iya masih mau
nunggu terus…?)
“ Ka… “ Baru aku mau ngomong, tiba – tiba Ika bangkit
berdiri dan memanggil cowoknya. Nggak ngerti, cowoknya Ika jadi mau nggak mau
meninggalkan tempatnya berdiri dan menghampiri Ika yang menyuruhnya mendekat.
“ Nggak usah naik itu, deh,.. Lama banget…! Lagian
kamu juga kasian berdiri terus. Istirahat dulu gih…, “ katanya menyuruhnya
duduk di sampingnya. Kaget, aku jadi bengong melihat Ika yang mulai kalem sama cowoknya
(Hee… bisa juga dia baik sama cowoknya…)
“ Nanti kita naik Bianglala sebelum pulang, ya? Udah
malem, pasti romantis! “ ajak Ika. Sesaat, nggak sengaja pandanganku ke arah cowoknya Ika. Aku terkejut melihat
wajahnya yang merona merah. Kayaknya nggak mungkin banget kalau itu gara – gara
pantulan sinar matahari, yang udah nggak kelihatan lagi alias udah terbenam.
Jadi bisa disimpulkan kalau dia malu! (Fu..fu..fu…
ternyata dia cowok yang polos, ya? Nggak nyangka, he..he..he...) Antrian di wahana Bianglala nggak terlalu
panjang, jadi kami bisa naik beberapa menit setelah ikut dalam antrian. Begitu
mulai bergerak naik, baru aku menyesal kenapa aku nggak bawa jaket or sweater.
Masalahnya angin malemnya dingin banget..! Bulu kudukku saja sampai berdiri. Tapi
kayaknya nggak masalah buat Ika tuh! Ya iyalah, gimana bisa ngerasa dingin
kalau dirangkul gitu sama cowoknya? (Ika
sey enak ada cowoknya, jadi nggak ngerasa dingin… Iih, jadi pengen punya cowok
nih….) Nggak lama, sekitar 15 atau 20 menit, perjalanan kami di Bianglala
selesai. Nggak kerasa, kayaknya cepet banget baru naik. Begitu turun dari
wahana, tiba – tiba terdengar pemberitahuan dari speaker pengeras suara kalau
sebentar lagi Dufan akan segera ditutup. Bengong, liat jam sebentar, ternyata udah
sekitar jam 19.38. (Waduh! udah jam
segini, nyampe di rumah jam berapa nih…?)
Ika yang kayaknya mikir sama denganku langsung mengajak pulang tanpa
makan malam dulu. Perjalanan buat sampe ke pintu keluar udah makan waktu
sekitar 10 menit, ditambah harus jalan lagi ke tempat pemberhentian bus kira –
kira setengah jam, jadinya waktu kita naik mobil buat pulang udah sekitar jam
20.20 menit. Wuih, untung ada cowok meskipun satu. Takut juga sih pulang malem
naik bus kota. Gimana nggak takut?
orang semua yang ada di dalam bus tampangnya nggak ada yang bisa di bilang
ramah. Iih… Sekitar pukul 9 malem lewat
dikit, kami bertiga sampai di stasiun kota. Untuk sampai ke rumah, kami harus
naik mobil sekali lagi. Dan Untungnya, mobil jurusan Bekasi masih ada beberapa
buah. (Fiuuh.. Untungnya masih ada mobil…
Bahaya juga nih udah jam segini. Mana penumpangnya cuma sedikit lagi… )
Sekitar
pukul 22.45pm, akhirnya aku berhasil menginjakkan kakiku di rumah dengan
selamat. Cape’ bangeet! Kalo diliat dari lampu yang udah dimatiin, kayaknya orang rumah udah pada tidur semua.
Dengan gaya yang mirip maling, aku mulai membuka pintu luar. Sebenarnya takut
juga kalo tiba – tiba diteriakin maling beneran ama hansip. Tapi ya nggak
mungkinlah maling style-nya kayak gini.
Pelan – pelan aku mulai memasuki kamarku.
“ Haah… cape’ banget..! “ Aku menghempaskan badanku ke
kasur yang empuk, “Hhh… “ Pandanganku menerawang ke langit – langit kamar. (Untung Matahari nggak ikut., cape’ banget!
Fuh… Matahari lagi ngapain ya kira – kira..? ……Sms ah!) Dengan cepat, aku
meraih Hp di meja dan mulai mengetikkan sms untuknya. Mlm, Matahari.. lagi ngapain? Cherry baru pulang dari Dufan nich. Tadi pagi
koq Hpnya nggak aktif? Tapi, untung deh Matahari nggak ikut, capek bgt…! Oia,
tapi Cherry ketemu cowok yang mirip kayak Matahari, loch! Apa itu emang
Matahari, ya? He~… Seneng dech! Yaud, met mlm yach! Setelah ada laporan delivered, aku melangkah ke
kamar mandi alias mau mandi, soalnya badanku udah bau keringet. Waktu badan
lagi cape' emang paling enak kalau berendam air hangat.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Happy New Year! Nggak kerasa tau – tau
udah ganti tahun yang baru. Dan itu artinya… 4 bulan lagi menuju ujian akhir!
Huwaa.. rasanya masih belum siap lahir dan batin. Nggak kebayang gimana soal –
soal yang bakalan kami, para murid, hadapi nanti. Apalagi nilai standartnya
udah dinaikkan daripada tahun lalu. Kayaknya sih nggak bakalan lulus kalau
nggak berjuang ekstra keras. Pokoknya mesti berjuang! Semangat! —lupakan dulu
soal kepindahan Matahari—
Buku besar di hadapanku kubuka. Mataku
langsung melotot (baca:fokus) mempelajari soal – soal yang mungkin akan
keluar waktu ujian nanti. Tapi, sudah hampir 2 jam aku duduk, aku baru
menyelesaikan ¼ lembar dari buku yang tebalnya udah kayak buku ensiklopedia
paling tebal yang pernah ada. Judulnya: Kumpulan Latihan Soal – Soal Ujian SMA
PASTI LULUS! Kayaknya yang bikin buku ini yakin banget kalau yang pelajarin
bukunya pasti sukses. Tapi.. bukannya yakin bakalan lulus, yang ada malah
sekarang kepalaku jadi pusing.
Sambil istirahat sebentar, aku membuat
secangkir coklat hangat. Kalau dipikir – pikir, kayaknya cara
belajarku juga rada salah. Mestinya kalau murid yang baik belajarnya dari jauh
– jauh hari. Kalau bisa waktu masuk kelas 3, udah mulai belajar serius. Jadinya
udah nyiapin perbekalan dari dulu. Tapi, mungkin sebagian juga udah nyiapin
perbekalan yang ‘sesat’ buat ujian nanti. Yah, kalau itu untung – untungan
juga. Coba kalau ketahuan, udah malunya nggak karuan, nggak lulus pula. Pindah
planet deh.,
Nggak kerasa coklat hangat di cangkirku
udah habis kuminum. Waktunya ke kamar dan kembali bertarung dengan soal – soal
latihan. Nggak ada 5 menit, aku kembali tenggelam dalam keseriusan mengerjakan
soal – soal waktu pelajaran tambahan. Tiba – tiba Hp-ku bergetar hebat kayak mau
menarikku dari ‘ketidaksadaran’. Kulihat display Hp, 2 messages from
Matahari. Kubuka dan kubaca pelan, Cherry, met taon baru, ya.
Semoga apa yang diharapkan tahun ini dapat terkabul dan menjadikan tahun
kemaren pelajaran untuk memotivasi tahun ini… God blez U.. sedangkan sms yang satu
lagi isinya sama, yang beda hanya waktu kirimnya, beda 8 menit. Dengan cepat
aku membalasnya, Met
tahun baru juga, Matahari. Semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih bersinar
untuk Matahari. GBU too. *Delivered*. Oke! Tahun
baru semangat juga baru! Ayo berjuang biar lulus!
Senin. Hari pertama masuk sekolah di
tahun yang baru. Nggak ada yang spesial karena sumber semangatku udah nggak ada
lagi di K.U. Hiks...Hiks... Sebenarnya aku sempat menelpon Matahari sehari
sebelumnya. Tapi begitu kutanya di mana tinggalnya sekarang, dia hanya
menjawabnya dengan, “ Ssstt.. rahasia.. “ begitu katanya. Yah, lagipula di
sekolah, aku juga nggak sempat mikirin Matahari lama – lama karena guru – guru
dengan kejam memberikan latihan soal – soal tanpa ampun. Sepanjang hari selama
8 jam++ kami, para murid kelas 3IPA2, hanya disuruh menelan bulat – bulat semua soal mengerikan yang di kasih. Itu pun
masih belum selesai, selain harus dilanjutkan di rumah sebagai pe-er, soal –
soal itu juga akan dilanjutkan lagi di keesokan harinya. Derita Neraka di hari
selasa pun berlanjut.
Bel istirahat menyelamatkan kami dari
siksaan soal – soal yang susahnya minta ampun. Kayaknya guru – guru juga nggak
kalah semangat kasih soal – soal latihan ujian biar muridnya lulus semua.
Setelah guru melangkah keluar kelas, baru kami bisa menghela napas. Lega.
“
Wuaah… Gila! Bisa gila beneran nih gue!
“ gerutu Adit mengacak – acak rambutnya yang berombak nggak jelas. Di
sampingnya ada Baqõ yang lagi duduk dengan tatapan mata kosong layaknya patung
arca di candi - candi. Kayaknya pikirannya lagi di awang – awang, deh.
Sebenernya kepalaku juga rada pusing. Apalagi harus menghadapi pelajaran yang
nggak kusuka, Matematika. Tapi kalau buat kelulusan mau nggak mau harus mau and
harus bisa ngerjain. Di sampingku ada Uerul yang lagi nggak sadarkan diri. Dari
tadi dia hanya meletakkan kepalanya di atas meja, sambil sesekali digoyang ke
kiri ke kanan.
“
Wah, kalo gini terus sih bisa stress duluan sebelum ujian… “ Dari belakang
Panji datang menghampiri. Kayaknya dia juga punya beban yang sama. Sedangkan
Ika, Lilis, dan Wulan lagi ke kantin beli makanan buat makan siang sekaligus
beli pesananku.
Nggak lama, mereka bertiga kemudian
datang. Acara makan siang bersama pun dimulai setelah Uerul sadar dari
pingsannya, eh, maksudnya tidur – tiduran dan mengeluarkan kotak bekalnya.
