太陽 の 子王さま


  Senin cerah. Setelah mengadakan upacara kemerdekaan RI, seperti biasa SMU Kemenangan Utama mengadakan class meeting dimana semua murid bebas berkreasi sesuai dengan bakat mereka. Tapi yang paling seru tentu saja lomba menghias wajah lawan jenis dengan mata tertutup. Yang dihias adalah para cowok, dan yang mendadani adalah cewek. Entah itu mahir atau baru belajar dandan, pokoknya suasananya sangat meriah. Bahkan mata cowoknya ada ang kecolok mascara, ancur deh. Tapi yang menjadi pusat perhatian saat itu adalah pasangan yang dengan kompaknya telah menyelesaikan tugasnya itu dengan waktu yang cukup cepat. Yap! Dia adalah Matahari dan seorang gadis yang aku nggak tahu namanya, maklumlah murid barunya nggak sedikit. Jadi perlu waktu yang lama untuk tahu semua nama adik kelas. Sayangnya Matahari dan pasangannya hanya mendapat juara kedua, karena kelasku yang mendapat juara 1.
Saat itu, aku nggak begitu memperhatikan Matahari karena kulihat dia biasa saja sama kayak anak-anak yang lain. Biasalah baru lulus SMP. Tapi ketika beberapa hari kemudian, nggak sengaja aku bertemu dengan Matahari lagi gara-gara Ika, teman baikku, lupa dimana dia menitipkan helm motornya, —memang.... dia sedikit pelupa. Matahari ada di ruang guru sama temannya. Mungkin lagi di“ceramahin” guru killer. Nggak tahu kenapa, sekarang dia terlihat begitu keren. Dia memakai jaket sport hitam, dan yang paling mencolok tuh, rambutnya! Rambutnya dispike ke belakang. Mirip banget sama HYDE[1], *liat gambar di samping, bo!* vokalis band L’Arc En Ciel asal Jepang yang sangat keren! (―as HYDE’s lover of course―) Sejak saat itulah, aku terus mencari informasi tentang yang namanya Matahari itu. Melalui temanku yang kupercaya, Anton, aku mendapatkan informasi nomor telponnya.
Hari – hari pun berlalu dengan cepat. Akhirnya tibalah saatnya ujian semester. Ternyata ruang ujianku adalah ruang kelas Matahari. Ini saja sudah membuatku semangat. Tapi, ada yang membuatku penasaran sekaligus tambah semangat. Beberapa hari sebelum ujian, aku membuka emailku. Di bagian horoskop, tertulis kalau pada tanggal 23 maret akan ada kejutan yang akan membuatku senang dan bahagia. Lalu akhirnya, tanggal 23 maret pun tiba, hari ketiga ujian.
Selesai ujian, sambil menunggu Ika yang dapat giliran tugas piket, tanpa sadar aku melihat – lihat kolong meja. Banyak sampah kertas. Tapi, di salah satu meja, ada 1 kertas yang terbengkalai dengan indahnya. Dengan rasa penasaran, aku ambil kertas itu. Tertulis, “NAMA: MATAHARI”. *DEG* jantungku berhenti sesaat. Ternyata punya Matahari. Di kertas itu tertulis sedikit biodata pemuda yang kuanggap dingin. Dengan cepat aku kembali melipatnya dan memasukknnya ke kantong rok seragamku.
Sesampainya di rumah, aku membuka lagi kertas yang aku temuin tanpa sengaja atas petunjuk dari horoskop di internet. Aku baca dengan teliti apa saja yang tertulis di kertas itu. Nama, kelas, ketua RT, nomor rumah, nomor sepatu, hobi, kepribadian, motto, status, zodiac, tinggi, umur....  itu yang kudapat.
Setelah beberapa hari kupikirkan, sudah kuputuskan untuk mengirimi surat dengan menulisnya di kertas ulangan yang kuambil itu melalui temanku lagi, Anton, cowok yang sudah mengenal Matahari sebelum masuk SMU. Surat itu aku tulis atas nama Anemone. Tapi, rencana nggak semulus yang aku kira. Ada hal yang menyakitkan terjadi setelah beberapa hari Matahari diliputi rasa penasaran dengan cewek yang berinisial Anemone itu. (Rencana berhasil...!) Surat pertama nggak bikin dia bereaksi seperti yang aku harapkan. Mungkin karena aku nulisnya pakai bahasa Inggris. Jadinya dia rada-rada bingung apa isinya. Padahal isinya tentang siapa “Anemone” itu. Untung juga sih..... Surat kedua, dia bersikap kejam. Dia ngg­­ak mau baca surat itu, walaupun dia mau terima. Waktu ditanya sama teman aku, Uerul, cewek yang rada jutek and galak, Matahari bilang, “Ngapaian gue baca ini surat. Gue aja kagak tau ceweknya kayak gimana. Klo mau gue baca, datang sendiri donk ke gue!” Begitu kata Uerul waktu dia cerita ke aku.
Nggak kenal kata menyerah, aku tetap kasih dia surat yang ketiga melalui Anton lagi. Kata Anton dia udah nerima suratnya, lalu katanya lagi, ada pesan dari Matahari buat Anemone, kurang lebih beginilah isi pesannya: “Gue mau tau siapa Anemone itu. Suruh dia telpon gue besok. Gw tunggu. Kalo nggak telpon, gue nggak mau lagi nerima surat dari dia.” Jantungku langung berdetak cepat. Kalau aku telpon Matahari, aku mesti ngomong apa?
Keesokan harinya di pinggir tangga rumah, setelah berpikir setengah jam, akhirnya aku putuskan untuk telpon Matahari. Kebetulan hari libur. (Apapun yang akan terjadi, terjadilah...). RRRRRR...... Dering telpon seberang berbunyi. *KLEK!* “ Hallo? ” Orang di seberang menjawabnya. Reflek, aku langsung menekan tombol memutuskan telpon. Jantungku kembali berdetak dengan cepat. Aku menelan ludah untuk menenangkan perasaan. Kutekan lagi nomor telponnya, 0218834xxxx. Beberapa saat kemudian, suara di seberang kembali menggema ditelpon,
“ Halo? ” Dengan suara yang rada gagap ala rapper, aku menjawabnya, “H-halo, s-selamat siang.... b-bisa bicara dengan Matahari? ”
“ Ya, Siapa nih? “
“Ah, Matahari, ya? Ini Anemone yang ngirim surat buat Matahari,  ” kataku cepat tanpa jeda. (fyuh....)
“Anemone???..... Ohya, ada apa nelpon? “ tanyanya dengan suara yang rada nge-bass.
“ Katanya harus nelpon Matahari, lagipula sekalian pengen ngobrol aja…, ” kataku sambil mengumpulkan keberanian.
“ Ok. Ngomong – ngomong lo siapa sih? Koq lo bisa tau gue? Kelas berapa? Ohya, kelas dua..... lo yang mana? ”
“ Oh, penasaran ya? Ng,. inget acara Valentine? Ada cowok yang namanya Andy minta foto Matahari atas nama Ceria? That’s was me. Waktu Matahari nabrak cewek hampir nyaris jatuh trus Matahari marah – marah di depan gerbang sekolah, that victim was me too. Inget? ” tanyaku memastikan, sekaligus mengakhiri penjelasan tentang diriku.
“ Nggak. Sorry. Soalnya gue nggak begitu merhatiin siapa aja yang ada di depan gue. ”
“ ....... (-_-‘) ” Ternyata penampilan luar nggak sama dengan penampilan dalamnya. Tanpa sadar aku menghela napas.
“ Kenapa namanya Anemone? Apa artinya? Koq bisa milih nama itu? “ tanya Matahari tiba – tiba dengan suara yang mungkin terdengar agak penasaran. Kujawab,
“ Anemone, ya? Itu nama sejenis tumbuhan laut, tapi juga berarti nama bunga Jepang yang cuma mekar di musim gugur kalau nggak salah,. “ kataku sambil mencoba mengingat, “ Kenapa...? ”
“ Jelek, ah! Gimana kalau gue kasih nama Maymei? Lucu, kan? ”
Dikasih nama sama orang yang kita suka.... kalian pasti tahu gimana rasanya, kan? (Shiawase, ne!)  
“ Maymei? Kenapa Maymei? Nama mantannya, ya? “ tanyaku bercanda. Entah ditanggapin serius sama Matahari atau nggak, dia jawab,
“ Bukan.... Maymei itu nama kelinci gue yang udah mati. Gue sayang banget sama kelinci gue itu. Bulunya putih. Niatnya baik, tapi malah nggak sengaja gue ngebunuh dia. Gue sedih banget. Ya? Lo mau ‘kan nama itu? ‘kan bagus...! ” Nada ngomongnya memelas sekaligus setengah memaksa. Walaupun rada bingung, aku terima nama yang terdengar asing (baca: aneh) itu.
Setengah jam kemudian, pembicaraan berakhir. Bertelpon – telponan ria dengan Matahari menghabiskan pulsa telponku hampir setengahnya. Walaupun begitu, ada baiknya aku menelponnya. Dari semua perkataan dia, aku dapat menyimpulkan sesuatu dalam diri Matahari. Selain Matahari adalah cowok yang baik dan perhatian, tapi di sisi lain, ternyata Matahari itu cowok narsis! Selama 10 menit terakhir, dia selalu bertanya tentang penampilannya, entah itu tentang penampilannya saat nge-band di acara Valentine, atau tentang wajahnya, yang memang diakui oleh cewek-cewek K.U itu imut and tampan, termasuk aku yang juga menyukainya.
Keesokan harinya, Matahari nggak terlihat di lingkungan sekolah K.U. kupikir dia nggak masuk. Maklumlah, hari bebas, mau datang atau nggak juga nggak dipeduli’in sama guru – guru. Base camp tempat biasa gengku nongkrong penuh, terpaksa pindah tongkrongan di sekitar lapangan basket. Kebetulan ada pertandingan basket antar kelas, —yang juga kesukaannya Matahari, karena dia pencinta basket, meski dia sendiri nggak mengikuti ekskulnya. Tim andalan kelas Matahari memasuki lapangan basket, yang langsung disambut sangat meriah, bahkan bisa dibilang terlalu meriah untuk sekedar pertandingan basket antar kelas. Terang aja, soalnya kelasnya Matahari adalah kelas dimana berkumpulnya para cowok tampan yang menjadi incaran cewek – cewek satu sekolah (termasuk para senior cowok yang iri, xixixixi…)
Teriakan – teriakan cewek-cewek penggemar, baik itu basketnya maupun cowoknya, memenuhi setiap sudut sekolah. Penging. Tapi biarlah, itung – itung cuci mata. Tapi walaupun dibilang seperti itu, lama kelamaan akhirnya aku beserta gengku tersedot juga dalam suasana pertandingan. Sorakan – sorakan penyemangat meluncur keluar dari tiap mulut. Peluit tanda berakhirnya pertandingan set 1 telah berbunyi. Waktunya membicarakan strategi pertandingan. Bagi penonton yang lebih banyak ceweknya ini adalah waktunya untuk mengembalikan suara yang mulai serak karena semangat45 menyemangati pemain. Termasuk juga aku. Sambil mengembalikan suara, aku melayangkan pandanganku ke penonton di seberang sisi lapangan bagian depan.
“ Wah, ada Matahari! ” kataku tanpa sengaja meluncur keluar begitu saja. Spontan, aku langsung menutup mulutku. Masalahnya, FYI, bukan cuma aku yang menjadi penggemarnya Matahari. Ada sekian ratus cewek yang menjadi penggemarnya. Bahkan kudengar diam – diam ada yang mendirikan fansclubnya. Dan benar saja, saat kata Matahari keluar dari mulutku, sorotan mata tajam dari seluruh penjuru langsung menatapku. Bahkan salah satu teman se-genkku, Oki, yang juga mengincarnya langsung bertanya,
“ Cherry, apa tadi lo bilang Matahari? Mana dia? Kok, nggak keliatan dari tadi Padahal ‘kan yang main kelasnya. Lo liat dia? ”  tanyanya beruntun nggak berenti. Langsung saja aku langsung mencari alasan bagus,
“ Bukan Matahari. Tadi gue kira ada Matahari yang main, taunya malah ‘pacarnya’, si Choco. Habis rambutnya sama. He...he....he... “
Ohya, jangan salah, “pacar” Matahari yang tadi kubilang, bukanlah seorang cewek, tapi seorang laki – laki yang nggak kalah kerennya dari Matahari. Tapi, karena persahabatan mereka berdua terlalu akrab, jadi gosip yang beredar malah menggelikan. Mereka berdua, Matahari dan Choco (His real name is Qodri, but most girls like to called him as Choco. Sounds cute, isn’t?), dikatakan adalah sepasang gay. Masalahnya adalah mereka terlihat akrab dimana pun mereka berada. Bahkan beredar kabar kalau mereka berdua pergi ke mall dan berfoto di sana. (Half naked! (>////<)*nose bleed* mau liat~*)
Kembali ke pertandingan basket. Setelah tahu kalau Matahari juga nonton pertandingan basket, aku jadi nggak begitu memperhatikan pertandingan. Saat kualihkan pandangan ke arah Matahari, aku lihat raut wajahnya kayak orang khawatir. Aku nggak tahu apa yang dikhawatirin sama Matahari, apa mungkin pertandingannya? Atau dia lagi ada masalah?
Beberapa saat kemudian pertandingan selesai dengan skor 64-50. Kemenangan di tangan kelas Sang Idola. Langsung saja secara serentak cewek – cewek langsung mengelu – elukannya. Pandanganku kembali ke arah Matahari. (Nggak ada! Kemana Matahari?) Tengok ke sana kemari, tetap nggak ada. (Ke mana perginya? Masa’ udah pulang?) Nggak sengaja, aku mengalihkan pandangan ke bagian tempat duduk para pemain basket. (Matahari?!... sama Choco??) Ternyata Matahari lagi duduk berdua sama Choco. Terlihat kalau Matahari lagi ngasih minuman ke Choco lalu mengelus punggung Choco yang basah karena keringat, Choco pun terlihat tersenyum. Menggelikan. (Asli biqin merinding disko!) Kalau kalian melihatnya, pasti kalian mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih (Ehm!...kalau nggak mau dibilang sepasang gay..) Bagaimana nggak kalau melihat mereka begitu mesranya di depan umum. (Iri mode: ON)
Tak lama kemudian mereka berdua beranjak pergi. Ternyata ke kantin.