“
Aduh… kepala gue sakit nih! kayaknya gue
kurang tidur, deh…, ” kata Uerul sambil memasukkan suapan pertamanya ke mulut.
“
Lo kebanyakan makan soal – soal, kali.. makanya lo kurang tidur, “ kata Lilis
menanggapinya asal.
“
Eh, ngomong – ngomong soal tidur, Wulan semalem mimpi aneh, loh! “ Wulan
mengernyitkan dahinya mencoba mengingat, “
Ng, mimpi apa, ya..? Oia! Mimpi Matahari! “
“ Uhuk! ..Uhuk!! Apa lo bilang tadi?
M-Matahari? “ tanyaku sambil berusaha napas.
“
Iya. Namanya Matahari, ‘kan? Cowok ganteng yang suka bareng sama Cherry? “
Pertanyaan Wulan langsung membuat wajahku merah.
“
Eehh… suka bareng apanya..?? “
“
Dalam mimpi Wulan, Matahari masih di sini. Dia juga masih sekolah di sini.
Tapi, Mataharinya beda. Dia jadi baik. Masih tetep dingin, tapi beda aja.. “ Wulan
berusaha menelan nasi di mulutnya, dan kembali melanjutkan perkataannya, “ Nah,
terus Cherry sama Matahari pulang bareng. Teruss… “ Wulan mendekatkan wajahnya
ke mukaku, begitu juga dengan Ika, Lilis, Uerul, dan cowok – cowok yang ikut
nguping dari belakang: Adit, Baqõ, Panji. Senyum mengembang di mulut Wulan, “
Kalian gandengan tangan! “ katanya sedikit histeris dan dilanjutkan teriakan
dari Ika, Lilis, dan Uerul. Mendengar itu, wajahku kembali bersemu merah.
“
Se-sebenernya lo mimpi apa sih, Lan? Koq, bisa mimpi kayak gitu? “
“ Nggak tau. Ada feeling kali lo berdua bakalan
jadian? “ Wulan senyam – senyum melihatku salah tingkah. Ya, tentu saja!
Soalnya yang aku tahu feelingnya Wulan itu sering tepat. Tapi mungkin kali ini bisa aja
meleset. Kenapa aku bisa jadian sama Matahari? Memikirkannya aja udah bikin
wajahku kembali merah. Tiba – tiba Adit menepuk kepalaku dari belakang, “ Jangan
ngarep yang muluk – muluk, deh… “ katanya. (Ugh!)
“
Iya, iya… tau koq! “ (Tapi
aku berharap kalau firasatnya yang pertama itu bener… kalau Matahari emang
masih sekolah di sini. Yah, semoga aja..!)
Matahari siang udah di atas kepala.
Puanass banget. Mungkin lebih tepat dibilang terik daripada cerah. Dengan
langkah gontai, aku melangkah menuju perpustakaan yang ada AC-nya. Tapi di
tengah jalan, Roswani, —teman sekelasku yang juga temannya teman Matahari,
memanggilku.
“
Cherry…! Matahari masih di sini..! “ katanya setengah teriak.
“
Hah??~ “ Udara panas berhasil membuat otakku jadi lemot.
“
Ihh.. Cherry gitu deh! Udah lupa sama Matahari, ya? Nih, denger baik – baik.
Matahari tuh masih di sini, sekolahnya juga masih di sini, “ katanya lagi
mengulangi. Beberapa detik kemudian aku baru ‘ngeh’.
“
Apa lo bilang? Matahari? Kata siapa?? “ tanyaku beruntun.
“
Dari Choco... Nggak percaya? Kalau gitu kita tanya aja lagi. Tuh, ada Musa di
lapangan, ayo kita samper, “ ajak Roswani menarik tanganku ke lapangan. Nggak
sampai 5 menit, aku dan Roswani udah sampai di pinggir lapangan tempat Musa
yang tadi ditunjuk Roswani.
“
Musa..! sebentar deh! “ Nggak lama cowok yang ngerasa namanya dipanggil datang
nyamper. Aku tertegun. (Jadi ini yang namanya Musa? Kalau nggak salah
Matahari pernah cerita…)
“
Tuh ‘kan, Cher!
Matahari masih sekolah disini. Senin aja masuk, “ kata Roswani menyadarkanku
dari lamunan.
“
Eh!? Tadi bilang apa? Matahari masuk hari senin? “ Roswani ngangguk. (Koq
aku nggak liat??!!) Setelah mengusir Musa kembali ke lapangan, Roswani
memutuskan untuk ke kantin. Sedangkan aku… Tanpa sadar aku melangkah ke kelas
2IPS4 tempat Matahari. Aku melongok ke dalam kelas. Kosong. Nggak ada siapa –
siapa kecuali kursi – kursi yang berantakan. Kulihat daftar absensi 2IPS4. Ada! Matahari ada!
Matahari masuk! Matahari belum pindah! Matahari masih di sini! Iyeii!!
Semangatku langsung muncul begitu tahu kalau Matahari masih di sini. Itu
berarti aku masih bisa melihatnya. Seneng banget! Ternyata feelingnya Wulan
emang bener!
Tiba – tiba bel masuk untuk anak kelas
3 untuk kelas
tambahan berbunyi nyaring. Rasanya jantungku hampir keluar dikagetkan begitu
tiba – tiba. Pelan – pelan aku meletakkan buku absen seperti semula, dan
melangkah keluar. Sampai di jembatan kelas tiga, Kartika memanggilku,
“
Cher, udah ada guru, buruan! “ kepalanya
muncul dari jendela kelas di lantai tiga.
“
Eeeh?! “
“
Ngomong – ngomong tadi gue ketemu Matahari, loch! “ lanjut Kartika sesaat
setelah aku lari meninggalkan jembatan. Sampai di pintu kelas, kayaknya aku
pengen jatuh tersungkur aja kayak di komik begitu ngeliat guru yang lagi duduk
di kelas. Ada
guru sih iya, tapi gurunya lagi asik makan, malah sampai menawariku makan
segala. “ Nggak, Bu. Makasih, “ tolakku sopan sambil jalan ke tempat Kartika
yang lagi cengengesan di bangku.
“
Nggak penting soal guru. Kayaknya tadi gue denger lo ketemu Matahari, ya?
Gimana ceritanya? “ tanyaku sambil memukul bahunya bercanda.
“
Dyuuh, Cherry… Cape ya lari – larian? Hehehe…
makanya jangan ngelamun, pake senyam senyum sendiri di jembatan lagi… Hehehe..
“ ledeknya sambil nyengir.
“
Udah ah, nggak usah dibahas. Cerita tentang Matahari, donk? “ pintaku sekalian ambil
bangku di depannya dan duduk dengan posisi siap mendengarkan.
“
Ya, ya… Tadi gue ketemu Mataharinya di tangga waktu gue naik abis dari kantin.
Gue kaget, soalnya kata lo 'kan
Mataharinya pindah sekolah… “ Aku mengangguk – angguk. “ Ya, gitu aja. Trus gue
lewat di sampingnya. Selesai. “
“
Cher, kemaren gue ketemu Matahari waktu pulang
sekolah di gerbang. “ Cepat, aku
menoleh. Alin berdiri di belakangku sambil ngemut permen lollipop. (Lagi??)
“ Koq, gue
belum liat….????? “ Aku ngelonjor lemas di meja. Nggak lama, pelajaran pun dimulai
setelah guru merapikan mejanya dari bekas – bekas makanan yang dia makan. Kalo
diperhatiin baik – baik, kayaknya penghuni kelas udah berkurang setengahnya
dari jumlah yang tadi pagi penuh. Tas – tasnya pun udah pada nggak ada di
tempatnya. Kapan mereka kabur? Koq, gurunya nggak nanya apa – apa? Kalo izin
juga nggak mungkin dibolehin segerombolan gitu. (Koq, nggak ngajak – ngajak
mau cabut?)
Sekitar jam 4 sore, aku sampai di rumah, dan
langsung mencoba menghubungi Matahari. Nggak lama, suara khas Matahari menggema
di telingaku.
“ Kenapa, Cher? Udah pulang? “
“ Ah, iya.
Matahari lagi di rumah? “ tanyaku deg – deg-an.
“ Iya. Lagi
tidur – tiduran di rumah. Di luar panas, jadi males keluar… “
“ Matahari..
masih di K.U? Nggak jadi pindah…? “ Jantungku berdetak semakin cepat. Setelah
mendengar desahan napasnya di telepon, nggak lama suara tawanya menggema.
“ Hahaha…
jadi mau nanya itu? …Bukannya nggak jadi, tapi diundur sampai selesai ujian… “
jelasnya sambil dibarengi suara ketawa. Mendengar itu, rasanya aku mau loncat
saking senangnya.
“ Beneran?
Wuah, syukur, deh…! Kirain Matahari udah pindah… “
“ Iya. Lagian
masih banyak yang mesti diurusin Matahari… “ jelasnya pelan. Meskipun
penasaran, kayaknya aku juga nggak boleh tanya macam – macam kalo itu urusan
pribadi. Kalo nanti kena masalah lagi, aku sendiri yang repot. Yang penting
Matahari masih ada di K.U itu aja udah bikin aku seneng.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Februari!
Bulan penuh cinta!♥♥ Ngomongin bulan februari dan cinta, pasti ujung – ujungnya
Valentine. Coklat!! Wangi coklat dan nuansa pink pasti ada dimana – mana
termasuk dapurku.
“ Hmm…
bingung nih bikin coklat buat Matahari… “ Coklat batangan di hadapanku kuputar
– putar sambil mikir desain yang cocok untuk cowok itu. Ada alasan kenapa aku
mau bersusah payah bikin coklat seperti ini hanya untuk seorang Matahari. Mari
kita ulang lagi kejadian beberapa hari yang lalu sebelum bulan Februari datang.
Sore sekitar
jam 4an pulang sekolah, aku yang sampai saat itu belum bertemu muka dengan
Matahari mencoba menelponnya untuk menanyakan apa dia suka coklat atau tidak.
Seperti yang kuduga, dia langsung tahu kalau aku berniat memberinya coklat
Valentine.
“ Dasar.. bilang aja mau kasih coklat ke
Matahari, kenapa pake alesan cuma mau nanya aja? “ katanya mengerutu di telpon,
“ Emangnya Cherry bisa bikin coklat? “ tanyanya setelah membuatku malu – malu
salting.
“ Eh?... Yah…
“ aku bingung mau jawab apa, soalnya aku memang baru pertama kali bikin coklat
terlebih lagi buat seorang Matahari. Lagi – lagi Matahari berhasil menebak apa
yang aku pikirkan, “ Matahari nggak mau jadi kelinci percobaannya Cherry, ntar
kalau Matahari sakit perut, gimana?? “ sewotnya, “ Pokoknya Matahari mau blackforest sebagai tanda sayang Cherry
ke Matahari! “ Aku yang tadinya mau
protes langsung diam seribu bahasa. (Sayang?
Tanda sayang aku ke Matahari? Aku sayang Matahari??Blackforest?)
“ Roger that! ” tanpa
sadar aku langsung menjawabnya. Mukaku langsung terasa panas. Malu banget!
“ Ngomong apa
sih? Apaan tuh roger? Matahari nggak ngerti deh! “
Boleh
tertawa? Hahaha… Kayaknya kali ini aku bersyukur dia nggak
ngerti bahasa Inggris padahal kalau dia tau, malu banget - banget deh!
“ Yah,
pokoknya kalau dah jadi, Cherry langsung kasih ke Matahari deh..! “ kataku
bersemangat. “ OK! “ jawabnya puas.
Dan sekarang
di sinilah aku. Di dapur yang udah kayak abis perang, alias berantakan banget.
Waktu itu, aku emang bersemangat mau bikin ampe nggak sadar sesuatu: Gimana
caranya bikin blackforest?! Coklat
yang sederhana aja nggak jadi – jadi…
“ Hontou ni baka, ne[4]…
gimana nih?? Ma_chan[5]…
“ Kepalaku mulai digeleng ke kiri dan kanan. Bingung.
13 hari
menuju Valentine’s Day.
“ Ikaaaa~~~…
“ Aku memanggil Ika di depan kamarnya yang tertutup dalam rumahnya di siang
hari yang cerah (baca: terik). Tidak ada jawaban. (Mana nih orang? Dah siang koq masih tidur??) Nggak lama mboknya
datang, “ Aduh, mbak Cherry, non Ikanya baru tidur tadi, non baru pulang pagi..
“ (What?! Pulang pagi?! Abiz ngapain tuh
anak?)
“ Emangnya
dia dari mana, mbok? Kog pulang pagi? “ tanyaku was was.
“ Oh, dari
semalem dia nginep di rumah temennya buat ngerjain tugas untuk anak – anak di
sekolah minggu nanti malem, “ jelas mboknya yang nggak masuk di otakku. (Tugas sekolah minggu? Sejak kapan dia jadi
pembimbing?? Wah, nggak beres nih..)
“ Aku tunggu
aja ya, mbok.. palingan sebentar lagi bangun.. “ kataku akhirnya. Mbok
mengangguk lalu melengos pergi. Sambil menunggu Ika bangun, aku masuk ke
kamarnya dan mengambil beberapa komik untuk membunuh waktu. Menjelang sore, Ika
baru membuka matanya, “ Wuah! Cherry! Kaget gue.. Ngapain? “ Hening. 2 menit.
“ Eh, udah
bangun, Ka? “
“ …. (Kebiasaan… budeknya kambuh kalo udah pegang
komik) “
Nggak
dijawab, aku kembali membaca. “ Woi.. “
“ Oia!
Ngapain lo pulang pagi? Ngaku! “ Ika bengong plus kaget, karena tiba – tiba aku
tanya, dan jawabannya adalah, “ Hahh~?? “ reaksi yang benar mengingat dia baru
bangun dan rohnya belum terkumpul semua, lebih daripada itu napas naganya pun
langsung membuatku reflek mengambil jarak aman. “ Ampun deh, naganya tuh,.!
Kamar mandi dulu sana...
“ suruhku layaknya tuan rumah.
Hampir 1 jam
kemudian, Ika kembali ke kamar saat matahari sudah berwarna jeruk.
“ Cher, koq
jadi lo yang keasikan baca komik? “
“ Nanggung.
Lagi seru… “ Hampir 10 jilid komik berserakan di ranjang Ika. Sambil menungguku
selesai, Ika melanjutkan ritual sehabis mandinya di meja rias.
“ Ka, lo jadi
pembimbing sekolah minggu? “ tanyaku akhirnya sambil merapikan komik – komik
itu kembali ke lemari.
“ Iya.. seru
loh! Anak – anaknya lucu. Yah, lebih banyak yang nggak bisa diaturnya sih.. “
jawabnya di depan kaca.
“ Hmm, sampai
pulang pagi? “ Introgasi pun di mulai.
“ Nggak gitu
juga sih.. Gara – gara keasikan jadi nggak mau pulang.. “ (Ambigu tuh!) Di jawab seperti itu, aku jadi semakin ingin tahu, “
Maksudnya? Emangnya lo nginep di mana? “
“ … … di
rumah anak pendeta. “ jawabnya pelan. (?
Siapa tuh?)
“ Hitori?[6]
“
“ Ja..., Kenapa? Khawatir? “ Ika tersenyum melihatku dari kaca mejanya. Dari
riasan wajahnya sepertinya dia sudah bersiap untuk pergi ke sekolah minggu. (Are? Chotto matte….)
“Akh! Baka! Ka, gue ke sini ‘kan mau curhat!
Matahari..— “
“ Iya tuh,
mataharinya udah mau tenggelam.. “ candanya sambil menunjuk ke jendela.
“ Not that sun! That little cute Sun!
Matahari minta dibuatin blackforest
buat Valentine nanti.. Gimana nih? “
“ Why my lil’cute friend become this stupid?
“ (What?!) “ You can buy it, can’t you? “ Aku terdiam mendengar usul itu. (Bisa juga sih.. tapi kan.. )
“ Tapi gue
pengen bikin sendiri buat Matahari. Can
you help me? Please? “ rayuku dengan tatapan kucing memelas
yang kutahu Ika paling nggak tahan yang seperti itu.
“ Uhh.. How cute you are~~ ♥! Okay, I’ll help you as
I can.. “ (Yosh! Berhasil..!)
Nggak lama setelah makan malam bersama, Ika berangkat ke
sekolah minggu, dan aku pulang ke rumah. (Perasaan
ada yang lupa… Apa ya?)
“ Ah! Siapa
anak pendeta tadi?! “ (spx:
DOONG~!)
Di rumah,
~browsing, browsing, browsing~
“ Ah~~
Kebanyakan liat gambar blackforest
malah jadi kepengen sendiri…. “ Aku ber-monodialog di depan komputer sambil
menahan air liurku supaya nggak tumpah. Asli! Bikin ngiler gambar blackforest-nya.
“ Hmmm….
Kayaknya yang ini yang paling sederhana… “ gambar blackforest mini dengan hiasan sederhana plus cara membuatnya.
“Coba ah besok..! “ Selesai mencetak file, aku langsung menuju ke pulau kapuk
tercinta.
Di sekolah,
nuansa Valentine mulai terasa, berhubung tanggal 14 Februari adalah hari
jadinya sekolah K.U, perayaan pun segera disiapkan. Tahun ini setiap kelas
berlomba membuat hiasan valentine sebagus mungkin dan kelasku menyiapkan tema
‘Kelas Cantik Bernuansa Kamar Sendiri’ *Maksa* Jam sekolah yang seharusnya
selesai jam 14:00 tepat teng, sekarang jadi ngaret sampai berjam – jam. Alasan
terbesar adalah hiasin ruang kelas. Ngomongnya sih gitu, padahal aslinya lebih
banyak ngabisin waktu buat adu pendapat mau diapain lagi kelasnya. Akhirnya
kelas pun berubah jadi medan perang pendapat. Ya di kasih taplaklah semua meja, ya di kasih
lukisanlah temboknya, ya dikasih wallpaperlah setiap dindingnya, ya di kasih
gordenlah jendelanya, ya di kasih tirai ‘selamat datang’lah di pintu kayak di
resto-resto mahal.. Yang menjadi sumber tenaga buat kerjain semua kerjaan berat
alias para murid cowok cuma diem aja liat cewek – cewek makin lama malah makin
beringas, ya nggak sampai harus ngelempar bangku setidaknya, tapi hasilnya
kerjaan nggak selesai – selesai sampai akhirnya mereka cape sendiri. Aku
sebagai pihak netral cuma bisa liat sambil ngerjain origami ‘Tsuru’ alias burung
bangau buat nantinya mau di tempelin ke jendela – jendela. Niatnya sih pengen
sekalian bikin boneka Teru – Teru Bozu, tapi yang ada nanti aku digebukin sama
tukang kebun gara – gara nggak turun hujan. Niat pun diurungkan. (Sigh… )
Target kerja
nggak kecapai bikin kerjaan makin molor buat ke depannya. Padahal penilaian
dimulai seminggu sebelum hari H. Bisa pulang sekolah makin malem besok – besok.
TAPI! *Penekanan kata tapi* Hihihihi…
Matahari juga pulang sore. Nggak tau ngerjain apa, tapi kayaknya dia sering
pulang agak sore. Kayak hari ini.
“ Cherry baru
pulang juga? “
“ Hah?! “
Kaget plus seneng banget disapa duluan. Koq bisa tau ya ada aku di belakangnya?
Padahal kan aku sudah mencoba menghilangkan hawa keberadaan, niatnya sih pengen
ikutin sampai ke rumahnya.. khuhuhu♥ (Mesum
mode: ON) jadi gagal deh...
“ Cher?? “
“ Ha? Oia!
Iya pulang sore sekarang, ada kegiatan hiasin kelas buat ikut lomba, “ jelasku
malu ketauan lagi ngelamun.
“ Hm... “
Oia! Lupa
dijelaskan! Aku sudah ketemu sama Matahari, itupun gara – gara ada upacara
bendera dadakan waktu hari senin kemarin. Seneng BGT! Plus shock juga. Heart attack di pagi hari. Soalnya Matahari tambah keren!! Asli, keren
sangat! Jadi beda. Padahal tahun lalu rambutnya agak coklat kemerahan, sekarang
hitam. Benar – benar hitam mengkilap. Tambah keren♥! *nose
bleed* Udah gitu jadi tambah putih. Trus rada – rada jadi perhatian gitu.
Keren, tinggi, putih, perhatian.. Wuih~~♥♥♥
EHM! Eniwei because that problem, sekarang
aku jadi rada takut kalau lagi deket sama dia. Takut ketahuan lagi deg – deg-an
kayak sekarang ini.