Suasana di kantin penuh banget. Sulit menemukan tempat duduk yang strategis buat memperhatikan Matahari. Akhirnya gengku menemukan tempat duduk yang lumayan strategis, tiga baris di belakang tempat duduk Matahari.  Cewek – cewek yang berada tak jauh dari mereka berdua langsung saja berebutan minta foto. Padahal Matahari dan Choco terlihat nggak suka. Setelah memesan makanan dan minuman, hal biasa yang dilakukan oleh para cewek kalau lagi ngumpul ya tentu saja membicarakan cowok keren. Sasaran utama adalah Matahari dan Choco. Terdengar Ika yang berbicara pertama membuka pembicaraan,
“ Eh, gue denger katanya dua anak ganteng itu gay, ya? ” raut wajahnya sok serius. Kemudian cewek – cewek yang lain langsung menyorakinya dan sebagian ada yang menimpali,
“ Lo juga tahu, ya? Eh, kaget tahu pas gue dengernya. Masa’ gebetan gue gay, sih? Idihh, ilfill deh..., ” kata Choki kecewa. Langsung aja tangan – tangan dari segala penjuru menjitaknya.
“ Emangnya lo aja yang ilfill? Gue juga nih. Bahkan ada gossip lagi yang gue denger tuh kalo mereka katanya pernah tidur berdua! “ kata Uerul. Perkataannya mendapatkan jawaban selayaknya paduan suara wanita,
“ Haaaah??! Sumpeh lo, Rul? Masa sih segitunya mereka?? “ kata mereka semua dengan kompaknya. Pembicaraan kami sudah seperti bigos (biang gosip). Setelah beberapa kali membicarakan hubungan antara Matahari dan Choco, akhirnya aku mendapatkan jawaban dari pertanyaanku yang tadi sempat terlintas di pikiranku,
“ Eh, gue dapet informasi tentang Choco. Katanya dia punya penyakit asma. Terus si Matahari bertugas buat ngejagain dia selayaknya his babysister, “ Ika sok berbahasa Inggris. (Jadi, karena itu Matahari terlihat khawatir waktu Choco main basket? Mungkin Matahari takut kalau asma Choco kumat lagi...)
Selagi kami asyik - asyiknya bergosip ria, tiba – tiba Chika datang membuyarkan diskusi kami.
“ Eh, ngapain kalian asyik – asyikan di sini?  Bukannya ngumpul di UKS, malah asyik – asyikkan makan. Ayo, buruan! “ ajaknya. Sambil menatapnya heran, kami menjawabnya,
“ Emangnya ada apaan di UKS? Ada bazaar obat – obatan? “ canda kami. Dengan gayanya yang khas waktu sewot, jawabnya,
“ Gilingan daging! Choco pingsan tau!! Tadi waktu di lapangan, dia tiba-tib~ ” Belum dia menjelaskan, dengan cepatnya kami memotong perkataannya sambil menyeretnya menuju UKS,
“ Kagak usah banyak cingcong, entar aja jelasinnya! Ayo, ikut ke UKS!! “
Beberapa saat kemudian, kami telah sampai di UKS yang bisa dibilang cukup sempit.  Suasananya sangat ramai. BGT malah! Kayak abis bubaran konser L’Arc-en-Ciel! Eh, nggak ding..! Itu sih terlalu lebay.. yang bener kayak ada diskon gede-gedean di stand khusus all attribute Hyde_sama![2] (eh, sama aja ya??) Eniwei, cewek – cewek berkumpul di UKS untuk melihat Choco yang tergeletak pingsan di tempat tidur UKS, di sampingnya ada Matahari yang kayaknya khawatir banget sama keadaan Choco. Setelah bertanya sebab Choco pingsan sama Chika, kami pun mendapatkan jawabannya. Ternyata pada saat pertandingan grand final antara kelas Idola dengan lawan mainnya dimulai, Choco terlihat aneh. Alhasil setelah melempar bola, Choco pun abruk di lapangan. Katanya lagi, dengan sigap Matahari langsung turun ke lapangan dan membopong Choco ke UKS. Pertandingan pun terpaksa dihentikan untuk beberapa saat hingga keadaan Choco membaik.
Kurang lebih sejam kemudian, pertandingan pun kembali diadakan. Tapi, jumlah para supporter lebih banyak berkurang daripada pada saat awal pertandingan. Gimana nggak? Para supporter lebih banyak yang berkumpul di depan pintu UKS yang kini telah dikunci. Terlihat di dalam ada Matahari yang masih setia menjaga Choco yang masih terbaring. Benar – benar keadaan yang mengkhawatirkan. Pertandingan basket pun akhirnya selesai dengan kemenangan tetap di tangan kelas idola.    

  ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   

“ Cherry! Ada kabar tentang Matahari nih!! ” Tiba-tiba temanku, Anton, datang membuyarkan lamuananku tentang Matahari.
“ Ada apaan lagi nih tentang Matahari? “ kataku setengah berbisik. Sambil mendekatkan mulutnya ke kupingku, Anton berkata,
“ Begini...., Matahari pacaran sama Ari... ” Informasi kali ini rupanya tentang ceweknya Matahari. Ari, nama aslinya adalah Mariam, tapi entah kenapa dipanggil dengan nama Ari, temanku sejak SD, tapi pisah waktu SMP, dan sekarang ternyata pacaran dengan Matahari, cowok yang selalu diimpikan bagi setiap gadis. (How lucky!)  
Ketika malam minggu aku menelponnya dan iseng bertanya tentang hal itu, dengan santai dia menjawabnya.
“  Iya, sekarang gue pacaran sama Ari. Ga‘pa-pa, kan?  Ceria nggak marah ‘kan sama Matahari? “ Perkataannya ini malah membuatku bingung,
“ Kenapa marah?  Gue malah turut bahagia kok! Tenang aja.... tapi, Matahari mesti janji ama gue kalo Matahari nggak kepengen gue marah, “ kataku iseng mengancam.
“ Apa? “
Setelah menarik napas dalam – dalam, aku bilang, “ Matahari nggak boleh bikin Ari nangis, karena Ari itu temen gue. Matahari nggak boleh nyakitin perasaan dia, soalnya dia tuh baik banget. Nggak boleh selingkuh, ya? “
Tanpa diduga, Matahari kembali membuatku senyum hanya dengan dua kata, “ Iya, kakak…, “ jawabnya manis. Selain itu juga, ketika kutanya mengenai kegiatannya dengan basket, dia menjawabnya,
“ Matahari nggak bisa main basket. Lagian ntar kulit Matahari jadi item, trus nanti Ceria nggak suka lagi sama Matahari,. “ katanya lalu tertawa. Telepon pun usai ketika Matahari menutup telpon setelah mengucapkan kata perpisahan,
“ Selamat bersenang – senang di hari minggu besok. Sampai ketemu di sekolah hari senin. ‘Met malam, Ceria!(^_^) “
Hari senin cerah. Ada sesuatu yang mengejutkan ketika kelasku tengah menyelami pelajaran fisika dengan ketukan di pintu kelas. Tiba – tiba Matahari masuk ke kelasku dan minta izin untuk mengambil sampah di kelasku. (Wow! What a surprise...!) Ternyata Matahari sedang kena hukuman untuk mengambil sampah di kelas 2! Tak bisa kubayangkan betapa malu dirinya. Apalagi ketika nanti dilihat oleh sang kekasih, turun deh pamornya! Ditambah lagi teriakan histeris para penggemar  satu lantai. Benar - benar  hari pertama yang menghebohkan. Saat pulang sekolah sekali lagi aku bertemu dengan Matahari. Dia sedang bermain gitar, dan seperti biasa, Choco ada di sampingnya untuk menemaninya bernyanyi. Hmmm, sepertinya sepasang musisi telah terlahir di SMU K.U. (image: Hyde_sama dan GACKT_sama[3])
Hari - hari pun terus berlanjut seperti biasanya.  Penuh dengan berbagai kejutan – kejutan yang tak terduga. Berita yang mengejutkan adalah saat kudengar kalau Matahari membuat sebuah tato di lehernya yang bertuliskan nama sang kekasih, Mariam. Uugh! Nyesek banget... Ternyata Matahari begitu sayangnya sama Ari. Betapa beruntungnya Ari, temanku itu! 
Maksud hati memeluk gunung tapi apa daya tangan tak sampai.... loh? Kok jadi bikin peribahasa... Setelah dipikir baik- baik, ingin rasanya aku mencoba melupakan Matahari... Tapi, saat aku menelponnya, tiba-tiba Matahari berkata sesuatu yang mengejutkan dengan suaranya yang sedikit serak...
“ Minggu depan Matahari mau manggung di festival musik di Bandung.... Ceria mau ikut nggak?  Matahari manggungnya jam malam, jadi kalau Ceria mau ikut mesti izin nginap sehari... soalnya bakal sampai nginap... Mau? ” Kaget, aku balas tanya,
“ Loh? Emangnya Ari nggak ikut? Kok, gue yang diajak..? Ada apa..? “ tanyaku pelan takut disangka mau tahu urusan orang. Tiba-tiba Matahari diam, tapi setelah terdengar desahan nafasnya di telepon, Matahari menjawabnya dengan nada seperti orang mau mati saja,
“.... gue udah putus sama Ari..... Huwahh!! Gue sedih banget, Cerr!!! “  teriaknya tiba-tiba. Entah harus senang atau sedih, aku mencoba untuk menenangkan dirinya yang sepertinya sangat menderita,
“ Emangnya ada apa? Apa cuma keputusan sesaat waktu emosi? “ Aku coba menenangkan. Tapi nggak disangka, setelah dia terdengar sangat sedih, tau – tau saja dia menjadi dingin lagi,
“ Ya udah lah, ga usah dibahas lagi. Gimana? Mau ikut ga?... “ tanyanya lagi mengenai acara pertunjukannya. Mungkin saja ini adalah kesempatan berharga buatku tapi entah kenapa di sisi lain, aku merasa tak ingin memanfaatkannya.
“ Nanti ya, Matahari...? Entar gue kasih tau, gue ikut apa nggak.., ” aku mencoba mengundur ajakannya. Sebenarnya rencanaku adalah meminta waktu agar  aku mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara sepasang kekasih itu. Let’s find out!!  
Keesokkannya hari berjalan seperti biasanya. Dan kayaknya nggak ada yang tahu apa yang terjadi antara Matahari dan Ari, soalnya nggak ada yang membicarakannya sedikit pun.
 “ Woy, ada gosip nih!!! “ teriak Uerul tiba – tiba sambil lari mendatangi kami di kantin.
“ Ada apa, Rul? “ tanya Ika, “ Heboh banget.., “ lanjutnya sambil memesan minuman.
“ Iya nih... ganggu orang makan aja.., “ gerutu Oki dengan mulut penuh dengan makanan.
“ Ada apa... sih? “ aku bertanya agak gugup.
“ Ini tentang Matahari...., “ katanya agak pelan karena sudah menjadi pusat perhatian di Kantin.
“ Kenapa....? “  Dengan kompak kami ikut dalam suasana pelan dan serius.
“ Matahari ada masalah dengan Ari..! “ (*DEG!*) Perkataanya membuat jantungku berhenti sesaat. Ini dia…
“ Gimana ceritanya, Rul? Bisa dipercaya, ga? “ tanya mereka penasaran sekaligus meragukan.
“ Mungkin sekitar  85% presentase kebenarannya...   Gini nih ceritanya, kita ‘kan udah tau kalau Matahari sama Ari tuh udah jadian. Nah, udah agak lamaan mereka jadian, ada masalah. Rupanya ada yang ngasih tau ke Ari kalau Matahari tuh selingkuh sama temennya, si Mery..., “ katanya mulai menjelaskan, “ Nah, salahnya, Ari tuh terima bulat-bulat berita itu tanpa memastikan dulu, trus pas Matahari dateng ke kelasnya, kena semprot deh tuh cowok... “ Tanpa melepaskan perhatian kami pada setiap perkataannya, dengan diam kami terus menyimak setiap kata yang terlontar dari mulutnya.
“ Truuss...? “ tanya kami kompak monyong mau tau lanjutannya. Setelah Uerul meneguk minuman di depannya, —entah punya siapa— dia melanjutkan ceritanya,
“ Nah, trus gitu.... gue pesen makanan dulu ya? Laper nih!! “ katanya seraya pergi dari tempat duduknya. Dengan kompaknya kami menyorakinya, sekali lagi kami menjadi pusat perhatian di kantin.  Setelah dia kembali ke tempat duduknya, ternyata dia bilang kalau dia nggak tahu lanjutannya. Tentu saja dengan perasaan gondok, kami langsung menjitakinya. (Rupanya ada yang menjadi kambing hitam di antara mereka.... lagipula aku ‘kan nggak kenal dengan yang namanya Mery.... siapa dia??  Anak kelas berapa? Rasanya aku tak sabar untuk bertanya pada orangnya langsung.... )   
“ Hai, Cherry!! “ Tiba – tiba saja Ari ada di belakangku dan menyapa ketika di tempat fotokopi waktu pulang.
“ Eh, Ari. Tumben nih.. mau beli apaan? “ tanyaku basa – basi.
“ Cuma nemenin temen gue. Cher, gue denger lo suka sama Matahari, ya? “ tembaknya langsung. Entah bagaimana perasaanku, yang pasti penuh tanda tanya dan kaget.  
“ He? Kata siapa? “ tanyaku gugup. Masih dengan raut wajahnya yang seperti biasa, penuh senyum, dia menjawab,
“ Ah, nggak. Gue cuma denger aja. Katanya sih gitu..., “ katanya.