“ Cher? Koq
liatnya ke bawah terus? Nggak takut nabrak di depan ya? “ katanya pelan.
Ngomongnya sih biasa, tapi tangannya nggak biasa. Dia nepuk pelan kepalaku!
Gyaaa~~~~ (>/////<)
“ HAH?!! NGGAK KOQ! NGGAK NABRAK!
“ Speechless. Mau mati. Kayak keselek
salak plus sama kulit – kulitnya nyangkut di tenggorokan. God! I’m so happy now!! but why my voice become like this??!
“ Kenapa? “
Nggak sanggup
jawab, aku hanya menggelengkan kepalaku dengan kecepatan cahaya berharap kalau
Matahari nggak liat mukaku yang kayak tomat busuk ini, merah nggak karuan, plus
panas kayak di kompor meleduk.
“ Muka Cherry
merah loh… “
(Geezz, God, please make this kid to shut up, I can’t
hold it anymore…)
“ Ma-Ma-Mat-…
“ Tarik napas sangat amat dalam, dan lepaskan! (FYYUUUUUH~~!!!) lega dikit, “Mata..hari
juga koq tumben pulang sore? Bareng sama anak kelas tiga... “ Akhirnya! Bisa juga
kembali normal, aku kira bakalan pingsan di tempat. Bener – bener deh nih anak
satu bisa banget ngerjainnya.
“ Iya, tadi
abis main di klub band bareng temen - temen, nyoba gitar baru, tapi gara – gara
kelamaan main, disuruh bantuin beresin, tapi ujung - ujungnya malah ditinggal, “ jelasnya. Sambil
mendengar penjelasannya, aku langsung ngebayangin gimana dia main gitar. *nose bleed♥*
“ Kog, Cherry
bengong? “
Nggak tahu
kenapa, kayaknya sore ini, Matahari lagi bersih koneksinya, langsung cepet
tanggep. Heran. “ Matahari jadi beda ya? Apa pengaruh penampilan, ya? “ Nggak sadar, aku menatap mukanya. Dan inilah
hasilnya. Heart attack ver.II gara –
gara kekuatan senyuman 1 juta volt.
“ Hmm? Masa
sih? *senyum 1juta volt!* Kayaknya
Matahari biasa deh! Cherry tuh yang jadi beda! “ katanya sambil nunjuk ke
mukaku. Langkah kami berhenti. (Maksudnya?)
“ Maksud
Matahari? Koq jadi Cherry yang beda?? “ Jantungku mulai berdetak cepat.
“ Iya, jadi
beda! Biasanya juga sering telpon. Sekarang nggak. Jarang banget nelponnya.
Trus apaan tuh mukanya merah? Biasanya juga nggak. Cherry aneh! “ Selesai.
Hening. Yang bisa kucerna adalah, “Matahari kangen ya jarang di telponin?“
tanyaku singkat sambil tersenyum di tahan. Wah, wah..♥
“ Nggak.
Bukan kangen! Jadi berasa aneh aja Cherry jadi jarang telpon, biasanya nggak
pernah absen ngubungin Matahari, “ jawabnya sambil melanjutkan langkah. Hampir
sampai di tempat fotokopi langganan. Aku diam nggak jawab. Shock karena senang.
(Yang aneh memang Matahari, mana pernah
dia peduli kayak gituan. Di telpon ayo, nggak di telpon juga peduli amat.
Kenapa sekarang jadi protes? Harapan bukan ya?)
“ Cherry
dah punya cowok ya? “
Haruskah aku
senang? Apa ini tandanya kalau Matahari―
“ Matahari dukung
koq kalau Cherry punya cowok. “ *DEG* lemes
deh, padahal tadi udah seneng kirain Matahari ada rasa, taunya emang beneran
nggak mikirin… Hiks! Pengen nangis jadinya.
“ Nggak punya
cowok koq. Cherry lagi sibuk sama ujian sekolah, ditambah kerjaan sekarang
hiasin kelas, jadi agak susah nelpon Matahari, takut jadi ganggu, “ jelasku
pelan, hilang semangat.
“ Justru― “
“ Loh, Cherry
baru pulang?
Tumben bareng! “ Sapaan Ibu fotokopi menahan omongan Matahari yang langsung
diam. “ Iya, tadi ada tugas sekolah. Ayo, Bu, pulang dulu! “ Jawabku sopan.
Nggak sabar pengen dengar lanjutan dari kata – kata Matahari tadi, aku langsung
kembali melanjutkan jalan barengnya.
“ Matahari
tadi mau ngomong apa? “ Tapi Matahari nggak jawab. Dia tetap diam sampai di
tempat tunggu angkot. Penasaran, aku jadi menemaninya nunggu angkot datang. 5
menit dalam keheningan (Geez, kemana
perginya suasana tadi yang seru? Pemakaman kalah nih!) Nggak lama angkot yang ditunggu
datang. “ Ah, Matahari. Angkot tuh! “ kataku spontan. Matahari diam. Angkot
berenti tepat di depannya.
“ Hei, ganteng! Mau naik nggak? “
Supir juga kena feromon Matahari ya sampe mabok gitu??
“ Justru yang
biasanya sering mengganggu
kalau hilang langsung terasa sepinya, bye-bye, “ Matahari naik ke angkot dan
duduk membelakangiku. “ Neng mau naik juga? “ tawar supir angkot, aku
menggeleng.
“ Da’dah,
Matahari… “
kataku akhirnya dan angkot pun mulai bergerak pelan.
“ Nanti
Cherry hubungin, “ lanjutku lagi yang hanya di jawab dengan anggukan kepala
Matahari. Aku tetap berdiri di tempat sampai angkot yang membawa Matahari nggak
keliatan. “ Emang dasar anak kecil~~~~♥! “
Pikiranku
jadi kacau. Kalau sikapnya Matahari kayak gini malah kesannya kasih harapan,
tapi kalau terlalu berharap juga takut salah ngartiinnya. Apa masih bertepuk
sebelah tangan apa udah nggak? Kan jadi kepikiran…
Matahari udah
siap di ganggu sama Cherry? He3 Cherry selalu ada waktu koq buat Matahari, tapi
kalau Cherry nggak ngubungin Matahari berarti Cherry lagi sibuk sama tugas
sekolah ya. Yaud, jangan lupa mkn ya. ^^ -send-
Fuh,
emang dasar. Ada – ada aja Matahari, toh dia sendiri juga belum tentu nanggepin
kalau di hubungin. Yaudalah, ambil aja positipnya kalau dia udah biasa sama
kehadiranku. Tinggal 1 masalah yang belum selesai, blackforestnya gimana????
“Kaa_chan~~~ “ Aku selojor lemas di mejanya
Ika yang lagi nyalin tugas di waktu istirahat pagi menjelang siang hari ini.
Tanpa menghentikan tangannya yang bergerak,
dia cuma menjawab singkat, “ Kenapa? “ Kulihat tulisannya jadi nggak bisa
kebaca untuk memburu waktu.
“ Nyalinnya
berantakan banget, Ka… nggak ketauan tuh? “
Tangannya cepat langsung pindah posisi ke pipiku, “ Nih anak
satu.,! Kirain mau ngomong apa, taunya cuma komentar aja… “
“ Sakit~… abisnya kalau dibantuin malah lebih mencurigakan
tulisannya beda..“ elakku sambil mengusap pipiku, “ Ka~ bantuin bikin kue.. “
kataku akhirnya.
“ Cherry
ini,.. emangnya nggak apa kalau ada campur tangan dari gue di kue lo itu? Buat
Matahari seorang kan? “ tanyanya sambil melanjutkan tangannya tetap bergerak di
atas buku.
“ ….. gue
udah dapet resepnya, tapi sama sekali nggak ngerti… “ gue menenggelamkan
kepalaku di atas meja. Tiba – tiba kepalaku dipukul lagi. Baru mau protes ke Ika,
tapi ternyata bukan Ika pelakunya.
“ Adit!
Ngapain lu pukul kepala gue? Sakit tau mantul ke meja! “
“ Lu ini kan
yang sakit.. “ (What?! Apa coba
maksudnya?!!)
“ Lagi nyari
masalah ya?! “ jiwa
premanku pun kumat. Apalagi dipancing buat masalah yang nggak penting kayak
gini. “ Ngapain coba lu mukul gue? Perasaan dari tadi gue nggak gangguin lu
deh! “
“ Nggak tau,
kayaknya kepengen mukul kepala lu aja yang dari tadi gue peratiin ngeledek gue
terus.. “ jawabnya akhirnya. Bengong sebentar beberapa detik. “ Lu dah gila ya,
Dit? Perasaan kepala gue dari tadi diem aja… “ jawaban bodoh pun meluncur
keluar. Ika lagi nggak ikut campur kayak biasanya kalau 2 orang gila dah kumat,
soalnya lagi sibuk menambah kecepatan menulis yang kulihat tulisannya makin
nggak kebaca, nyaris kayak cuma garis – garis keriting di kertas.
“ Lo ini kan
nggak kayak kebanyakan cewek yang feminim, jadi nggak mungkin bisa bikin kue.
Kasian Matahari, hidupnya cuma sampai valentine aja.. “ katanya lagi sambil
bernada memelas kasian. Bikin kesel!
“ Wah,
beneran nyari masalah lu ya? Liat aja nanti! Lu yang pertama kali gue sumpel mulut lo pake kue bikinan gue! Biar lo
rasain gimana rasanya… ! Dasar bikin emosi aja! “ Aku langsung buang muka tanpa
beranjak pergi dari tempatku duduk. Adit juga kembali ke tempat duduk begitu
aku cuekin. Kudengar akhirnya Ika buka suara meski pelan, “ Dasar Adit.. Sukses
juga usahanya, “ lalu diam. Aku penasaran pengen tanya maksudnya apa tapi nggak
jadi berhubung wajah Ika udah kayak orang yang mencoba melawan waktu yang
berjalan terus. Ngeri.
Pulang
sekolah aku sengaja ikut Ika pulang. Rencana ‘menghancurkan’ dapur Ika pun
mulai berjalan setelah belanja seluruh bahan dan alat. 5 menit kami berdua
menatap resep yang telah kuprint waktu itu di dapur Ika yang udah kayak di
acara memasak, banyak mangkok – mangkok yang berisi segala macem bahan yang
udah di ukur.
“ Cher, gue
bingung. “ Kalimat yang singkat, jelas, padat berhasil membuatku serangan jantung mendadak. “ koq, bingung, Ka?