“ …Bukannya suka gimana, gue cuma tertarik sama mukanya yang kayak di komik – komik, jadinya gue pengen kenal sama dia aja, siapa tau di kasih tau gimana ceritanya dia bisa keren kayak gitu, hahaha…” candaku asal. Tanpa kuduga, Ari berkata,
“ Nggak pa-pa lagi kalo suka. Toh gue nggak suka sama Matahari. Gue kasih tahu ya Cher, Matahari itu anaknya membosankan, manja banget! “  katanya agak kesal.
“ Oh, gitu, ya..., “ tanggapku singkat. Setelah beberapa saat kemudian, Ari dan temannya pergi. Demikian juga aku setelah memutuskan untuk pulang. Selama di perjalanan, aku terus berpikir. (Siapa yang kasih tahu Ari tentang perasaanku sama Matahari? Masa’ sih anak-anak segitunya ngasih tahu Ari.. tega nian~! Apa orang lain ya? Siapa... )

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   

“ Cherr... sorry ya...? “ Uerul tiba – tiba menghampiriku pagi – pagi dengan muka yang enggak bisa dibilang enak. Melihat muka anehnya, aku jadi penasaran juga.
“ Ada apa nih pagi – pagi udah minta maaf? Lo mau kentut, ya? “tanyaku bercanda agar dia segera menghilangkan mimik mukanya yang semakin nggak enak dilihat. 
“ Ih.... Bukan itu!.. Serius.. Gue nggak sengaja.. Soalnya gue penasaran..., “ katanya semakin nggak jelas buatku.
“ Apa sih..?! Jangan bikin gue penasaran! Wah! Jangan – jangan lo nembak Matahari?! “ tebakku asal karena aku benci jika dibuat penasaran. Sesaat setelah kubilang seperti itu, tiba- tiba Uerul membuang muka dan berkata sedikit berbisik,
“ Hampir kayak gitu, tapi bukan... Cher! Lo mau maapin gue kan! “ tanyanya lagi agak memaksa. Tanpa kujawab, tiba – tiba dia menghela napas panjang, dan mulai menjelaskan maksud permintaan maafnya.
“ Kemaren gue ketemu sama Ari di deket gerbang sekolah. Terus dia nanya ke gue, apa gue pernah ngasih Matahari surat, soalnya dari kemaren – kemaren Matahari dapet surat terus dari yang namanya Anemone, yang katanya kelasnya sama kayak gue.., ” kata Uerul yang membuat jantungku berdetak sangat cepat,
“ Teruuss....? “ tanyaku tak sabar.
“ ... Gue bingung.. Yang gue incer ‘kan bukan Matahari, tapi Choco... tapi gue langsung inget, kalau lo pernah bilang mau ngasih surat ke Matahari, jadi gue keceplosan ngomong kalo lo yang ngasih surat ke Matahari soalnya lo suka sama Matahari..., ” katanya yang sepertinya tanpa dosa. Mukaku mungkin sudah merah padam kalau dilihat dari cermin. Entah bagaimana menjelaskan apa yang kurasakan saat Uerul menjelaskan semua itu. Marah.. atau malu..? atau mungkin yang lain....
“ Ari juga bilang kalo semua surat yang Matahari dapet dikasih liat semuanya ke dia..., “ lanjutnya tanpa kuminta. Jadi Uerul yang bilang ke Ari? Gimana sih jadinya ini? Bikin aku nggak enak aja sama Ari.
      Malam harinya aku menelpon Matahari lagi. Beberapa saat setelah berdering, seseorang mengangkatnya,
“ Hallo? “ jawabnya. Suara bass yang dingin itu sudah pasti dia.
“ Halo. Ini Matahari, ya? “ tanyaku memastikan.
“ Ya. Ini... Ceria, ya? Ada apa? “ tanyanya dengan nada yang rasanya terdengar lebih lembut daripada yang biasanya.
“ Lagi ngapain? Ganggu, nggak? “ tanyaku basa – basi.
“ Nggak, koq. Ada apa? Kangen, ya? Hehehe..., “ tanyanya lalu tertawa.
“ Bisa aja.. Cuma mau ngobrol aja, koq. Gimana nih kabarnya sama Ari? Dah baikkan? “ tanyaku.
“ Nggak, biasa aja kayak temen, “ jawabnya masih bernada datar, “Cherry sendiri? “ tanyanya tiba – tiba.
“ Hah? Maksudnya? Koq, gue dibawa – bawa? “ tanyaku nggak ngerti pertanyaannya sekaligus kaget dia manggilnya pake nama Cherry.
“ Iya. Cherry... Gimana sama cowoknya?  Lancar? “ tanyanya dengan nada yang kedengeran aneh.
“ Cowok?? Gue punya cowok? Sejak kapan? Siapa yang ngomong?? “ tanyaku kaget, karena semenjak kelas 2 aku terus men-jomblo.
“ Uerul, “ jawabnya singkat, “ Dia temen Cherry, kan? “ tanyanya lagi.
“ Hah...?! Uerul?! Emangnya dia sering ngobrol sama matahari? “
“ Sering banget kali! Dia sering curhat, ampe Matahari nggak ngerti apa yang lagi diomongin. Dia juga bilang kalo Cherry suka sama Matahari. Tapi kalo itu sih, Matahari emang udah tau dari pertama kali Cherry telpon Matahari.  Ngomong – ngomong Cherry udah makan belum? Makan yuk! “ ajaknya.
“ Boleh juga tuh! Tapi maksud Matahari, kita makan sendiri – sendiri ‘kan? “
“ Bener  banget! Apa Cherry mau Matahari temenin? “ katanya.
“ Wah, makasih...  Yaudah.. Kita makan yuk. Dah.., “ kataku mengakhiri percakapanku kali ini.
“ Aah.. Iya...Dah..., ” Percakapan pun berakhir.
Dan begitulah seterusnya. Dari Matahari, aku jadi tahu kalau Uerul sering menelponnya, dan sejak saat itu aku tetap diam karena mungkin dia akan cerita tentang itu. Tapi, nyatanya sampai sekarang dia nggak pernah membicarakannya, dan akhirnya kuputuskan untuk bertanya langsung.
 “ Rul, gue denger lo sering nelpon Matahari, ya? Emangnya bener? “ pancingku.
“ Eh, lo denger dari mana? Bo’ong kali..., “ jawabnya tanpa memandangku entah apa yang lagi dipandangnya di depan kelas.
“ Dari Matahari sendiri. Lo... nggak mau cerita? “  pintaku.
“ Ng... gue nelpon Matahari cuma buat nyari tahu tentang Choco, koq! Bener! Suer! “ jelasnya singkat, tapi masih tanpa melihat ke arahku.
“ Oke. Apapun itu, tapi jawaban lo dengan penjelasan matahari itu beda... tapi, itu urusan lo..., “  jawabku tak ingin ikut campur, walau dari dalam hatiku aku ingin sekali tahu apa yang sebenarnya mereka  bicarakan.
“ Cherry...!! Ayo, pulang! “ teriak Ika tiba – tiba dari depan pintu.

Ujian semester kenaikan kelas dilaksanakan seminggu lagi. Itu berarti seminggu ini, aku harus berusaha untuk nggak memikirkan Matahari. Demi kelancaran ujian, se-enggaknya aku harus berusaha untuk belajar dengan baik meski harus kuakui kalau rasanya malas sekali untuk membuka buku pelajaran. Seminggu pun berlalu dengan cepat, akhirnya ujian pun tiba. And how lucky! Ruangan ujian kelasku adalah kelasnya Matahari (lagi!), kalau begitu ruang ujian Matahari sudah pasti ada di kelas 2 di lantai atas. Seminggu nggak melihatnya kukira akan membosankan, tapi ternyata nggak juga, karena entah kenapa Uerul memberikan selembar foto. I guess you already know whose photo is it.... exactly! Matahari. Entah apa yang pikirkan olehnya... Tapi, apa yang sudah diberikan nggak dapat ditarik kembali, ya ‘kan? Karena itulah sepanjang ujian aku mengantonginya, lumayan, untuk jimat keberhasilan. Satu lagi yang membuatku sedikit tak semangat ujian. Saat istirahat, aku menemukan selembar gambar yang beberapa minggu sebelum ujian aku memberikannya pada Matahari. Sudah kusam, lecek, kotor, dan bahkan ada cap sepatu. Entah siapa pelakunya, yang pasti itu membuatku “agak” kesal dengan Matahari, yang sepertinya nggak menghargai karya orang lain yang sudah susah payah menggambarnya. Karena itulah, dengan perasaan gedek, dibalik gambar itu aku menulis beberapa pesan untuknya... tapi sebagian juga aku menulis beberapa kalimat penyemangat selama ujian. Yang membuatku heran adalah kenapa Uerul jadi lebih marah daripada aku?  Toh, yang kotor itu adalah hasil fotokopi dari yang asli yang masih kusimpan dengan sangat aman. (What’s wrong with her?)
Ujian hari itu pun selesai sudah. Dalam perjalanan pulang, masih dengan mengantongi gambarku, aku dan Uerul menuju lobby dan tanpa sengaja bertemu dengan Matahari yang lagi sendirian sedang meluk tembok. (Mungkin dia lagi kepanasan..... ) Tanpa kusadari, Uerul tiba – tiba saja sudah ada di depan dan memanggil Matahari. Dengan langkah enggan, aku mendekati mereka. Terdengar  mereka berbicara,
“ Lo gimana sih Matahari?! “ katanya sambil menarik baju Matahari, “Koq gambar yang dikasih sama Cherry jadi kotor?! Bukannya ngehargain karya orang malah dirusak. Kasihan tau!! “ lanjutnya sewot. Sikap yang ditunjukkannya pada Matahari plus kata – katanya, sepertinya aku yang menyuruhnya memarahi Matahari. Tapi nggak! Jujur! Bahkan aku nggak suka kalau Uerul memarahi Matahari, apalagi sampai menarik bajunya. Kemudian terdengar Matahari menjawab dingin plus jutek,
“ Apa urusannya sama lo?! Bukan gue yang kotorin, kenapa jadi lo yang marah sama gue...?! Kayak yang gambar lo aja.., ” balasnya nggak peduli. Dan adu mulut pun dimulai....
“ Heh! Dasar nggak bisa ngehargain pemberian orang!! “ bentak Uerul. Dsb..dsb..dsb..... sampai akhirnya, Uerul menunjuk ke arahku, yang tak jauh di belakang  Matahari, sambil bilang, “ Tuh, anaknya! Ayo, minta maaf! “ suruhnya pada Matahari. (Apa – apaan nih? Kenapa jadi nunjuk aku?? Apa sih maunya Uerul? Biqin malu aja! ) sewotku dalam hati. Kulihat Matahari mencari – cariku. Mungkin karena kecil, aku jadi nggak terlihat olehnya yang tinggi. Akibatnya, dia terus berputar – putar mencariku yang sebenarnya ada tepat di depannya. Setelah dia berhasil melihatku, tiba- tiba saja dia mengulurkan tangannya padaku.
“ Eh? “ Sambil setengah kaget, aku melihat wajahnya, terlukis raut wajahnya yang dingin. Dia berkata,
“ Ketemu juga... Ceria, ya? Matahari..., “ katanya mungkin mempertegas perkenalan itu. Meski sedikit, kulihat ada senyum di wajahnya, karena itu kusambut tangannya,
“ Ya, salam kenal... “  Kami pun berjabatan. Saat itulah pertama kalinya aku merasakan tangannya. Lembut meski sedikit kasar, dan hangat.... Beberapa saat kemudian Matahari pergi setelah menerima kembali gambar yang kotor itu, dan sepertinya sepanjang jalan dia terus membersihkannya dengan tangannya yang putih. (Hmm.. untuk kali ini rasanya Uerul memberikanku kesempatan untuk lebih dekat dengan Matahari, yah, walaupun agak aneh juga…)
Hari – hari ujian pun tak terasa telah berakhir. Dan besok adalah hari pengambilan raport kenaikan kelas. Seperti biasa, raport anak kelas 1 diambil oleh orang tua masing – masing dan kelas 2 diambil sendiri oleh murid. 
Pukul 09.00 am, SMU K.U. sudah dipenuhi oleh orang tua murid dan murid K.U. sendiri.  Begitupun di kelasku. Teman – temanku sudah banyak yang datang untuk melihat hasil prestasinya masing - masing, dan... kejutan! Aku mendapatkan peringkat ke-2. Kurasa itu termasuk kemajuan yang pesat mengingat peringkatku sebelumnya sama sekali nggak masuk 10 besar. Dan meskipun nggak sesuai dengan keinginanku, di kelas 3, aku dimasukkan ke jurusan IPA yang kurasa membosankan karena selalu berhadapan dengan rumus – rumus setiap harinya.  Setelah mendapatkan pencerahan dari wali kelas, kami semua keluar meninggalkan kelas. Walaupun sudah waktunya untuk pulang, tapi gengku belum mau pulang karena masih banyak yang mau dilakukan, salah satunya adalah nongkrong di tempat biasa, kantin!
Tapi ada sesuatu yang mengejutkan terjadi. Saat melewati lobby di lantai bawah, aku, —ya tentu saja bersama gengku—, bertemu dengan Matahari, yang seperti biasa selalu bersama dengan Choco, his soulmate. Sambil mempercepat langkahku, aku melewati Matahari yang terlihat lagi ngobrol sama Choco. Tinggal selangkah lagi melewati pintu lobby sekolah, tiba – tiba kudengar suara Matahari yang kayaknya lagi memanggil seseorang. Merasa tak ada yang dipanggil di antara kami, tentu saja dengan santainya kami mulai menjauhi lobby. Saat itulah, terdengar suara atau mungkin lebih tepatnya teriakan panggilan dari Matahari,
“ Cherryy!! “  Dengan spontan, kami semua menoleh ke arahnya, tapi rasanya mungkin seluruh cewek yang ada di situ juga menoleh ke arah Matahari. Entah bagaimana melukiskannya, yang pastinya aku kaget setengah mati. (Matahari barusan manggil namaku?!) Begitu kuarahkan pandanganku padanya, kulihat dia menggerakkan tangannya seolah menyuruhku ke tempatnya. Sebelum ke sana, tanpa sadar aku menatap satu persatu wajah gengku. Disimpulkan bahwa semuanya bermuka masam dan tak bisa dibilang menyenangkan. Di satu sisi aku ingin langsung menjelaskan apa yang terjadi, tapi di satu sisi lagi, Matahari masih memanggil namaku, yang sepertinya telah menarik perhatian para cewek yang ada di sekitarnya. Dengan langkah berat, aku menuju ke arah Matahari yang telah mengerutkan dahinya tanda tak sabar. (Mau ngomong apaan, ya, Matahari...?? Duh.. Jantung aku nggak karuan nih.....!)