Mananya yang bikin bingung? Susah ya? Nggak jadi dong? “ tanyaku mulai panik.
“ Ah, nggak.
Bukan itu,. “ Aku bernapas lega, “ Terus? Kenapa? “
“ Modelnya
nggak terlalu cantik buat Matahari?? Dia kan cowok dingin… “ Aku bengong. Aku
memilihnya memang menurut seleraku, bukan menurut selera cowok. Soalnya kan
cowok nggak tau yang kayak beginian. (Matahari,
ya? Kira – kira dia suka yang kayak gimana ya?)
“ Dit, ke
rumah gue sekarang ya, gue tunggu. “ Telpon ditutup. Bengong lagi. Ngapain
manggil Adit?
“ Ngapain
manggil Adit, Ka? Nanti yang ada gue perang lagi sama dia… “
“ Udah tenang
aja. Dia nggak bakalan nyari ribut koq. Dia kan cowok, pendapat dia bisa
dijadikin acuan selera cowok tuh kayak gimana, ya kan? “
“ Tapi kan,
dia beda jenis. Cowok kayak Adit sama cowok perfect
kayak Matahari.. “ Lagi – lagi kepalaku diserang mendadak dari belakang, “
Nggak ada yang perfect, tau! “ suara itu udah pasti Adit. Ugh, sebel kena serang terus.
“ Huh! Emang
nggak ada yang perfect, tapi yang pasti lu jauh dari Matahari, “ (Ups! Aturan dasar dalam pertemanan, nggak
boleh membandingkan!!) “ Sorry, Dit. Nggak sengaja, “ kataku nyesel.
“ Udah ah!
Kalau ngomong terus, kapan mulainya? Kalau kelamaan di dapur, ntar si mbok
ngambek wilayahnya diambil alih kita. Oke? “ Ika langsung ambil tindakan begitu
Adit mau membuka mulutnya, “ Adit! Sini lo! “ perintah Ika cepat. Adit menurut
lalu diam di samping Ika. Aku menatap mereka dari belakang (Kalau mereka jadi pasangan pasti seru. Tapi nggak mungkin, mereka kan
sahabat.)
“ Woy, yang
punya acara malah diem aja, sini donk! “ Ika langsung membuyarkan pikiranku,
dan mulai menyuruhku latihan.
Hari pertama
latihan, result: GAGAL. Adit langsung
ngibrit ke kamar mandi begitu makan sesuap kue buatanku. Nggak enak. Pahit.
Bantet. Keras. Nggak lama Adit keluar dari kamar mandi, aku langsung tertawa
sepuasnya, “ Rasain lu Dit. Makan tuh kue, hahahaa.. “ Adit cuma mesem sambil
ngambil air minum. “ Bahaya banget sih kue buatan lo, Cher? Makanan yang tadi
gue makan kan jadi ikut keluar semua,. “ katanya sambil ngelus – ngelus
perutnya.
“ Jorok lo,
Dit! Mbok, ambillin minyak angin buat Adit. Abis muntah tuh! “ Ika langsung
manggil mboknya yang nggak tahu lagi ngapain di luar dari tadi. Mendengar
majikannya manggil dengan cepat dia masuk ke rumah dan langsung mengambil
minyak angin buat Adit yang masih meringgis melihatku terus ketawa. “ Puas amat
lo, Cher, ketawanya, tanggung jawab lo. Gila,. Jangan – jangan kayak yang gue
bilang tadi, Matahari hidupnya cuma sampe valentine… “
“ Wah, nggak
mungkin! Soalnya pas valentine, kue yang gue bikin pasti sempurna. Hahahaha… “
jawabku nggak mau kalah. Ika cuma geleng – geleng liat dapurnya berantakan, dan
bau coklat nggak jelas memenuhi rumahnya. Akhirnya, “ Dit! latihan berikutnya
di rumah lo ya! “ Tau nggak bakalan
menang, Adit cuma mengangguk pelan. Hari pertama latihan pun selesai.
Day 2; Rumah Adit.
“ Cher!
Tepung kebanyakan! “
“ Hah! “ Gara
– gara ngelamunin Matahari, itungan tepung yang mau dipakai kelebihan. Untung
belum kecampur sama telornya, jadi masih bisa diperbaikin. Ini gara – gara
Adit. *menyalahkan* Habisnya kenapa
nggak bilang kalau rumah Matahari deket sama dia? Yang aku tahu kan cuma
arahnya sama. Ukh! Ngeselin. Apalagi tadi pas pulang sekolah. Kebetulan keluar
bareng sama Matahari gara – gara hari ini nggak ada acara menghias kelas
bersama. Karena aku tahu arahnya sama, aku berniat naik angkot bareng Matahari.
Udah ngendap – ngendap di belakangnya Matahari sampai ke tempat nunggu angkot,
tau – tau Adit datang jemput. Ukh! Bisa – bisa Matahari salah paham kan?
Matanya itu loh! Takut.. bikin diri ngerasa sudah melakukan kesalahan besar. Waktu
aku tolak, Aditnya malah ngomong yang bikin kesalahpahaman makin besar, “ Kalau
mau ke rumah, mendingan naik motor, kalau naik angkot, cape jalannya. Ayo,
cepet naik. Dah ditunggu di rumah tuh! (sama Ika) “ gitu! Hiks! Matahari, maafkan lah fansmu ini. Nanti bisa
dijelasin koq.. hiks, hiks! Di jalan adit malah cerita kalau Matahari rumahnya
satu komplek sama dia. Ugh! Tambah kesel.
Dan disinilah
aku. Adit bagai sang raja di rumahnya nggak mau bantu sama sekali. Ika juga
makin bawel, dari tadi aku salah terus. Yah, pokoknya berjuang aja deh sampai
bisa bikin kue buat Matahari.
“ Selesai! “
“ Adit! Sini
lo! “ Jiwa nyonya besarnya Ika kambuh, nggak peduli lagi dimana.
“ Iya, iya..
“ Adit pasrah. Ditatapnya kue coklat di depannya. Menurutku sih lumayan dari
yang kemaren, tapi nggak tau kalau soal rasanya. Satu suapan menuju ke mulutnya
tapi berhenti begitu terdengar pintu pagar ada yang buka.
“ Wah, wah..
lagi pada ngapain? “ Sang nyonya tuan rumah sudah pulang, Ibunya Adit. “ Ya,
ampun, lagi bikin kue? Trus yang imut itu siapa? “ tanyanya lagi. Aku merona.
“ Imut? Amit
kali, bu? “ celetuk Adit. Dipastikan besok pasti nyawanya melayang di
sekolah. “ Jangan – jangan pacarmu, ya Dit? “ Sepersekian detik dengan
kecepatan cahaya, “ BUKAN!! “Aku
menjawab dengan setegas dan seyakin mungkin. Ika kaget.
“ Bukan, bu.
Dia lagi ngincer si Matahari, “ jelas Adit lagi. (Loh?)
“ Wah, wah..
Matahari lagi ya? Berjuang ya! “ Si Ibu pun pergi meninggalkan kami dan masuk
ke kamar.
“ Dit, Ibu lo
kenal si Matahari? “ Ika yang tanya duluan. “ Nggak kenal deket. Cuma sekedar
tahu aja kayaknya, “ jawab Adit sambil menggambil air minum buat persiapan
makan kue.
“ Koq bisa? “
“ Matahari
kan…. “ Adit diam, lalu menatapku. Satu suapan kue masuk ke mulut Adit. Aku dan
Ika bengong. Koq enteng banget makannya..?
“ …. …. …. “
Adit diam. Semua diam nunggu reaksi. “ Pahit…!“
Gagal! Kue kedua juga gagal. “ Yah, tapi masih lebih
baik daripada yang kemaren, “ lanjutnya.
“ Huh! Emang
sengaja dibikin pahit, “ Ika tiba – tiba ngomong sambil bertolak pinggang dan
membusungkan dadanya, “ Cowok ‘kan jarang suka yang manis, jadi sengaja gue
masukin coklatnya banyakan. Yah, tapi sukses tuh, Cher.. “ Ika tersenyum.
“ eh? Hore? “
Aku masih nggak percaya secepat ini berhasil. “ Yap! Hore! “ tegas Ika. Aku tersenyum senang, “ Yattaa! Banzaii!! “ Seneng banget akhirnya sukses juga bikin kuenya. Dan
setelah beres – beres, aku bersiap untuk pulang. Di dapur masih ada Ika dan
Adit. “ Kenapa lo nggak lanjutin omongan lo tadi, Dit? “ Kedengaran suaranya
Ika lagi ngomong.
“ Nggak enak
sama Cherry. “ (Aku? Kenapa?)
“ Ngomong
aja. Cherry bukan anak yang kayak gitu koq.. “ (Ika…?)
“ Maksudnya,
gue nggak mau ngerusak kesenangan Cherry sekarang, kalau seandainya gue ngomong
kalau Matahari itu sering digosipin ibu – ibu komplek, Cherry pasti― “
“ Dia nggak
yang kayak lo kira. Pikiran Cherry nggak pernah negatif, ya mungkin itu
kelemahan dan kelebihan dia. Jadi lo nggak usah mikir yang susah – susah
tentang Cherry. “ Aku diam. Nggak ngerti yang dibilang mereka semua.
“ Yang
diomongin baik apa buruk? “ Aku nggak tahan kalau cuma dengar. Aku mau tanya
langsung.
“ Cherry… “
Adit keliatan jadi ngerasa nggak enak.
“ Denger ya
yang tadi? “ Ika salah tingkah. Aku jadi ikutan nggak enak sendiri. Suasana
seperti ini harus segera hilang. “ Bagus kan? Matahari emang keren! Wajar kalau
banyak yang ngomongin. Kita juga sering ngomongin dia kan? Yang jelek keq yang
bagus keq.. nggak ngaruh sama gue koq. Hehehe.. Matahari still number one! Ayo,
pulang, Ka, dah mulai gelap, “ Aku mencoba menyairkan suasana yang agak
canggung tadi. Nggak tahu berhasil atau nggak, tapi kayaknya lumayan juga.
Setelah pamit sama orang rumah, kami berdua
mulai meninggalkan komplek.
“ Cherry? Daijobu? ” Kayaknya Ika masih kepikiran
sama yang tadi.
“ Hm.. Daijobu desu. Gue nggak apa – apa koq.
Rada penasaran juga sih, tapi nggak apa – apa, “ jawabku (Bohong! Penasaran banget sama yang tadi, Matahari digosipin
apa? Koq reaksi Ibunya Adit gitu denger nama Matahari? Ada apaan??? Penasaran!)
Selama di jalan, kami hanya diam, sampai akhirnya sampai di rumahku, “
Makasih ya, Ka, dah nganter. Mau mampir dulu? “ tawarku. Tapi Ika menolak
dengan alasan takut kemaleman. Yah, aku juga nggak bisa maksa. Nggak lama Ika
pun pulang. Abis mandi dan makan malam, aku langsung ke kamar dan menghubungi
Matahari. Nggak ada jawaban, terpaksa aku pakai SMS. Matahari lagi apa? Tadi Cherry pergi ke komplek rumah Matahari loh, siapa
tau ketemu Matahari, Hehehehe. Matahari, maaf ya kalau seandainya Cherry bikin
Matahari marah. Yaud, met malem Matahari.
Masih
penasaran soal tadi. Apa Adit tahu sesuatu ya? Besok coba tanya ah!
8 hari menuju
V-day…
Gak bisa
ngomong sama Adit! Sibuk banget! Adit juga sering ilang nggak tahu kemana waktu
istirahat, abis itu tau – tau nongol aja di tengah pelajaran. Abis dari mana
tuh anak? Matahari malah sering banget keliatan berkeliaran di koridor kelas 3.
Uh, makin lama makin keren aja tuh anak.♥♥
“ Cher, ada
yang nyari tuh di pintu, “ Alin tiba – tiba manggil. (Ika ke mana ya? Tumben nggak keliatan waktu istirahat) “ Siapa,
Lin? “ tanyaku menghampiri. Tiba – tiba Alin mencengkram lenganku, “ Aduh! Napa
sih? “ protesku. Lumayan sakit juga.
“ Koq, bisa?
“
“Apanya? “
Aku tambah nggak ngerti, “ Nanti aja ah, “ Aku keluar kelas melihat siapa yang
datang. (Wuah, pantes aja Alin tanya,
kalau dia yang datang sih kayaknya bukan cuma Alin aja yang bakalan
nanya-nanya)
“ Jadi ini
yang Cherry kerjain tiap pulang sekolah? Koq, malah nggak keliatan temanya ya?
‘Kelas cantik’ kan? “ katanya sambil tersenyum ngejek khas miliknya.
“ Hu, iya
deh. Maaf berantakan. Tapi kan bukan Matahari yang nilai… “ gerutuku.
“ Hei,
penilaian orang kan bernilai, “
“ Iya, iya.
Tapi masa’ Matahari ke sini cuma buat komentar kelas Cherry? Ada apa? “
“ Cherry
nggak ke kantin? “
“ … Kenapa? “
wajahku mulai merah. Deg – deg-an.
“ Duit
Matahari kurang. Mau beli soto.. “ terangnya polos. (Matahari ke sini cuma mau pinjam duit? Wah, sejak kapan jadi berani
gini?) Kayaknya makin lama jadi makin nggak ada batasan sama kakak kelas.
“ Woy,
ngapaian berdiri di pintu? Ngalangin orang jalan tau! “ Dan makin lama Adit
juga makin aneh. Jutek gitu. (Pada kenapa
sih?)
“ Cherry
nggak bisa bantu ya? “ Matahari tanya lagi.
“ Eh? “ Bukannya
nggak mau ngasih juga, tapi kalau dilihat dari sudut mana juga, cewek yang
ngasih duit ke cowok ‘kan aneh. Malahan bisa – bisa ada cerita yang nggak enak
nantinya. Mau ngasih diam- diam juga nggak bisa, koridor penuh sama penghuni
kelas 3, udah gitu pada merhattin pula.
“ Maaf
Matahari… Cherry lagi nggak megang duit lebih sekarang, “ jawabku bohong. Wajah
kecewa Matahari langsung terlihat. (Nyesel
banget ngomong gitu, tapi wajah kayak gitu jarang banget keliatan.. Ah, tambah
imut!♥) “ Woy, Matahari! Ayo, turun, gue traktir!
“ tiba – tiba Choco datang menjemput. Mendengar itu, Matahari pun menurut. (Duh, mesra banget, pake rangkul pundak
segala di sepanjang koridor.)
Begitu aku kembali ke tempat duduk, Adit
menghampiriku.
“ Kenapa lo
nggak ngasih? Nggak mungkin lo beneran nggak bawa duit kan? “ tanyanya. Adit
emang tahu kebiasaanku yang suka membawa duit lebih karena takut ada apa – apa.
Yah, termasuk kayak tadi.
“ Nggak bisa,
Dit. Kalau gue kasih duit ke Matahari di depan umum, bisa – bisa ada yang
ngomong nggak bener kan? “ kataku. Lagi – lagi jawaban Adit bikin aku
penasaran, “ Nggak akan ada yang ngomong aneh – aneh kalau tahu Matahari kayak
gimana,. “
“ Maksudnya?
Dit, kayaknya ada yang lo sembunyiin dari gue ya? “ tanyaku akhirnya
memastikan, “ Apaan? Jujur! “
paksaku nggak sabar. Adit menggeleng.
“ Adit cuma
khawatir aja koq sama Cherry. Nggak lebih. “ Tiba – tiba ada suara dari
belakangku. Uerul, makhluk yang terlupakan. Karena nggak kuperhatikan, aku jadi
nggak sadar ada yang berubah dari dia. Jilbab putih yang selalu dipakainya kini
tak ada di kepalanya. Rambutnya pun dipotong pendek. Perubahan yang drastis.
Tapi bukan urusanku juga dia mau seperti apa, yang penting dia enjoy dengan itu
dan nggak merepotkan orang lain.
“ Maksud lo
apa, Rul? “ tanyaku nggak menghiraukan penampilannya itu.
“ Soalnya ada
berita nggak enak tentang Matahari,“ jawabnya enteng. Gosipkah?
“ Apa? “
tanyaku lagi. “ Cher― “ Adit mencoba menahanku.
“ Matahari
dibilang suka melorotin duit cewek yang deket sama dia. Suka manfaatin perasaan
cewek yang suka sama dia buat hal – hal yang dia suka. Nggak peduli siapa
orangnya juga. Suka bawa cewek yang beda – beda ke rumahnya. Matahari cowok
mura― “
“ Stop. “
Adit tiba – tiba menutup mulut Uerul, “Udah puas ngomongnya? Atau masih mau
dilanjutin?“ tanya Adit sambil menurunkan tangannya, membebaskan mulut Uerul
untuk bernapas, “ Kalau masih mau dilanjutin, berarti lo udah siap sama
resikonya, “ ancam Adit. Aku bengong. (Adit serem kalau marah! Dulu nggak pernah
liat Adit sampai marah digimanain juga..) Uerul langsung kembali ke tempat
duduknya. Tiba – tiba terdengar suara tepuk tangan.
“ Hebat juga.
Jadi kagum, “ Rupanya Ika sudah kembali dari perantauan entah di mana. “ Sikap
lo udah kayak cowok jagoan aja, Dit. Beda ya kalau menyangkut― “
“ Hei… “ Adit
memotong perkataan Ika dengan muka agak merah. (merah??)
“ Menyangkut
apa, ka? “ tanyaku
“ Menyangkut
jemuran orang supaya nggak digangguin orang iseng, “ jawab Ika yang kayaknya asal. Aku jadi makin
bingung. Kayaknya emang ada yang lagi di sembunyiin. Ika juga.
“ Cher,
omongannya si Uerul nggak usah dipikirin ya,. “ kata Ika mengelus kepalaku.
“Hem~… “ Aku mengangguk. (Tetep aja dipikirin. Berarti nggak salah kalau selama ini dia deketin
cewek yang tajir, kecuali aku.. Wah, minus nih.. )
Nggak tau
kabar itu bener apa cuma ada yang sirik sama Matahari, trus ngarang –ngarang
cerita yang kebetulan hampir sama kayak kenyataannya kalo dia deket sama cewek
tajir. Nggak mungkin juga kalau aku tanya sama Mataharinya langsung. Aje gile..
bisa dicap jelek nanti. (Nggak tahu ah!
Pusing mikirnya..) *nggak mau susah*
D-Day is coming closer.. Tinggal 3 hari lagi nggak terasa.
Kelas makin berantakan hasil dari tumpuk-tumpukan ide beberapa orang. Hasilnya:
setiap meja beneran ditaplak-in, dinding beneran dikasih wallpaper pink (yang
cowok pasti geli masuk kelas), jendela di kasih gorden plus nggak ketinggalan
hiasan origami punyaku, meja guru paling istimewa dikasih vas bunga dan
bangkunya dikasih bantal untuk sandaran, langit – langit juga dikasih hiasan gantung
di setiap sudut, papan tulis ditempelin pita pink, terakhir dikasih keset di
depan pintu kelas yang udah dikasih tirai selamat datang. Foila! Inilah hasil karya cewek – cewek kelas 3IPA2 yang masing -
masing nggak mau kalah. (Hahaha..) setiap orang lewat pasti ada aja
ekspresi yang terihat di mukanya. Ada yang kaget, ada yang heran. Berlebihan memang,
tapi inilah yang nantinya akan diikutsertakan lomba. Anak – anak juga bersikap
pasrah-yang-penting-seneng. Guru – guru juga hanya geleng – geleng kepala waktu
ngajar, sebagian juga ada yang nyaris tertidur gara - gara bantal empuk di
kursi. Yang penting kan semangatnya!
“ Cher, mau
pesen apa? “ tanya Ika di antara lautan manusia di kantin.
“ Hm.. Apa ya yang enak?? “
“ Ketoprak
aja ya? Biar nggak ribet.. “ Ika cepat mengusulkan lalu langsung hilang di
antara manusia kelaparan. Aku bengong. Nggak lama nunggu di meja, Ika datang
bersama orang tak dikenal yang bawa 2 porsi ketoprak. “ Susah bawanya. Sekalian
aja gue bawa abangnya. “ jawab Ika sebelum kutanya. (Oh.. kirain ‘pembantu’ baru..) “ Makasih, bang..! “ lanjutnya
sambil kasih duit.
“ Gimana coklatnya?
“ Ika membuka pembicaraan dengan mulut penuh tanpa melihatku.
“ Ng.. gugup!
Nervous abis kalo mikirin mau ngasih dia.. “ jawabku juga tanpa melihatnya. (read: fokus ke makanan) Hening. Masing –
masing sibuk sama yang ada di depannya.