“ A-ada apa, Matahari? “ tanyaku padanya setelah berhasil melangkahkan kakiku yang rasanya berat.
“ Minta gambar lagi, donk! Tapi yang gede, ya? Biar gue bisa pajang..., “ katanya sambil melemparkan senyum, yang seperti biasa, selalu membuat lututku lemas.
“ Ga-gambar? “(Oooh.....) “ Hmm, Ya udah.... selesainya pas abis liburan aja, ya? “ tanyaku.
“ Hah...? Ohya, mau liburan ya...? Ok deh! “ katanya setuju dengan senyuman 1 juta volt . Tiba – tiba saja Uerul datang memotong pembicaraan kami,
“ Hei! Matahari! Masuk apa nih?? IPA apa IPS?! “ tanyanya dengan wajah yang terlalu over. 
“ Wesh! IPA donk! Matahari gitu loh!! “ katanya bersemangat. Sejenak pandanganku mengarah ke lidah Matahari.  Mungkin dia merasa diperhatikan, karena itu, dia melihat ke arahku, dan mata kami pun beradu.
“ Kenapa? Koq ngeliatinnya sampai kayak gitu...? “ katanya curiga.
“ Eh, nggak. Itu. Emangnya nggak ketahuan? “ tanyaku sambil menunjuk ke arah lidahnya.
“ Oh, ini ? ” Matahari pun menjulurkan lidahnya, dan menujukkan jelas tindikan di lidahnya, “ Nggak koq. Kalo ada guru yang ajak ngomong, mulutnya jangan dibuka gede – gede. Jadinya nggak ketahuan, deh! Hehehe..., “ katanya dengan nada sedikit nakal.
“ Matahari.... “ Tiba – tiba seorang ibu setengah baya, berumur sekitar 38 atau 40-an datang mendatangi kami. Saat aku melihatnya, ibu itu melemparkan senyum yang membuatku kaget. (Siapa?) Kemudian, ibu itu berbicara dengan Matahari, karena tak ingin mengganggu, aku hanya berdiri di samping Matahari. Sesaat ibu itu melihat ke arahku dan melemparkan senyum. Dan begitulah seterusnya, setiap ibu itu melihat ke arahku, dia selalu melemparkan senyum, yang membuatku semakin salah tingkah. 
“ Ya udah, ntar Matahari ke atas, mama nunggu di sini aja, ya? “ kata Matahari sangat manis. (Mama? Jadi, yang di depanku ini, mamanya Matahari...? Waduh....)
“ Cherry.., “ panggil Matahari pelan membuyarkan pikiranku, “ Ditinggal dulu, ya, “ katanya sambil melangkah pergi meninggalkan aku, mamanya, Choco, dan Uerul. Saat aku memutuskan untuk pergi dari situ karena suasananya sudah membeku, gara – gara seluruh tatapan dingin cewek di lobby rasanya menancapku dari seluruh penjuru, tiba- tiba Choco memanggil mamanya Matahari,
“ Tante, tante! Ini nih ceweknya Matahari, tante!“ katanya sambil menunjuk ke arahku. Sejurus saja, mata seluruh cewek di lobby menatap ke arahku, termasuk yang ada di lantai 2. Huwaa, serem euy!
“ Tante, permisi dulu, mau pulang. Udah siang.., “ pamitku padanya. Dengan langkah seribu, aku langsung meninggalkan lobby. (Celaka 13 deh kalau gini....)
“ Cher, masa’ tadi, gue lihat pas ada nyokapnya, Matahari ngelirik – ngelirik ke elo, Cher..., “ kata Uerul memberitahu saat kami dalam perjalanan menuju kantin. (Oh ya? Ngapain ya..??)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“ Mungkin dia bingung, mau ngenalin elo apa kagak sama nyokapnya, kali...,  “ tebak Ika, ketika aku menceritakan peristiwa itu padanya keesokan hari, di Studio band tempat Ika biasanya main bareng anak bandnya.
“ Ah, nggak mungkin.. Masa’ dia mau ngenalin gue sih? Kayak gue tuh siapanya dia aja...., “  kataku tak percaya.
“ Eh, bisa aja! Emangnya loe tau apa yang lagi dipikirin sama Matahari? “ tanya Ika yang masih kekeh sama pendapatnya.
“ Ga tau…, “ jawabku polos.
“ Tuh, kan!~ gimana kalo ntar lo telpon dia? Apa..... mau ke rumahnya sekarang? “ ajak Ika yang telah bersiap – siap untuk berdiri dengan senyum yang sepertinya ngajak nantang.
“ Ha... ha.. ha.. Nggak! Makasih! “ tolakku mentah – mentah. Setelah itu, Ika dipanggil oleh sang ketua band untuk latihan band dan kami pun berpisah.
RRRR..... RRRRR.....RRRR...
“ Haloo...., “ suara lembut seorang ibu menggaung di seberang telpon.
“ Selamat sore, bisa bicara dengan Matahari, tante.. ? “ jawabku tenang karena yang mengangkat bukan cewek jutek kayak biasanya.
“ Ini dari siapa, ya? “ tanyanya.
“ Dari Cherry, tante...., “ jawabku sopan dan datar.
“ Halo... ” Tiba – tiba saja suara itu telah berubah menjadi suara bass yang dingin dan datar, kalau suara ini sudah pasti dia.
“ Eh, Matahari.... kaget, tiba- tiba suara nyokap lo jadi ngebass gini... lagi ngapain nih...? “ tanyaku basa – basi seperti biasanya yang dia tanggapi dengan...
“ Ngapain nelpon, nih? “  tanyanya sesuai dengan tebakanku.
“ Ng... kalo nggak ganggu, mau ngobrol sebentar.. boleh nggak? “ tanyaku dengan nada manja yang biasanya langsung dimarahi oleh Matahari.
“ Jangan bikin gue merinding, donk..! Geli tau! “ katanya marah – marah, “ Mau ngomong apa? “ lanjutnya.
“ Yang kemaren..... waktu yang lo panggil gue pas ambil raport. Tentang gambar itu..., “ kataku menjelaskan.
“ Ya, kenapa? Udah selesai, ya?! Keren ‘ga?! Pas masuk kasih, ya! “ katanya semangat.
“ Eh, tunggu, gue belum selesai ngomong koq! Baru gue mau nanya, ukurannya mau yang segede apa? Gue ‘kan nggak tau, ntar kalo salah lo nggak suka.. ”
“ Yah, gimana sih! Pokoknya ‘kan gue bilang yang gede! Mau karton, A3, atau A4... asal bukan se-uprit, gue mau koq! “ katanya dengan nada yang agak membentak, “ Oia, ngomong – ngomong ..., “ lanjutnya.
“ Apa? “
“ Lo... kecil juga, ya? “ katanya lalu ketawa. (Apa?!  Kecil?! Nggak terima! Mentang – mentang tinggi, seenaknya aja ngatain orang kecil!)
“ Tapi, imut juga...., “ katanya lagi dengan nada yang agak pelan tapi masih setengah tertawa. Mendengar itu, amarahku langsung saja tiba – tiba hilang, dan sekarang jantungku berdetak dengan sangat cepat.
“ Koq, diem aja...? Marah, ya? Sorry, ya.... koq Matahari jadi jahat gini, ya..? Cuma bercanda koq.. jangan marah..., “ pintanya dengan nada yang agak memelas.
“ Hmm... nggak marah koq..., “ kataku sambil mencoba menenangkan detak jantungku yang semakin berdetak cepat.
“ Hehehe... bagus deh... Oia, Matahari mau ngecat rambut nih... menurut Cherry, warna yang cocok apaan? “ tanyanya. ( Warna? Ngg.. apa ya?... Ohya! )
“ BIRU! “ teriakku semangat.
“ Biru? Ah, norak... kalo tato, apa yang keren? “ tanyanya lagi.
“ Tato?? Ng.. gimana kalo sepasang sayap di bahu? ‘Kan keren tuh.. kalo lagi ngelurusin tangan ke depan, kayaknya tuh sayap jadi mengembang di bahu lo... gimana? “ kataku memberi pendapat sambil membayangkan sang vokalis L’Arc-En-Ciel, HYDE_sama, yang punya tato sayap di punggungnya. (my angel! )
“ .... Ah, ‘kan nggak boleh ditato... ‘kan masih kecil... ditato ‘kan nggak baik, ntar jadi jelek..., “  katanya sok imut.
“ Yee... tau gitu, mendingan tadi nggak usah kasih pendapat deh..., “ kataku agak kesal.
 “  Hahaha.. “ tawanya menggaungi telpon. Dan begitulah percakapan dari telpon hari itu. Ternyata yang kemarin dia manggil, memang cuma mau minta digambarin tanpa ada maksud yang lain. ( Hhh.. padahal kupikir ada yang mau diomongin yang lain...)
Hari liburan pun terus berlalu. Hari liburan begini, biasanya aku kerja part time di sebuah toko kosmetik, lumayan buat tambahan uang jajan yang semakin seret. Suatu hari, tiba – tiba selagi melayani pembeli, Hp milikku berdering. Ada sms dari Uerul. Setelah toko agak sepi, aku sempatkan membuka inbox di Hpku. ‘Chr, Mthri mo pndh sklh! Td pas gw tlpn, kt’a dy mo pndh sklh sm Cho2. Cb deh lo telpn dy, kali aja dy crt ma lo’ kurang lebih begitulah isi dari sms itu. (Matahari pindah sekolah? Ga salah tuh? Ah, paling Matahari lagi bete trus Uerul telpon, and bikin nyolot, trus perang deh...)  Tapi akhirnya,
“ Tolong  jaga sebelah sini sebentar, ya? Ada urusan mendadak, nih.., “ kataku minta izin, karena aku penasaran juga dengan berita itu, apa boleh buat.
 “ Matahari...? “ tanyaku setelah mendapatkan jawaban di Hpnya.
“ Ya, kenapa, Cher? “ tanya seperti biasa. ( Oke! To the point!! )
“ Matahari lagi bete, ya? “ tanyaku memastikan dugaanku.
“ Nggak, kenapa? “ tanyanya balik.
“ Tadi Uerul ngasih tau, katanya Matahari lagi bete gitu... “
“ Siapa suruh dia nyolot sama gue?! Lo tau kan gue nggak suka sama orang yang sok tahu trus bikin nyolot?! “ katanya marah – marah.
“ Ya udah.. Nggak usah ditanggepin kalo ntar dia kayak gitu lagi, Matahari, gue boleh tanya nggak..? Emangnya Matahari mau pindah sekolah, ya? “ tanyaku agak pelan, takut dia malah tambah marah.
“ Nggak... Siapa yang bilang? Matahari nggak bakalan pergi ke mana- mana koq!.. Tenang aja..., “ katanya yang terdengar  seperti sedang tersenyum. Mendengar itu tanpa sadar  aku bilang,
“ Syukur deh kalo gitu... Tadi rada takut juga sih...., “ kataku meluncur begitu saja.
“ Chery... kalo masih mau ngobrol ntar dilanjutin lagi, ya? “ pintanya tiba – tiba.
“ Eh? Emangnya kenapa? Matahari keganggu, ya? “
“ Ah, nggak. Cuma Matahari udah dijemput temen, mau pergi ke salon, “ jelasnya.
“ Salon? Mau ngapain? “ tanyaku setengah kaget.
“ Rambut Matahari kan merah, makanya sekarang mau diitemin lagi di salon, besok ‘kan sekolah..., “ katanya. Sesaat terdengar suara temannya memanggil namanya, “ Udah dulu, ya? Udah dipanggilin terus, tuh “ katanya lagi.
“ Iya... Oh ya, yang ganteng, ya! “ kataku bercanda.
“ Hahaha... pastinya donk!! Ya udah ya, temen Matahari udah teriak – teriak di luar, dah... “ Telpon pun terputus. Ternyata Matahari bilang mau pindah memang gara – gara Uerul yang bikin dia marah.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pagi yang cerah menyambut hari pertama kembali sekolah. Sekarang SMU K.U jadi semakin ramai dan penuh dengan murid – murid baru. Dari kelasku, 3IPA2, aku melihat Matahari ada di lantai bawah lagi mencari kelasnya yang baru. Sesaat, entah itu cuma perasaanku atau apa, tapi tiba- tiba Matahari menoleh ke arahku yang saat itu sedang memperhatikannya dari lantai 3, kemudian tersenyum, lalu pergi entah kemana. Dari Uerul, aku tahu kalau kelas Matahari adalah 2IPS4. (Kenapa Uerul jadi lebih tahu tentang Matahari daripada aku? Koq jadi aneh gini...Lagipula gimana ceritanya dari IPA yang waktu itu Matahari pernah bilang, sekarang malah jadi IPS?? Yeah, who cares ‘bout that any way?)  Ohya, aku masih sekelas dengan Ika dan Uerul, sedangkan anak geng yang lainnya di kelas yang lain.
Hari – hari pun terus berlalu. Saking padatnya jadwal belajar, aku jadi sedikit melupakan Matahari. Tanggal 21 juli pun tiba... (baru sadar waktu setengah hari udah berjalan, tepatnya waktu siang mau ujian) hari yang amat kutunggu. Aha! You know it...! it’s Matahari’s Birthday! Tapi, waktu aku sempatkan untuk ke kelasnya, Mataharinya nggak ada. Kata penduduk di sana, dia lagi di kantin. (Wah, kalau begitu.. terpaksa lewat telpon.....)
Jam di kamar menunjukkan pukul 19.30. Lewat Hp, aku mencoba menghubunginya lagi, —setelah 2x gagal untuk menghubunginya tadi siang. Dering telpon pun berbunyi, kebetulan sekali yang mengangkatnya adalah orangnya langsung,
            “ Halo? “ terdengar suaranya menggaungi Hpku.
“ Halo, Matahari, ya? “ tanyaku memastikan.
“ Iya, kenapa? Ini Cherry, kan? “ tanyanya yang membuatku agak kaget.
“ Eh, tau aja.... “
“ Iya, donk! Udah hapal. Kenapa? “ tanyanya lagi.
“ Lagi ngapain? Gi sibuk ? “
“ Oh.. lagi ini... ngerjain kliping bahasa Inggris.... buat guru gitu deh..., “ katanya menjelaskan dengan detailnya.
“ Hm... Happy Birthday, ya!! XD “ kataku ceria.
“ Iya.. Makasih, ya! “ Dari suaranya sepertinya dia sedang tersenyum.
“ Oia, gambarnya maunya dikasih kapan? “  tanyaku mengganti topik.
“ Terserah... yang baiknya aja, “ jawabnya singkat.
“ .. Kalo gitu, besok ya? Tapi ngasihnya gimana? Ke kelas Matahari atau gimana? “ tanyaku bingung sendiri.
“ Yang baiknya aja... Terserah. Kalau mau ke kelas nggak pa-pa. Tau ‘kan kelasnya?  “ tanyanya memastikan.
“ Iya. 2IPS4, kan? Istirahat, ya? “ kataku memberitahu.
“ Ya... datang sendiri, ya? Jangan sama siapa- siapa. Apalagi sama Uerul..., ” katanya dingin.
“ Ya... eh, iya! Sorry ya nggak bisa kasih kado.., “ kataku.  Lalu, tiba – tiba Matahari menjawab dengan kata – kata yang langsung membuat wajahku memerah.
“ Nggak pa’pa. Cherry inget aja Matahari udah seneng koq...! ” katanya dengan nada yang lembut. Ucapan itu begitu singkat tapi rasanya akan selalu teringat di pikiranku. Begitulah, sesaat setelah itu, kami berdua sama – sama mengakhiri percakapan di telpon dan saling mengucapkan selamat malam.
Keesokan harinya, sesuai perjanjian, aku datang ke kelasnya, tapi dengan membawa seorang teman. Cowok. Namanya Adit, cs-anku karena dia telah mengenal Choco termasuk Matahari sejak dulu, lagipula rumahnya lumayan dekat dengan rumahnya Matahari, tapi sayangnya dia sudah lupa gang rumahnya. Alasanku lain membawanya bersamaku adalah karena sebelum menuju kelas Matahari, aku harus melewati banyak kelas 2 yang orang –orangnya nggak bisa dibilang menyenangkan. Apalagi cowok – cowoknya, yang selalu menatap dengan mata yang membuat adrenalinku bekerja cepat. Sampai di kelas Matahari, aku minta seseorang yang kebetulan ada di depan kelasnya untuk memanggilnya, tapi dia bilang kalau Matahari nggak ada di kelas, dia lagi ke kantin. (Kantin? Katanya janjian di kelas? Wah, jangan – jangan dia lupa??) Sebelum meninggalkan kelasnya, aku berpesan pada orang itu untuk menyampaikan pada Matahari kalau aku menunggunya di jembatan antara gedung kelas 3 dengan gedung kelas 2 waktu pulang sekolah. Akhirnya dengan perasaan gondok, aku kembali ke kelasku. Sepanjang jalan, aku terus diejek Adit.  Alhasil, kepalan tinju pun mendarat di perutnya, yang membuatnya meringis kesakitan dan ngedumel terus di sepanjang jalan.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Mataku langsung ke arah jembatan. (Mana Matahari? Koq belum datang? Padahal ‘kan kelasnya udah bubaran...) kataku dalam hati sambil mengamati setiap orang yang keluar dari lobby bawah melalui jendela kelasku. Sesaat kemudian, mataku menangkap sesosok manusia. (Matahari?! Koq dia pulang? Wah, kurang ajar tuh temennya, pasti dia nggak nyampein pesan dariku!)
“ Kenapa lo, Cher? Ngeliatin apaan, sih ampe muka lo tuh kayak gitu.., “ kata Uerul tiba – tiba dari belakang.
“ Hah? Oh, eh, nggak..., “ jawabku terbata – bata.
“ Siapa sih? Matahari, ya? “ katanya penasaran sambil ikut melihat ke arah lapangan, dan membuatku terjepit, karena tempat duduk di kelas lumayan kecil, hanya cukup untuk satu orang.
“ Apaan, sih, Rul! Sakit tau!! Kejepit nih! Awas donk! “ kataku marah, sambil mencoba mendorong badannya untuk menjauh dariku.
“ Pada ngapain, sih? Rul, lo ngapain ngejepit Cherry? Udah tau badannya Cherry tuh kecil, jangan tambah dibikin kecil donk! Ntar Matahari marah, loh! “ kata Adit yang tau - tau saja berdiri di belakang kami, bersama Ika. Sambil membantuku berdiri, Adit membisikkanku sesuatu,
“ Eh, Cher. Tadi gue lihat Matahari udah keluar dari gerbang, kayaknya dia nggak nongkrong dulu, deh.., “ katanya sambil tersenyum ngeledek.
“ Rese lo!! “ Pukulan pelan pun mendarat di badannya. Ika dan Uerul yang nggak tau permasalahannya, hanya diam melihat Adit kupukul. Pukul 14.00, anak kelas 3 baru pulang sekolah. Jam pulang kelas 3 dengan kelas 2 beda setengah jam, jadi kurasa, aku takkan bertemu dengan Matahari hari ini. Langkah kami, —aku, Uerul, Ika, dan Adit cs, yaitu Panji dan Henry—, melangkah menuju kantin, biasalah tuntutan perut yang terus berteriak. Sampai di kantin, kami semua memesan makanan sesuai selera kami masing- masing, tapi tetap saja semuanya memesan bakso. Setelah mendapatkan pesanan semangkok bakso, aku langsung meramunya dengan berbagai macam bumbu, saus, dan kecap. Sebagai pelampiasan perasaanku yang sedang marah – marah, tanpa terasa semangkok bakso yang pedas itu berhasil kuhabiskan dalam waktu tidak sampai 2 menit. Serentak saja, anak – anak yang lain langsung melongo, lalu berkata,
“ Cherry, lo laper apa kelaparan? “ kata Panji yang mangkoknya masih penuh dengan bakso. 
“ Tau tuh.. Masa’ yang jadi pelampiasannya bakso, sih? Tapi masih mending deh, daripada ‘ntar gue lagi yang kena..., “ kata Adit sambil melanjutkan makannya.
“ Ada apaan, sih, sebenernya? “ tanya Henry, yang biasa dipanggil dengan Baqõ, karena ke-keling-annya, alias item banget bo’.
“ Ga tau. Dari tadi juga kayaknya Cherry rada aneh..., ” kata Ika, yang tengah menghabiskan baksonya dan mulai menikmati kuahnya yang sudah kental dengan saus, “ Lo tau kali, Rul? “ opernya ke Uerul yang lagi kepedesan, dan hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
“ Gini loh, guys,... Adit mulai cerita, “ Ceritanya tuh, ya... si Cherry ini janjian sama matahari di kelasnya. Tadi pas istirahat ‘kan gue temenin nih anak ke kelasnya... Eeh, pas ke kelasnya, si Matahari tuh nggak ada, kata temennya sih dia ke kantin... Ya udah deh, sekarang Cherry lagi bete sama Matahari gara – gara dia dah bilang ke temennya, ditunggu sama Cherry di jembatan, tau – tau si Matahari malah pulang sama temennya...., “ kata Adit menjelaskan, sedangkan aku sedang sibuk menghilangkan rasa pedas di mulutku, karena itulah aku tak terlalu memperdulikannya.  
“ Ya ampun.. masa’, cuma kayak gitu, lo jadi aneh gini, sih.. PDA..., ” kata Ika yang tengah minum.
“ Aps tuh?? “ tanya kami serempak.
“ Please Donk Ah...., “ jawabnya sambil tersenyum padaku.
“ Habis... gue ‘kan jadi gedek.... katanya mau ketemu di kelas, trus nyuruh gue ke kelasnya sendirian... tapi untung gue bawa lo, Dit. Kalo nggak gue bakalan sendirian di situ kayak kambing congek.... Dasar rese! Ngerjain aja “ protesku marah – marah sambil minum air dingin.
Setelah hampir satu jam di kantin, dan puas makan, kami semua memutuskan untuk pulang. Karena kebetulan aku dan Uerul arahnya sama, kami pun pulang berdua jalan kaki, sedangkan yang lainnya pulang dengan motor masing- masing. Sepanjang jalan, kami berdua hanya diam. Tapi, setelah melewati sebuah wartel, Uerul bilang padaku untuk jalan duluan, karena dia mau telpon dulu sebentar dan memintaku untuk menunggunya di tempat fotokopi depan seperti biasa. Dengan langkah pelan, karena barang bawaan yang berat, aku menuju ke tempat fotokopi tempat biasa aku nongkrong sekaligus main.
Sejenak entah kenapa, jantungku berdetak dengan cepat. Tempat fotokopi tinggal beberapa langkah lagi. Sambil mencoba menenangkan jantungku, aku terus melangkah ke tempat foto kopi. Begitu sampai di tempat fotokopi, mataku tiba – tiba beradu dengan Choco. (Aduh! Kaget... Kirain siapa, ternyata Choco... Tapi kenapa jantungku tambah cepet? Oia, ngomong – ngomong, mana “pacarnya” koq dia sendirian aja...Loh koq, jadi mikirin dia lagi...? Payah.!) Aku pun tetap melangkah masuk ke tempat fotokopi dengan jantung yang bukannya tenang malah semakin cepat.
“ Eh, Ceria. Dah pulang, ya? Koq sorean? “ sapa Ibu fotokopi.
“ Ah, iya. Tadi abis makan dulu di kantin..., “ jawabku. Tiba – tiba Ibu fotokopi mendelikkan matanya ke arah tempat duduk di dalam. Karena tertutup etalase, aku jadi nggak tahu apa yang ditunjuknya. Semakin aku melangkah masuk ke dalam, jantungku semakin berdetak cepat. (Ada apaan, ya..?)  Tinggal selangkah lagi, aku berhasil melihat yang Ibu fotokopi maksud. Tas hijau, tinggi, putih, rambut dispike. (Kayaknya aku tahu, deh...)
“ Loh, Cherry? Belum pulang, ya? “ Setelah melihatnya, aku langsung tahu alasan kenapa jantungku berdetak cepat, dan juga alasan kenapa Ibu fotokopi menunjuk ke arah dalam.
“ Hee... Matahari?? Koq...?? Kenapa di sini? “ tanyaku kaget.
“ Lagi nunggu anak – anak yang lain, buat ngerjain tugas sekolah... Ohya.. mana gambarnya? “ tanyanya menghampiriku.
“  Ah... ini.. ada di kantong...,  “ Aku pun memberikan gambar itu padanya.
“ Makasih, ya! Gambarnya keren banget... tapi koq kayaknya gambaran  Jepang banget, ya...? “ katanya gembira setengah bertanya, “ Oh iya... tindikan Matahari udah diambil sama guru baru, “ lanjutnya tiba – tiba memberitahuku setelah melihat ada gambar tindikan di gambar yang kuberikan, “Huh! Dasar guru baru sialan!“ gerutunya di depanku. Meskipun dia sudah marah – marah begitu, memangnya aku bisa ngembaliin tindikannya? Masih bagus cuma diambil, kalau sampai berurusan sama BP bisa berabe nanti. Tapi, melihatnya seperti ingin dihibur, aku hanya bilang,
“ Makanya jangan pake ke sekolah... Kalo nanti berurusan sama BP yang repot ‘kan Matahari sendiri juga, kan? Lagipula... Matahari masih tetep keren koq tanpa tindikan itu... “ kataku tanpa sadar. Mendengar itu, Matahari nyengir lalu cemberut lagi. (Kayaknya hiburanku nggak manjur, ya?) Dan tiba – tiba saja Matahari melemparkan senyum yang belum pernah dia perlihatkan padaku selama ini dan berkata, “ Nanti gambarnya Matahari pajang, ya? “ katanya dengan wajah yang gembira. Tiba – tiba Choco datang,
“ Oi, Matahari... Kayaknya keasyikan lo berdua bakalan ada yang ganggu nih..., “ katanya memberitahu, lalu pergi menjauh dari tempat fotokopi. Sebenarnya Matahari berniat menyusul, tapi belum sempat Matahari pergi, Uerul tiba – tiba datang, lalu menyapa Matahari.
“ Eh, ada Matahari...  koq belum pulang? Oh.. gue tau, lo nunggu Cherry, ya? Chieee..., “ godanya pada Matahari. Kulihat Matahari hanya menatapnya dengan tatapan dingin, kemudian tersenyum kecil dan berkata,
“ Jangan sok tau. Gue di sini nunggu temen – temen gue. Lo sendiri ngapain? “ tanyanya sambil kembali berjalan ke arahku yang masih berdiri diam di tempatku.
“ Yee.. gue ‘kan mau nemenin Cherry di sini... iya ‘kan, Cher? “ tanyanya padaku yang lagi pesan minuman. Aku nyengir.
“ Kalo Cherry? Tadi Cherry ke sini ngapain? Apa mau beli kertas kado? “ tanya Matahari padaku. Aku yang saat itu lagi nggak connect, nggak ngerti apa maksud dari pertanyaan Matahari dan hanya menjawab dengan gelengan kepala. Saat  itulah, Uerul langsung tertawa, dan berkata,
“ Wah, Cher! Kayaknya ada yang kepengen dibeliin kado, nih! Dah beliin aja, Cher, “ suruhnya menunjuk ke arah kertas kado yang masih berantakan sambil tertawa puas. Kulihat Matahari hanya tersenyum simpul dengan wajah yang sedikit memerah. (Hee... Emangnya Matahari beneran mau dikasih kado?)