“Matahari tuh!
“ Ucapan Ika langsung membuyarkan suasana hening, “ Mana?! “ Refleks aku
langsung mencarinya di lautan manusia. Ternyata benar ada. Matahari lagi susah
payah keluar dari lautan manusia yang menghempitnya dari segala sisi. Kasian..
“ Tuh cewek – cewek udah pada gila kali ya? Udah tau nggak bisa jalan tetep
saja deket – deket… “ Ternyata ada Choco juga di belakangnya lagi ngedumel
sambil merapikan seragamnya yang berantakan. “Makanan gue selamet nggak tuh? “
Matahari langsung memeriksa kantong kresek yang dipegang Choco, dan kejadian
selanjutnya membuatku yang merhatiin mereka langsung nyengir kayak kuda. “
Dasar.. bukannya khawatirin gue, malah makanan yang lo tanyain.. “ Choco
memukul bahu Matahari pelan. Mendapati makanan mereka aman, Matahari langsung
senyum, “ Duh, gitu saja ngambek..! Sini dibantuin rapiin seragamnya.. “
katanya sambil mengancingkan seragam Choco dan sedikit merapikannya. Tontonan hot di siang hari live di kantin K.U! Kayaknya pasangan itu nggak sadar kalau di
antara keramaian makhluk kelaparan ada sebagian yang memperhatikan mereka
dengan mulut ternganga dan muka merah, termasuk aku. “ Ka! Live tuh! Pasangan hot
abad ini lagi mempertontonkan bagaimana sebenarnya hubungan mereka! Ka! Liat
tuh! “ Aku langsung heboh di tempat duduk layaknya reporter berita gossip yang
dapet berita dadakan asli dengan mata kepala sendiri, “ Ka! Jangan makan
terus,. Nggak mau liat pasangan hot
lagi bermesraan di depan publik? “ Ika hanya menghadapi kehebohanku dengan
gerakan tangan santai, “ Gue masih normal koq… Nggak tertarik sama tontonan
homoseksual kayak gitu.. “ jawabnya tenang nggak peduli. Aku masih heboh, “
Buat penyegaran tau! Penyegaran..! “ kataku sambil menepuk bahunya. Ika cuma
geleng – geleng kepala melihatku histeris.
“ Dapet undian ya? “ *DEG!!*
“ Heboh banget suaranya sampai kedengeran dari jauh, “
“ …. Hai.. Yah, penyebabnya itu~” Perkataan Ika berhasil kuhentikan. Bahaya
kalau sampai ketahuan. Malu!
“ Eh? Hehehehe… Masa’ sih sampai kedengeran dari jauh? Bisa saja
Matahari.. “ (Bisa kena serangan jantung akut nih lama – lama..)
“ Hm? Matahari aja nih yang disapa? “ Choco tersenyum menggoda di belakang
Matahari.
“ Hai, Choco.. “ sapa kami kompak layaknya para Angels disapa oleh Charlie
dengan tersenyum. Choco memukul tangan Matahari pelan, “ Koq jadi ikut – ikutan
nyapa? Iseng amat.. “ Senyum khas Matahari langsung mengembang di wajahnya. (Wah, wah..♥♥)
“ Lagi pada mau makan ya? Mau ikut gabung? “ Ika tiba – tiba menawarkan hal
yang tak terpikirkan olehku. Kayaknya beneran bisa kena serangan jantung nih!
“ Gimana, Matahari? “ Choco balik tanya.
“ Nggak deh. Makasih tawarannya, tapi mendingan makan di kelas. Di sini
panas, belum lagi banyak cewek yang ribut teriak – teriak. Jadi sorry ya? Lain
kali aja.. “ Matahari menepuk kepalaku pelan.
“ Oke, cabut duluan ya semua.. bye!
“ Choco pamit lalu menyusul Matahari yang jalan di depannya.
“ ….. Cher?... …. …??.. Udah mati ya? “
“ Tell me, what just happened? Am I
in heaven? Did Matahari was… “
“ Yes, he DID… “ Ika
menjawab singkat dan penuh penekanan. *nose
bleed* “ Fuh, ternyata bisa juga si cowok
dingin itu.. Kalau sikap dia kayak gitu, berarti mesti lebih banyak perjuangan
donk…. “ Ika ber-monodialog tanpa memperdulikan aku yang diam tertunduk di atas
meja.
D-DAY!!! Valentine’s day is coming
now! Prepare to the Chocolate!
Tanggal 14
Februari adalah tanggal yang spesial untuk para gadis tiap tahun, tapi untuk
kali ini tanggal 14 februari juga hari yang berarti di SMU K.U, yaitu hari jadinya sekolah ini
dibuat. Moment inilah yang ditunggu – tunggu oleh para murid karena beberapa
keuntungan. Yang pertama; setiap pelajaran ditiadakan khusus di tanggal 14
februari, kedua; diadakan festival musik untuk klub band (tahun lalu Matahari
ikut main), ketiga; sekolah bebas, mau masuk atau nggak terserah, ke empat;
bagi – bagi bunga mawar di jalan; ke lima; moment valentine alias siap – siap
jadian dadakan, dan pemberian coklat. Kelihatannya tahun ini lebih ramai karena
banyak ada adik kelas baru yang siap diincer para serigala kelas 3, nggak cewek
nggak cowok.
Aku? Jangan
ditanya, karena saat ini aku lagi mati – matian melangkahkan kaki di depan
kelas 2IPS4, sambil bawa bingkisan coklat ‘maut’.
“ Ka… takut
nih.. deg – degan.. “ Aku genggam kantong bingkisan nyaris sambil gemetar.
“ ‘Kan Cherry yang niat mau kasih.. masa gini
aja nggak jadi? “ Ika memperlambat langkahnya karena kemeja seragamnya aku tarik.
“ Ka, bentar
dulu.. How do I look now? Messed up? “
“ Yes. “ Singkat dan menohok pasti. “Ahh~~ Masa ketemu Matahari
berantakan sih? Gimana nih, Ka? “ Aku mulai menyisir rambut hitam kecoklatanku
yang sudah mulai memanjang dengan jari dan menepuk seragamku untuk
memastikannya tidak kotor. Sibuk. Tiba – tiba Ika menepuk kedua bahuku, “ Cher,
listen to me. You already good and cute
enough to meet him, and stop touching your hair with your hand, that’s not cute
at all..! “ Aku mengangguk pelan, dan bersamaan dengan itu mulai bermain
musiklah jantungku karena sosok yang memang aku sediki~t berharap tidak bertemu
hari ini telah keluar dari kelasnya. Dan sekarang sosok itu telah berdiri di
depanku yang tinggal sendirian. Yap, dengan ilmu langkah seribunya Ika telah
angkat kaki dari tempatnya berdiri beberapa detik yang lalu.
“ Suaranya
kedengeran sampai ke dalam loh… “ kalimat pertama keluar dari mulutnya dengan
irama yang kontras dengan jantungku yang semakin tak karuan. Senyum khasnya pun
tak ketinggalan juga dia keluarkan. Meleleh! Bukan coklat yang seharusnya
meleleh di tanganku yang berkeringat tapi diriku. Aku meleleh!! (>///<)
“ …. … … “
“ Cher, koq
diem gitu? “ Tangannya bergerak ke kepalaku. Kupikir akan di tepuk lagi,
makanya aku agak menuduk dan tahan napas. Tapi ternyata tidak, dia malah
bermain dengan rambutku! (GYAA!! (>////<))
“ Hahahaha,
rambutnya Cherry berantakan.. “
Yap! I’m totally melting now. “ Cher? Mukanya merah
banget… “
“
Ma-Matahari..! I-Ini! Buat Matahari! “ Dengan cepat aku langsung menyodorkan
bungusan ke arah Matahari sambil menunduk. “ Hmm~, dari wanginya sih pasti coklat ya?
Nggak mau, ah! “
“ EH? “ Aku
langsung mengangkat wajahku mencoba memastikan apa yang aku dengar barusan. (Ditolak? Koq??) “ Ma-Matahari? “
Perlahan aku menurunkan tanganku, “ Ah..ah.., iya, ya., Matahari udah dapet
banyak coklat ya? Ha..ha..ha.. “ Aku mencoba tertawa, tapi tetap saja aku kecewa.
Menyedihkan. Nggak boleh nangis! “ Y-Ya udah, Cherry bawa lagi coklatnya, “ Aku
langsung membalikkan badanku. Tiba – tiba terdengar tawa Matahari. Penasaran,
aku jadi menoleh kembali ke belakang. Ya, Matahari memang sedang tertawa, tapi
kenapa?
“ Hahahaha….
Cher.. haahaahaa.. Aduuhhh~~ sakit perut… hahahaahaa…!! “ Karena namaku
disebut, aku jadi nggak pergi dari situ. Nggak lama Matahari berhenti tertawa
tapi masih meringgis sakit perut.
“ Matahari
kenapa? Koq tiba – tiba ketawa? “ tanyaku akhirnya merasa dipermainkan.
“ Cherry,
maaf ya? Matahari jadi ngetawain Cherry, soalnya reaksinya pas banget! Cocok!
Hahaha.. Aduh, jadi ketawa lagi.. “
“ Maksudnya?
“ Aku jadi tambah nggak ngerti.
“ Maaf ya
tadi nolak coklatnya.. cuma bercanda koq! “ Matahari menepuk kepalaku pelan, “
Matahari tau koq Cherry bikin sendiri coklat itu, makanya Matahari jadi pengen
tau reaksi Cherry kalau Matahari nolak terima,.. tapi yah, nggak jauh beda sama
Matahari pikir.. hehehee.. “ Matahari langsung tersenyum nakal.
“ Iseng banget
sih? Trus kalau seandainya Cherry beneran pergi nggak ngasih gimana? “
“ Hmm…
kayaknya nggak mungkin deh♥.. “ Lagi – lagi senyum nakal Matahari keluar. (Kelewat narsis! Heran deh aku bisa suka..) “
Jadi, mana coklatnya, Cher? “ pinta Matahari sambil menyodorkan tangannya. (Uuh~~) “ Ini… Maaf ya kalau nggak
enak.. “ Dengan pelan Matahari mengambilnya dari tanganku, dan cepat langsung
berada di dekapannya. “ Nggak apa! Nggak enak pun pasti Matahari abisin koq..!