“ Matahari mau kado? Kalo gitu...”
“ Nggak! Kata siapa? Mau aja Cherry percaya sama dia...., “ katanya memotong perkataanku.
“ Oh ya, Matahari, masa’ tadi ada yang marah – marah sambil makan bakso, loh! katanya sih dia lagi BT sama seseorang gara – gara lupa sama janjinya, “ Uerul melirikku.
“ Cherry marah sama Matahari, ya? Kenapa? “ Matahari menatapku seolah dia nggak bersalah. Walaupun agak berat, aku mulai bercerita.
“ Tadi waktu jam istirahat, gue dateng ke kelas Matahari, sambil bawa tuh gambar. Tapi, kata temen Matahari, Matahari lagi ke kantin. Trus gue titip pesen sama temen Matahari itu. Gue bilang kalo gue nunggu di jembatan. Tapi, ternyata Matahari pulang sama temen Matahari, gimana gue nggak bete? “ jelasku pelan tanpa menatap wajahnya.
“ Matahari ke kantin beli permen..., “ jawabnya singkat, “ Matahari kira Cherry nggak jadi ke kelas. Soalnya Matahari juga udah nunggu. Terus tentang pesan itu, Matahari emang nggak nerima. Tapi.. akhirnya kita ketemu juga ‘kan di sini? Cherry masih marah sama Matahari? “ tanyanya dengan tatapan yang membuat jantungku kembali berdetak cepat.
“ Ehm!! Wah, mesra banget.. jadi iri nih..., “ kata Uerul yang lagi – lagi mengganggu suasana. Tiba – tiba suara deru motor mendekat. Terlihat ada tiga cewek dan 3 cowok termasuk Choco datang dengan motor. Melihat Choco, Uerul tiba – tiba jadi diam seperti kehabisan baterai. Mata mereka sesaat beradu pandang, kemudian saling buang muka.
“ Woi, Matahari! Ayo, pergi! Dah, pada ngumpul nih! Apa lo masih mau ngobrol, biar  ntar gue jemput? “  usul Choco pada Matahari. Sesaat Matahari menatapku, lalu mulai melangkah ke arah Choco di motor.
“ Nggak usah. Gue udah selesai koq, ayo, berangkat, “ ajaknya setelah dia naik ke motor. Tiba – tiba dia menoleh ke arahku, dan berkata dengan gerakan bibirnya yang tipis,
“ Matahari pergi dulu, ya? Sorry yang tadi.... Makasih gambarnya, ya? Gue bakal simpen.. Dadah..., “ katanya sambil melambaikan tangannya. Setelah Choco tersenyum ke arahku, motor pun mulai bergerak meninggalkan tempat foto kopi. Begitu juga aku yang mulai berjalan pulang setelah menghabiskan minumanku. Rasanya hari ini, aku jadi lebih dekat dengan Matahari lebih dari yang biasanya .
Keesokan harinya, meski Matahari bilang kalau dia nggak mau kado dari aku, tapi dari awal aku memang berniat untuk memberinya kado. Hanya saja, sekarang aku jadi bingung karena aku tak tahu apa yang disukai Matahari. Awalnya aku berniat memberinya sebuah kalung. Tapi Matahari itu fashionable (termasuk metroseksual juga....), jadi bukan mustahil kalau dia punya banyak koleksi aksesoris khas cowok. Seandainya aku memberinya sebuah kalung, bagaimana kalau dia sudah punya banyak. (Hmm... masa’ mau ngasih kado, mesti tanya dulu sama orangnya?... Tapi....)
RRRR..... RRRR..... Akhirnya kuputuskan juga untuk menelponnya meski terpaksa.  Sesaat kemudian terdengar suara Matahari seperti habis bangun tidur.
“ Hallo? Siapa nih..., “ katanya malas.
“ Ini Cherry... Ganggu, ya? “ tanyaku was – was.
“ Ngg.. nggak. Kenapa? “ tanyanya lalu diam.
“ Ini.. Mau nanya... Matahari suka kalung, ga? “ tanyaku langsung, tanpa basa – basi dulu seperti biasa karena sepertinya aku telah mengganggu waktunya.
“ Suka, kenapa? Ini juga lagi make..., “ katanya memberitahu.
“ Nggak.. Cherry kepengen ngasih Matahari kalung... “
“ Dalam rangka apa, nih? “ tanyanya.
“ Ngg.. Mungkin sebagai hadiah ulang tahun? “
“ Ha? Nggak usah kali..., “ tolaknya.
“ Kalau gitu, mungkin sebagai kenang – kenangan? “ tanyaku lagi.
“ Kenang – kenangan? Emangnya Cherry mau ke mana? “ tanyanya dengan nada sedikit kaget, “ Nggak usah repot – repot, kali... Gambar dari lo itu udah jadi kado buat gue. Jadi, nggak usah repot nyari kado. Ya? Cherry kasih aja ama yang lain..., “ katanya lagi dengan nada yang tiba – tiba berubah jadi dingin.
“ Apa? Maksudnya apa? “ tanyaku nggak ngerti, Matahari marah, ya? “ tanyaku memastikan.
“ Nggak. Tapi, lo lagi sama cowok, kan? Kasih aja ama dia..., “ katanya datar.
Ha? Nggak koq! Matahari koq jadi marah? “
“ Udah, ya? “ pintanya.
“ Ha? Ya udah... Dah... ” Aku pun menutup telpon dan berpikir sebentar (Matahari kenapa lagi sih???.....) 
Hari – hari kemudian terus berlalu tanpa ada kejadian penting yang terjadi. Seminggu... dua minggu... tanpa terasa sudah dua minggu seperempat aku tidak menelponnya. Kangen... sudah pasti, apalagi setelah aku jarang melihatnya di sekolah, karena jadwal pelajaran yang padat. Akhirnya hari minggu, kusempatkan diriku pergi ke wartel untuk menelponnya. Dering telpon pun berbunyi. Memang agak lama, tapi akhirnya telpon pun diangkat. Terdengar suara Matahari,
“ Hallo. “
“ Matahari, ya? Ini gue, Cherry. Ganggu, ga? “ tanyaku.
“ Nggak. Kenapa? “ tanyanya balik.
“ Mau ngobrol aja. ‘Kan udah lama nggak telpon. Kangen, ga? “ tanyaku bercanda. Sesaat terdengar dia tertawa, lalu berkata,
“ Nggak tuh... Gimana mau kangen kalau tiap malam di sms-in. Payah nih..., “ jawabnya dengan nada mengejek. Dan begitulah, telpon hari ini lagi - lagi membuatku sangat senang, karena Matahari banyak bercerita tentang dirinya. Hobbynya, grup band yang dia suka, lagu yang nggak dia suka, sampai perjalanannya menjadi seorang musisi (Drummer, Gitaris, Bassist, dan vokalis...!)  Dia juga sempat bilang kalau dia paling nggak suka sama orang yang pakai topeng buat nutupin pribadinya yang jelek. ‘Kalo udah jelek ya udah jelek aja!‘ begitu katanya. Mungkin dia ingin bilang ‘Just Be Your Self’. Selain itu, hari ini adalah hari pertama kalinya aku mendengarnya menyanyi buatku, bukan cuma satu lagu saja tapi 3 sekaligus. Suaranya pun terdengar seperti sudah terasah dengan baik. Akhirnya setelah puas ngobrol, kami pun mengakhiri percakapan hari itu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tanggal 16 Agustus pun datang. SMU K.U seperti biasa merayakan 17-an dengan mengadakan berbagai lomba seperti tahun lalu. Hanya saja sekarang tidak ada lomba merias wajah, tapi diganti dengan lomba band. Tentu saja ini dijadikan ajang unjuk kebolehan di depan cewek – cewek. Segala macam trik di pakai untuk menarik perhatian juri, tapi masih dengan cara sportif tentunya. Sayangnya, Matahari tidak ikut lomba ini, katanya anak cowok di kelasnya nggak kompak jadinya dia menggundurkan diri sebagai calon gitaris kelasnya.
Terik matahari yang lagi “lucu – lucunya” tidak dihiraukan oleh para penonton yang keringatnya sudah membasahi baju seragam. Tapi, meskipun aku termasuk penonton di situ, aku tidak begitu menikmati lomba band yang sudah seperti konser perdana anak SMU K.U itu. Karena hari ini adalah hari yang dijanjikan oleh Matahari untuk berfoto bersamaku, —seperti yang dikatakannya waktu aku telpon kemarin. Kepala udah celingak – celinguk ke sana kemari, aku masih belum menemukannya di kerumunan orang. Alhasil aku keluar dari kumpulan manusia itu dan mulai mencarinya di sekitar lapangan. Tapi yang kutemukan malah teman se-genkku yang lagi asyik ngegosip di pinggiran lobby. Karena tak ada tujuan yang pasti, aku memutuskan untuk berkumpul bersama mereka.
“ Oi, Cherry!! Sini! Ngumpul bareng kita!! “ ajak Choki yang lagi ngipas – ngipas gara – gara kepanasan.
“ Kenapa lo? Koq, kayak orang bingung gitu? “ tanya Ika setelah melihatku berjalan sambil celingak – celinguk mencari Matahari.
“ Gue tahu! Lo pasti nyari dia kan? “ tebak Uerul setelah aku duduk di sampingnya.
“ Sok tahu lo! Emangnya dia masuk? “ tanyaku memastikan.
“ Masuk. Tadi gue lihat dia di deket UKS bareng sama pacarnya, “ jawab Uerul yakin. Mendengar pembicaraan kami, anak – anak lain yang tidak tahu jadi bertanya, “ Lo berdua ngomongin siapa, sih? Cher, lo lagi cari siapa? Cerita donk! “ pinta mereka.
Belum sempat menjawab pertanyaan mereka, tiba – tiba Uerul menarik tanganku dan membawaku ke arah UKS, tanpa berkata apa – apa. Entah kenapa jantungku lagi – lagi berdetak cepat, meski tak kulihat Matahari ada di sekitarku.
“ Rul, lo ngapain bawa gue ke sini? “ protesku sambil melihat sekelilingku kalau – kalau ada Matahari.
“ Ssst! Diem aja! Gue tahu lo ada urusan sama Matahari. Makanya gue tarik lo ke sini, “ jelas Uerul. Kulihat di sekitar UKS banyak orang yang berkumpul seperti ada sesuatu di sana. (Ada apa, ya? Jangan – jangan Choco pingsan lagi....) Tapi, kekhawatiranku hilang ketika kulihat Choco ada di luar UKS dalam keadaan sehat. (Akh! Gila! Ada Matahari!!)   Langsung saja rasa gugup menyergapku, mana hari ini Matahari lagi keren – kerennya pula. Dia pakai sweater hijau, tas hijau, untung rambutnya nggak ikut hijau. Tapi, sayangnya, lagi – lagi dia mengacuhkanku begitu saja. Kesel sih iya, tapi....
“ Eh, Cherry? Koq? Dari tadi ada di sini? “  tanya Matahari tiba – tiba setelah aku memutuskan untuk melangkah meninggalkan UKS. Kaget, aku menoleh dan melihat ada Matahari di hadapanku.
“ Hah? Eh, oh... Ng-nggak koq! Baru nyampe...., “ jawabku asal. Kulihat Matahari terus menatapku, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“ Oia, jadi nggak fotonya? “ tanyaku akhirnya. Kulihat dia tersenyum, lalu diam.
“ Gue mau makan dulu di luar. Ntar balik lagi, tunggu aja, “ katanya singkat, lalu melangkah pergi dengan Choco. Setelah melihatnya keluar gerbang menuju tempat makan, aku memutuskan untuk berkumpul dengan Adit cs, daripada dengan genkku, karena aku tak melihat batang hidung mereka di tempat sebelumnya, begitu juga Uerul yang tadi bersamaku. Setelah melihat Adit cs di kumpulan manusia – manusia gila yang sedang moshing, aku memutuskan untuk menunda bergabung dengan mereka.
Beberapa saat kemudian, moshing mereda. Setelah melihat Adit, tanpa kedua temannya, aku berjalan menuju ke arahnya.
“ Adiitt!!!! “ teriakku memanggilnya. Kulihat dia mencari – cari sumber suara. Setelah melihatku melambaikan tangan, dia berjalan menuju ke arahku dengan susah payah keluar dari kumpulan orang.
“ Apaan? Koq lo sendirian aja? Mana anak – anak yang lain? Gila, panas banget! Ada minuman nggak? “ tanyanya beruntun menghujaniku. Karena kebetulan aku membawa sebotol minuman dingin, langsung saja kuberikan padanya. Dengan satu syarat, “ Jangan diabisin! “ perintahku.
“ Ngomong – ngomong lo mau ngapain di sini? Ikutan moshing? “ tanyanya meledek sambil mengembalikan botol kosong padaku. Kayaknya dia nggak dengar apa yang tadi kubilang supaya nggak menghabiskan minumanku.
“ Dasar! Lo mau gue ke injek, ya? Gue nungguin Matahari, nih! “ kataku menjelaskan.
“ Oh... trus mana Mataharinya? “ cetusnya polos.
“ Lagi makan. Tapi katanya sih mau balik lagi, “ terangku, “ Oia, lo liat anak – anak gue nggak? “  
“ Anak lo? Sejak kapan lo punya anak? Ama siapa?? “ katanya pura – pura nggak ngerti.
“ Serius... liat nggak? “ tanyaku sekali lagi.
“ Nggak. Udah ah, gue mo nonton, nich! Mau nonton nggak? Ada yang imut tuch! Mumpung udah lumayan nggak terlalu padat, koq! “ ajaknya. Memang sudah agak renggang daripada yang tadi. Sekarang tinggal orang – orang gila kelas tiga yang udah siap goyang dengan wig warna – warni di kepalanya.
“ Oke deh. Tapi, jagain gue ya! “ kataku wanti – wanti takut kena moshing.
Mungkin telah sejam berlalu, karena matahari sudah bersinar dengan semangat ’45 menyinari bumi. Itu artinya sudah sekitar jam ½ 12 atau jam 12 tepat. Tapi, Matahari belum terlihat batang hidungnya. Lagipula, lapangan sudah mulai terlihat sepi, karena panas yang menyengat. Tapi, meski begitu, entah kenapa anak – anak kelas tiga terutama yang cowok, masih bersemangat bergoyang yang diiringi dengan lagu dangdut. Begitupun aku, yang masih berdiri di lapangan dibawah lindungan tubuh Adit dari panas yang menyengat. Sesaat kulihat ada Baqõ di dekat meja para juri, sedang melambaikan tangannya ke arahku.
“ Apaan? “ tanyaku. Baqõ nggak jawab. Dia hanya menggerakkan matanya ke arah belakangku. Aku sama sekali nggak ngerti apa maksudnya. Belum sempat aku menoleh, tiba – tiba di sampingku udah ada Uerul yang dari tadi menghilang entah kemana.
“ Loh, Cherry? Koq, lo masih ada di sini? Belum pulang? Ngapain? “ tanyanya bergerombol.
“ Elo! Gue cariin dari tadi! Ke mana lo?! “ bentakku.
“ Gue kira lo dah pulang. Tadi gue makan dulu bareng ama anak – anak di kantin. Elo sendiri? “ tanyanya lagi.
“ Biasa... gue lagi nunggu yayank gue...,  “ jawabku asal.
“ Matahari? Emangnya dia kemana? “
“ Tadi sih, katanya mau makan dulu. Tau deh, udah pulang kali? “ jawabku tanpa melihat Uerul, karena pandanganku lagi ke arah Baqõ yang sibuk dengan matanya. ” Apaan sih? “ tanyaku semakin nggak ngerti bahasa Baqõ  yang ditambah lagi dengan gerakan bibir maju mundur. Tapi akhirnya aku mengerti setelah aku berhasil menoleh ke belakangku. (Matahari??!!!!)
“ Eh, Matahari... Udah dari tadi di sini? “ tanyaku sedikit gugup mengingat perkataanku tadi.
“ Lumayan, “ jawabnya sambil tersenyum, “ Udah siang, koq belum pulang? Nunggu siapa? “ tanyanya.
“ Nunggu Matahari. Eh! Nu-Nunggu... Ng.... ngeliat itu... main band....! Iya, band! “ jawabku berantakan. Mukaku saat itu pasti udah kayak kepiting rebus. Aku tak berani menatap wajahnya.  (Aduh... mukaku panas banget nih....)
“ Yo, Matahari! Tinggal dulu ya? Gue tunggu di tempat biasa, “ kata Choco memberitahu, kemudian pergi setelah mendapatkan senyuman Matahari sebagai jawaban. Tanpa sengaja, pandangan pun kami beradu. Saat itu, waktu terasa berhenti. Detik terasa jam. Sampai akhirnya, lagi – lagi....
“ Woy!! Bengong aja! “  Uerul tiba – tiba saja datang dan membuyarkan semuanya. Segera saja dengan kompaknya, kami berdua sama – sama buang muka.
“ Eh, lo juga masih ada, Rul.... Kirain gue, lo dah pulang...., “ kata Matahari sambil tersenyum meledek.
“ Maksudnya apa nih?! Ga seneng ya gue di sini?! “ balas Uerul nggak kalah jutek, “ Udah ah! Kalian jadi foto nggak, nih? Sini biar gue fotoin!! “ katanya menawarkan diri. (Koq, dia tau kalau kita berdua janjian mau foto bareng???....) Kualihkan pandanganku ke arah wajah Matahari. Kelihatan sekali kalau dia nggak setuju.
“ Ih, keren! “ kataku tanpa sadar setelah melihat ada gambar naga hitam di punggung tangan Matahari, “ Siapa yang gambar? “ tanyaku sambil menatap gambar itu dengan seksama tanpa menyentuhnya.
“ Gue yang gambar. Keren, kan! “ katanya bangga. Dengan senyuman mantap aku menganggukkan kepalaku.
“ Woy! Jadi nggak fotonya? Gue udah pegel nih! “ teriak Uerul. Ternyata dia sudah mengambil posisi yang berjarak ±3 meter dari kami berdua. Sambil setengah tertawa, aku mulai berjalan menjauh dari Matahari.
“ Loh, Cher? Lo ngapain? Fotonya berdua donk! “ (Apa? Berdua? Nggak salah?)
“ Ah, nggak usah...., “ kataku sambil melihat raut wajah Matahari yang seperti biasa, nggak ada reaksi.
“ Buruan! “ Sepertinya Uerul bener – bener nggak sabar ingin segera mengambil foto kami. Dengan terpaksa, aku mulai melangkah mendekat ke arah Matahari.
“ Yang mesra donk!! Kurang deket!! Matahari senyum donk!!! “ teriaknya bersemangat. Kulangkahkan kakiku mundur sampai tak kusadari kalau sudah menyentuh tubuhnya. Suasananya begitu membuat jantungku berdetak kencang di tambah lagi aku bisa mendengar detak jantung Matahari di telingaku.  
“ Nah! Say cheese!!!! “  Sepertinya satu foto telah selesai. Aku dan Matahari mulai berjalan menjauh, tapi tiba – tiba Uerul berteriak lagi, “ Eh, belum selesai!! Sekali lagi! “ katanya memberitahu. Kami pun berfoto bersama lagi, meskipun dengan jarak jauh. Foto terakhir adalah foto Matahari sendiri, dan tentu saja yang mengambilnya adalah aku sendiri.
“ Keren banget....! “ kataku tanpa sadar. Entah terdengar oleh Matahari atau tidak, tapi dari balik lensa kamera kulihat dia tersenyum. Foto yang dijanjikan pun telah terlaksana meskipun ada sedikit gangguan. Setelah itu, kami berdua memutuskan untuk pulang, karena terik matahari yang semakin menyengat. Begitu pun dengan Matahari yang pergi ke tempat di mana Choco sedang menunggunya.
Keesokan harinya, tanggal 17 agustus diadakan upacara bendera sesuai tradisi. Tapi upacara tidak berjalan dengan lancar karena anak muridnya tidak tertib mengikutinya, apalagi di saat ada pertunjukan marching band. Anak – anak cowoknya langsung maju ke lapangan dan merusak barisan upacara yang sepertinya telah susah payah disusun oleh para guru. Meski begitu para guru tidak ada yang mengomel seperti biasanya, mungkin karena hari kebebasan.
Setelah selesai upacara, gengku beserta Adit cs, memutuskan untuk nongkrong dulu di kantin sekalian makan. Di sana, Uerul memberitahukanku sesuatu.
“ Cher, lo tau nggak? “ katanya mulai berbicara.
“ Nggaaak...! “ potong kami serentak bersamaan.
“ Gini, waktu lo foto bareng sama dia kemaren. Lo sadar ga? “ tanyanya lagi tanpa menghiraukan gurauan kami semua.
“ Emangnya apaan? “ tanyaku menanggapi.
“ Jadi lo ga tau ya? Dia ‘kan meluk pinggang lo, “ jelasnya memberitahu. Mendengar itu, jelas aku tak percaya karena aku nggak merasakan apapun, kecuali jantung yang berdetak cepat.
“ Bo’ong banget! Sok tau lo. Gue nggak ngerasa apa – apa, koq! “ protesku.
“ Coba aja lo liat di foto. Udah dicuci belum? “ tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku. Klise foto itu masih terpasang di dalam kamera, kebetulan masih beberapa film kosong yang belum terpakai.
“ Filmnya udah abis belum? Kalo belum kita foto – foto dulu, yuk! “ ajak Adit tiba – tiba. Mendengar usulan itu, semuanya melihat ke arahnya dengan senyuman meledek.
“ Yee... dasar! Itu sih maunya lo aja. Iya kan? “ kata Panji meledek.
“ Iya, nih... mentang – mentang lagi pakai seragam lengkap PasKib jadi belagu, “ ledek Baqõ sambil memukulnya pelan.
“ Iya, Iya! ‘Kan jarang – jarang gue pakai seragam kayak gini, “ kata Ika ikutan. Memang hari ini, mereka berdua menjadi Petugas Pengibar Bendera yang tak pernah mereka ikuti sebelumnya. Berhubung peristiwa seperti ini jarang terjadi, aku menyetujuinya. Karena itu setelah pulang sekolah, mereka mau pergi ke rumahku untuk berfoto ria.
Matahari mulai memancarkan sinar orange-nya, jam 5 lewat seperempat. Anak – anak yang tadi datang berfoto telah pulang setelah puas menghabiskan isi film di kameraku. Kulihat pulsa di Hpku, masih cukup untuk menelpon Matahari. Maka,
“ Matahari? “ tanyaku setelah mendapatkan jawaban dari seberang telpon.
“ Ngapain nelpon? Ini Cherry ‘kan? “ katanya rada dingin.
“ Soal... yang konser di Kemayoran itu. Matahari main jam berapa? “ tanyaku rada takut dengar suara Matahari yang lagi dingin.
“ Sekitar jam 8-an. Kenapa? “ tanyanya dengan nada yang udah nggak terlalu dingin.
“ Nggak, cuma- “ Belum selesai aku bicara, tiba – tiba Matahari memotong,
“ Cherry nggak usah ikut, “ katanya, “ Matahari main sampai malam, ntar kalau Matahari naik stage, enggak ada yang jagain Cherry, lagipula Matahari ntar nginep di situ. Bisa bahaya kalau Cherry ikut nginep, ntar diapa - apain. Jadi nggak usah aja, “ lanjutnya. Mendengar perkataannya aku jadi terdiam. (Matahari perhatian banget....) wajahku kembali bersemu merah . Sampai kudengar Matahari memanggilku kembali dari dunia maya,
“ Woy! Koq jadi diem, sih? Ada lagi nggak yang mau diomongin? “ tanyanya kembali jutek.
“ Nggak, nggak ada lagi, koq. Cuma nanya soal itu aja, “ kataku takut.
“ Ya udah, dah....! “ Telpon pun ditutup. Sepertinya mood Matahari lagi jelek, nggak biasanya dia sekasar itu denganku, meskipun kadang – kadang rada dingin. Tapi hal itu nggak terlalu aku pikirkan, hingga keesokan harinya terjadi sesuatu yang membuatku bingung, plus sedih, plus pusing, plus semuanya.
Setelah pulang sekolah, seperti biasanya kalau ada pulsa plus waktu aku menyempatkan diri untuk menelpon sumber sinar dalam hari – hariku. Dan hari ini, karena ada sedikit urusan, aku menekan nomor telpon rumahnya. Dering telpon pun terdengar, lalu,
“ Halo..! “ suara sang kakak yang entah kenapa selalu jutek menggaungi telpon.
“ Halo, Mataharinya ada? “ tanyaku dengan jantung yang berdetak kencang tanpa kutahu sebabnya.
“ Mataharinya nggak ada. Ng... nggak tahu sampai jam berapa. Kalau nggak penting, tolong nggak usah telpon. Makasih. “ KLIK! Dan telpon pun ditutup. Aku yang masih terbengong – bengong, menatap Hp-ku sendiri. Kejadian itu terasa begitu cepat, dan masih terasa ngambang di pikiranku. Sedetik kemudian, aku tersadar. Mukaku panas, jantungku berdetak cepat, dan alhasil keringat pun mengucur. Perkataan datar nan dingin itu masih menggema di kepalaku. Lagi – lagi hal seperti ini terjadi lagi, dan waktu itu Matahari berhasil membuatku lebih baik setelah mendengar perkataannya. Tapi, rasanya perkataan sang kakak baru saja melekat tepat dalam hatiku.  Dalem banget kata – katanya.... (Apa yang terjadi? Kenapa kakaknya jadi tambah lebih dingin dari pada biasanya?? Apa matahari yang memintanya????........ Duh, koq jadi kayak gini??) Setelah berhasil menenangkan pikiran, perasaan dan hatiku, aku memutuskan untuk bicara dengan Matahari di sekolah. Entah apa yang membuatku mempunyai keberanian seperti itu, tapi itulah yang akan kulakukan.
Pagi datang dengan cuaca yang kurang mendukung. Agak mendung dan dingin. Setelah menaruh tas di kelas, aku melangkahkan kakiku menuju kelas 2IPS4. Entah sudah berapa kali aku menelan ludah untuk menenangkan perasaanku. Pikiranku pun kosong, yang kudengar hanyalah jantungku yang berdetak cepat. Lalu,
“ Matahari... bisa keluar sebentar, nggak? “ pintaku setelah menemukannya di kelas lagi mengerjakan tugas. Wajahnya terlihat terkejut, tapi tetap dingin.
“ Kenapa? Koq, pagi – pagi nyamper ke kelas? “ tanyanya datar. Tak ada ekspresi di wajahnya yang terlihat segar.
“ Matahari, nanti pulang lo bisa nunggu gue setengah jam, nggak? Terserah di mana aja. Ada yang pengen gue omongin, “ kataku sambil menatap jelas matanya. Tiba – tiba, senyum mengembang di wajahnya dan berhasil membuat wajahku bersemu merah.
“ Mau ngomong apa? Kenapa nggak sekarang? Ntar pulang nggak bisa, soalnya ntar gue nggak ada temen pulang, “ jawabnya tenang. Mendengar itu, meskipun agak kecewa, aku memakluminya karena rumahnya lumayan jauh dari sekolah. “ Gimana kalau istirahat? Ntar datang aja ke kelas, “ tawarnya kemudian. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya lalu kembali menuju kelasku karena bell sudah memanggil. Saat kembali ke kelas, Uerul menatapku, menghampiri lalu berkata,
“ Dari mana lo? Tadi gue lihat lo datang dari koridor anak kelas 2. Jangan bilang kalau lo ketemu sama Matahari, “ katanya agak aneh. Tanpa menatapnya, aku terus berjalan tanpa menanggapi pertanyaannya. Lagipula, aku tak mau melibatkannya dalam urusan yang satu ini. Cukup aku saja yang menyelesaikannya. Aku melangkah menuju Bella, temanku yang tomboy, dan kayaknya nggak mau tahu urusan orang, alias cuek and rada sableng.