“ (Uh~ kayak anak kecil! Ngegemesin
banget!♥♥) Nggak bisa di sembunyiin lagi kalau
wajahku sudah merona kayak strawberry yang ada di kue. Dan kayaknya Matahari juga
sadar. “ Cherry lagi mikirin apa? Koq mukanya merah banget? Pengen ya? “ (Tertohok!) Jantungku langsung berdetak
cepat.
” Pengen apa?
“ (Wah? Wah?)
“ Mau minta
kuenya ya? Nggak boleh! Kan cuma buat Matahari… “
“ Nggak koq, kan Cherry emang bikin buat
Matahari… “ (Bukan mau kuenya, tapi
pengen jadi kuenya! Kyaa ♥!)
~~~ MATI…~~~*NOSEBLEED*
“ Matahari, “
tiba – tiba Choco keluar dari kelas.
“ Kenapa? “ senyum
Matahari langsung berubah haluan jadi ke Choco yang berdiri di pintu kelas.
“ Hp-nya
bunyi.. “ Raut wajah Choco yang dingin membuatku kepikiran yang nggak – nggak. (Siapa yang telpon ya?) “ Cher, sorry,
ditinggal ya? Makasih coklatnya, “ Matahari pamit sambil melempar senyum yang
langsung hilang begitu terima telpon yang masih bergetar di tangannya. Choco juga
permisi sambil menganggukan kepalanya lalu menyusul Matahari. (Hm.. siapa ya yang telpon? Apa Choco juga
kenal? Hmm..) Tiba – tiba kepala Ika muncul di belakang tembok beranda
kelas 3, “ Cieeee.. yang lagi kasmaran.. suit, suit..~~ “
“ Huwaa~~
kayak mau mati, Ka_chan.. Deg-deg-an banget!.. ”
“ Congration, my
dear! “ Ika melompat ke arahku, “ Akhirnya berhasil juga Cherry ngasih
coklat sama your prince... “ Ika
mengelus kepalaku. “ Hehehe... tapi ada yang aneh tadi, Ka_chan.. “ aku mulai
memberitahu yang tadi terjadi tentang raut wajah Matahari yang berubah jadi
dingin waktu terima telpon. Jawaban dari Ika malah membuatku kaget, “ Ceweknya
kali yang telpon minta pertanggung jawaban...? “ (Wuagh! Ceroboh banget Matahari sampai ceweknya minta pertanggung
jawaban!) Ekh?! Apa yang aku pikirkan tadi?
Matahari kan bukan cowok yang kayak gitu.
“
Ya kan, Ka_chan? “ Ika langsung bengong begitu kutanya tiba – tiba tanpa sebab.
“ Apanya yang iya’kan??? Lagi mikir yang tadi ya? Heehehehe.. “ Ika mencubit
pipiku bercanda, “ Dasar yang lagi jatuh cinta.. “ Wajahku langsung merona, “
Iya ya.. nggak mungkin kan Matahari kayak gitu.. “ kataku lagi meyakinkan diri. “ Kalau bener
gimana? “
“
EKH?! “
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“
Woy! Matahari, kosong nih! “
2 hari setelah
kehebohan Valentine, hari berjalan seperti biasa. Siang ini, waktu kakiku baru
saja menginjak lobi belakang menuju kantin, langsung disambut oleh teriakan
Choho memanggil si Pangeran Tampan berambut hitam kemerahan. (What?! Hitam kemerahan??! Ganti gaya lagi
nih! Kereeennn ♥♥ !!)
“ Loh? Tadi perasaan liat, sekarang
koq udah nggak ada? “ Tiba – tiba Matahari hilang dari pandanganku. Sambil
melihat sekitar, aku mulai menuju stand makanan, dan mengambil 2 bungkus
sandwich.
“ Bu, aku beli ini.. “
“ Kalau cuma makan roti, nggak bisa
tambah tinggi loh♥, “
!? Sepersekian detik aku menoleh, dan langsung
‘hangus’ disinari cahaya silau. —mati
(selalu saja begini... lama-lama kena stroke deh nih...
nyawanya kurang terus kalau ketemu Matahari.. but
that’s why i like him.. always suprised me.. hehehe)
“ Matahari selalu hilang trus muncul
tiba – tiba ya? Bikin kaget aja.. “ Aku berusaha tenang meskipun jantungku lagi
heboh banget.
“ Hmm,, masa’ sih? Berarti merhatiin
Matahari terus ya♥? “ Silau! Wuah.. bumi tambah silau aja ada dua matahari yang
lagi semangat – semangatnya bersinar terang. Bisa nambah globalwarming nih..! –lebay- xixixixi...
“ Bisa aja nih Matahari.. lagi mau
makan ya? “
(tenang.... tenang.... )
“ Iya, tadinya. Tapi nggak jadi... “
“
Kenapa? “
“
Liat chery beli sandwich, jadi pengen juga.. hehehe... “
“..........”
hening.
“
Koq, diam? ... Cher? Hellooow..?? “
(Celaka! Matahari sempurna! Cocok banget jadi host!♥♥ hahaha!)
“ S-sory Matahari, lagi bengong tadi... ehm! Kalau gitu mau yang punya
Chery? kayaknya ini stok yang terakhir... “ Aku menawarkan roti di tanganku sambil
senyum nggak wajar nahan geli gara – gara pikiran sesaatku tadi.
“ Hm, nggak jadi deh! “ tolaknya
cepat dan langsung berbalik badan, “ Dasar cewek aneh.. “ lanjutnya lagi yang
sempat kudengar. (KOQ??!)
“
Matahari kenapaaa, Ka_chan??!! “ Aku
yang habis lari dari kantin gara – gara shock langsung menjatuhkan diri ke meja
Ika yang lagi asyik baca buku sambil ngemil, reaksinya, “ Wha—What the hell~.? “
“
Maaaf~~... “ (Ka_chan sereeemmmm...!)
Setelah merapikan mejanya yang berantakan dan menjitakku, Ika mulai bicara, “
Memangnya aku tau Matahari kenapa? Yang tadi ketemu sama Matahari Cherry kan?
Bikin kaget aja tiba – tiba masuk kelas tanya Matahari kenapa... “
“
Maaf~, habisnya Matahari bikin aku kaget, tiba –
tiba berubah jadi kasar... Padahal kan aku cuma mau kasih roti yang dia minta
koq malah bilang aku aneh???? Aku salah ya Ka_chan? “
“..... yah.. mungkin.. “
“EEH????? Kenapa? “
“
Sebelum dia marah, ada yang Cherry lakuin nggak sampai dia tega bilang Cherry
aneh? “
“
Nggak ada koq.. Cuma mikir sebentar kalo Matahari cocok banget jadi host♥... “
“.....
..... “ Ika diam menatapku lalu menghela napas, dan mulai bicara, “ Ya iya
lah..! Muka Cherry kan langsung menggambarkan apa yang lagi Cherry pikirin,
nggak heran kalo Matahari juga tau apa yang ada di kepala Cherry... Hhh~~ “ (Eh?? Masa’ sih?) Aku bengong mikir
sebentar. “ Jadi Matahari tau kalau aku ngerasa dia cocok jadi host??! Hwaa~~
gimana donk, Ka_chan? “
“ Like i know.... Makanya Cherry kalau di
depan Matahari jangan mikir yang aneh – aneh, nanti dia kaget... Okay? “
Aku
mengangguk lesu (Tapi koq tumben Matahari
perhatiin mukaku? Kan ngk biasanya sikapnya dia kayak gitu... ) Sambil
menunggu bel istirahat selesai, aku menghabiskan sandwich yang tadi nggak jadi
diminta Matahari sambil melayangkan pandanganku ke lapangan. (Ada Matahari......keren♥..)
Dan
bel pun berbunyi, waktunya untuk melanjutkan kembali tugas seorang murid
seperti yang sudah semestinya. (Hm? Ada
apaan nih di dalam laciku??) Bukan buku yang seharusnya aku ambil tapi
malah amplop yang muncul.
“
Ka_chan, ini apa?? “ Yah, karena Ika
duduk paling dekat denganku, jadi aku berasumsi kalau dia tau sesuatu, tapi
dengan tegas dia menggeleng, dan menyuruhku membukanya nanti karena guru udah
di kelas dan mulai mengajar. Aku menggangguk. Awalnya aku cukup penasaran mau
buka amplop putih itu, tapi seperti biasa kalau guru udah mulai mengeluarkan
buku tugasnya, bakalan repot kalau nggak dengerin pelajaran, bisa - bisa kayak
anak idiot salah masuk kelas alias nggak ngerti apa – apa. Mode belajar switch ON!
One hour later.
Space out.
“
Oi, Cherry?? Lo nggak apa – apa?? “
“
Wuaah!! “ gara
– gara space out, aku nggak nyadar
Adit datang dan tiba – tiba udah di depan mata, “ Aduh, kaget... “
“
Lo ngelamun ya? Udah belom tugasnya? Mau gw kumpulin nih! “ pinta Adit galak.
Aku menggangguk. Dengan cepat Adit mengambil lembar tugasku dan pergi. Aku
memperhatikan tiap gerak Adit, dan berbisik ke Ika, “ Ka_chan, Adit lagi ‘dapet’ ya? Koq lama banget belum berenti
sensitifnya?? “ Setelah menjitakku pelan, Ika cuma mengangkat bahunya tanda
nggak tahu, atau nggak peduli...?
“
Ehh~~ ? Adit kenapa ya? Koq kayaknya jutek sejak... hm.. kapan ya?? “ Belum
sempat aku ingat, tiba – tiba Adit udah balik lagi dari meja guru dan berhenti
tepat di depanku yang lagi bingung, “ Cuma perasaan Cherry aja kali! “ terus
pergi kembali ke tempat duduknya. Sekarang aku jadi tambah bingung, tapi karena
Aditnya sendiri yang bilang begitu, aku nggak mau ambil pusing lagi. (Biarin aja deh.. nanti juga baik lagi)
[1] Hyde_sama: more info
please come to www.Hydeist.com atau www.L’Arc-En-Ciel.com
[2] _sama: Panggilan untuk orang
yang dihormat atau dimuliakan (amat
sangat sopan sekali) -Japan
[3] GACKT_sama: Musisi Jepang
bertalenta super! (www.dearest.co.jp)
[4] Benar – benar bodoh, ya…
(Japan)
[5] _chan: Panggilan akrab
untuk seseorang yang lebih muda (Japan)
[6] Hitori: Sendiri (Japan)
No comments:
Post a Comment