“ Ntar istirahat temenin gue ke kelas 2IPS4, ya? Ada urusan sama satu manusia, “  kataku pelan dan datar. Dengan cepat dia menoleh, lalu menatapku dengan tatapan seribu makna, dan senyuman yang mencurigakan, sambil berkata,
“ Ciee... Ceritanya mau ketemu soul mate, nih? Iya ntar gue temenin, tapi abis itu gue tinggal, ya? Gue nggak mau ganggu, “ katanya sambil setengah tertawa. Dan itulah yang terjadi, 4 jam pelajaran terasa sangat singkat, sehingga tanpa kusadari, bell istirahat pun berbunyi. Sesuai rencana, aku dan Bella berjalan menuju kelas Matahari. Koridor, seperti biasa sangat ramai. Perlu usaha keras agar terbebas dari kumpulan penghuni koridor kelas 2, yang memenuhi jalan. Dan akhirnya,
“ Woy, Matahari!! Ada yang nyariin, tuh! “ panggil temannya yang kebetulan ada di depan pintu dan melihatku lagi terhimpit oleh badan – badan yang tak berbau sedap anak kelas 2. Dengan cepat dan tanpa pamit, Bella langsung pergi meninggalkanku di depan kelas Matahari. Nggak beberapa lama kemudian, Matahari muncul. Jantungku berdetak cepat melihatnya berjalan ke arahku dengan tatapannya yang tajam.
“ Kirain nggak jadi dateng, “ katanya basa – basi.
“ Lagi ngapain? “ balasku.
“ Lagi nyuruh temen – temen ngerapiin rambut gue pakai gel rambut, keren ‘kan? “ katanya bangga sambil memperlihatkan rambutnya yang mengkilap hitam, “ Oia, mau ngomong apaan? “ tanyanya.
“ Kemaren sore, Matahari ada di rumah? “
“ Ada. Kenapa? Gue lagi tidur, “
“ Kemaren gue telpon, trus kakak lo bilang kalau lo lagi nggak ada, “ kataku mulai menjelaskan.
“ Oh, lo telpon, ya? Gue nggak tau. Nggak ada yang bilang, “
“ Waktu itu, kakak lo bilang kalau gue nggak usah telpon lo lagi. Kenapa...? Kayaknya kakak lo selalu jutek kalau gue telpon lo....., “ jelasku memberitahunya. Entah apa yang membuatku berani berkata seperti itu padanya. Lalu, kudengar dia menjawabnya.
“ Cherry digituin lagi, ya? Jangan diambil hati... mungkin itu pembalasan dendam dia sama gue. Soalnya gue suka ngerjain cowok – cowok yang nelponin dia. Mungkin karena itu, dia balas dendam. Sorry ya...., “ katanya datar tanpa senyum yang terukir di wajahnya siang itu. Sejenak aku menyadari, di sekitarku ada yang berbisik – bisik sambil menatap sinis padaku. “ Lihat, tuh...! Pacarnya yang baru...., “ kata salah satu dari mereka yang sempat kudengar. Aku merinding. (Dasar anak kelas 2...!Wuu…!) Tiba – tiba bell masuk berbunyi dan menghalau pikiran kesalku.
“ Cher..., “ panggil Matahari pelan.
“ Hah...? “
“ Entar pulang jam berapa? “ tanyanya tiba – tiba.
“ Eh? Pulang jam setengah 3-an...., “ jawabku heran, “ Kenapa? “ lanjutku.
“ Ah, enggak... Ya udah, ke kelas sana, udah bel...., “ katanya menyuruhku, “ Hati – hati, ya..., “ lanjutnya lagi sebelum aku melangkah pergi. Sambil tersenyum, aku menganggukkan kepalaku, dan melambaikan tangan. Sesampainya di kelas, Bella langsung menanyaiku macam – macam. Tapi, aku tak ingin membicarakannya karena rasanya masih ada yang menjanggal di pikiranku, entah apa.
Seminggu setelahnya, aku sama sekali tidak melihatnya di lingkungan sekolah. Dan hari ini, kebetulan aku melihatnya dari jembatan ketika kelasnya ada pelajaran olah raga di lapangan. Tanpa kusadari, mata kami beradu. Dalam waktu hitungan sepersekian detik, dia langsung membuang muka. Hal itu cukup membuatku terkejut, karena biasanya kalau bertemu, kami akan sama – sama tersenyum. (Kenapa? Perasaan koq nggak enak.....)  Karena kejadian itu, aku jadi tidak konsentrasi belajar, pikiranku melayang dan penuh pertanyaan alasan mengenai sebab dinginnya Matahari dan sikap anehnya. ( Matahari kenapa? Emangnya aku ada salah sama dia, ya? Tapi... apa..??)
“ Dia cemburu kali sama lo, gara – gara lo deket sama cowok lain..., “ kata Ika berpendapat, setelah aku bercerita padanya.
“ Masa’...? Bisa juga cuma perasaan lo aja, Cher..., “ kata Bella.
“ Bisa aja.... Tapi..., “ kataku masih sanksi.
“ Coba lo pikir – pikir lagi semua kejadian yang udah lewat, yang kira – kira bisa bikin Matahari marah sama lo... Apa aja..! “ kata Ika menyarankan. Aku menurut. Setelah pulang sekolah, ganti baju, dan makan, aku langsung masuk kamar dan bergelut dengan pikiranku sendiri. (Apa ya... yang kira – kira bisa bikin Matahari marah...?? Hmm... Kayaknya dia mulai dingin semenjak foto bareng, terus waktu telpon dia tentang festival, dia rada dingin.... tapi, aku tetap sms dia tiap malem, Yah, walaupun cuma sekedar say good night...... Terus, ke rumah dia, aku naik motor sama Adit, tapi gara – gara lupa alamatnya, jadi cuma keliling perumahan. Itu juga aku kasih tau sama dia.... klimaksnya waktu telpon dia tanya tentang festival Jepang, aku didinginin banget....! Dingin puol…! Hmm.... Apa itu ya....?? Waduh, jadi pusing sendiri......) Setelah berpusing – pusing ria selama satu jam kurang, aku lebih memilih untuk menjalaninya saja. What will be will be.... gitu aja.
Setelah seminggu lewat, aku sama sekali tidak membicarakan hal itu, sama sekali! Hingga akhirnya, salah satu teman lamaku bernama Maria, bilang, “ Cherry, lebih baik lo telpon dia sekarang atau nggak sama sekali supaya masalah itu selesai... “ sambil memegang pundakku. Rasanya ingin sekali, bahkan sudah dari hari – hari yang lalu, aku ingin menelponnya. Tapi, entah kenapa selalu saja ada suara – suara di dalam pikiranku yang menyuruhku agar tidak menelponnya dalam waktu dekat ini. Tapi, akhirnya aku menolak menuruti suara itu, dan lebih menyetujui saran Maria. Kulangkahkan kakiku menuju wartel terdekat, kutekan nomor telponnya, dan nada dering pun terdengar. Kurasakan jantungku berdetak dengan sangat cepat. (Perasaanku nggak enak...) Tak lama, ada yang mengangkat. Ternyata Ibunya. Matahari pun dipanggilnya. Jantungku berdetak semakin cepat.
“ Ya, kenapa? “ tanya Matahari singkat menjawab telpon.
“ Matahari? Ng... Boleh tanya nggak...? “  tanyaku sambil menelan ludah.
“ Nanya apa? “ balasnya singkat.
“ Matahari lagi marah, ya? “
“ Nggak. Sama siapa? “ tanyanya dingin.
“ A, ama.... Che-Cherry...? “ tanyaku takut.
“ Nggak, “ jawabnya singkat.
“ B, bener? “
“ Iya! Emang kenapa? “ tanyanya datar.
“ Koq, dingin, sich? “ tanyaku memberanikan diri.
“ Hah? “
“ Koq, Matahari jadi dingin...? “ tanyaku sekali lagi.
“ Emang dari dulu kayak gini, kali! “ katanya dengan nada yang agak membentak. Mendengar itu, jantungku kembali berdetak cepat, bahkan lebih cepat, karena itu, aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan. Begitupun dengan Matahari, yang dengan cepatnya langsung menutup telpon. Setelah membayar wartel, aku kembali bergelut dengan pikiranku. (Matahari nggak marah, tapi kenapa sikapnya tuh dingin banget....? Dia bilang kalau dia udah dari dulu kayak gitu, padahal selama ini sikapnya tuh baik – baik aja.... Pasti ada yang bikin dia jadi dingin gitu. Hmm... ) Keesokan harinya, tiba – tiba Matahari ada di koridor kelas tiga di samping tembok kelasku. Spontan, aku langsung melemparkan senyum. Tapi, entah kenapa dia langsung buang muka, lalu pergi dengan anak cowok kelas 3IPA1 (Apa - apaan tuh?)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   

Entah sudah berapa hari, atau mungkin berapa minggu, aku tak lagi berbicara dengan Matahari. Meski sering kulihat dia di sekolah, tapi aku sama sekali tak ingin membicarakannya. Ucapan dan sikapnya yang dingin berhasil membuatku agak menjauh darinya. Aku tak ingin sikapnya lebih dingin lebih daripada itu, lagipula wajahnya terlihat begitu dingin sepanjang hari.... Tiba- tiba, nada dering sms berbunyi, private number. Cherry, coba lo telpon Matahari deh, tadi gue nelpon dia, and ada sesuatu. Coba deh!! Aku langsung mengernyitkan dahi. (Siapa nih? Sesuatu?? Telpon nggak, ya?? Perasaanku sih lagi nggak pa-pa.... Tapi, rada takut juga sih.... Tapi, penasaran..... )
“ Halo...? “ suara ngebass di seberang menjawab. Suara seperti itu, sudah pasti dia.
“ Halo, bisa bicara dengan Matahari? “ kataku memastikan. Tiba – tiba terdengar dia tertawa,
“ Udah lupa sama suara Matahari, ya? Koq, ngomongnya gitu?... Hahaha..., “ jawabnya sambil tertawa renyah. Walaupun masih deg-degan, aku bersyukur karena dia udah nggak dingin lagi kayak waktu itu. Kemudian terdengar dia berbicara lagi,
“ Tumben nih nelpon... Ini Cherry, kan? Kenapa..? Udah kangen, ya? “ katanya lagi.
“ Matahari lagi seneng, ya? Kayaknya ceria banget...., “ tanyaku agak heran.
“ Ah, nggak. Biasa aja, koq..., “ jawabnya, “ Oia, Matahari ganti nomor. Soalnya akhir – akhir ini banyak yang iseng neror, gitu..., ‘” lanjutnya memberitahu.
“ Ooh... tapi, Matahari nggak mikir kalau yang neror itu gue, kan...? “ tanyaku bercanda.
“ Hah? Ya, nggak lah..! Emangnya itu Cherry, ya? “ balasnya.
“ Yee... kurang kerjaan banget sampai neror orang keren kayak lo..., “ kataku bercanda sambil setengah tertawa. Entah apa yang merasukiku hingga tanpa kusadari, aku berkata padanya,
“ Matahari... besok ‘kan hari senin, jadi ada nomat... Kita nonton yuk...! “ ajakku tanpa sadar.
“ Hah? Besok? Ngg.... boleh juga.... jam berapa? “ tanyanya.
“ Ng... gimana kalau jam 5? Soalnya besok anak kelas 3 pulang jam 4.... “
“ Hah, jam 5?.... “ katanya agak kaget, “ Ng... ya udah..., “ lanjutnya lagi. Meski kuajak tanpa kusadari sendiri, aku merasa senang karena besok aku bisa nonton berdua dengannya. Dan lagi ketika, aku meminta nomornya, dia bilang akan memberinya di dalam bioskop saja. Tapi, ada yang menganjal di pikiranku. Ketika tadi aku bilang nontonnya jam 5, sepertinya dia terdengar terkejut, lalu menyetujui ajakanku dengan nada ragu. Yah, setidaknya dia sudah nggak dingin lagi. Mungkin kemarin waktu dia dingin, dia lagi banyak masalah yang rumit. .
Hari senin pun datang, kudengar  kalau Adit cs akan nonton juga hari ini, begitu pun dengan Ika, lalu Bella, serta anak – anak yang lain. (Wah, hampir setengah kelas ikut nonton....! Bisa – bisa booking satu baris, nih!)  Matahari siang bersinar dengan teriknya. Udaranya panas membuat keringat bercucuran, ditambah lagi pelajaran yang memeras otak. Wah, bikin malas mikir deh..! Jam di dinding menunjukkan pukul 13.15, sebentar lagi akan terdengar bel pulang untuk anak kelas 1 dan 2, dan bel istirahat untuk anak kelas 3. Tapi, tiba – tiba wakil kepala sekolah datang dan berkata kalau anak kelas 3 tidak akan istirahat karena waktu pulang akan dipercepat. (Wah, tumben banget, nih! Yes!!) Meski dibilang kalau tidak ada istirahat, yang namanya lapar apa boleh di kata. Akhirnya dengan seribu alasan, kami sekelas berusaha untuk ke kantin untuk mendapatkan makanan.
Jam di dinding menunjukkan pukul 13.40. Dengan serempak, kami datang berbarengan kembali ke kelas dengan kantong yang penuh dengan makanan untuk dimakan di kelas. Tiba – tiba Alin, teman sekelasku, datang menghampiriku yang lagi menikmati gorengan di tangan. Setengah berbisik, dia berkata, “ Eh, Cher, tadi gue ketemu sama Matahari di Perpustakaan lagi minta obat. Kayaknya dia lagi sakit, deh... hidungnya merah, trus dia pakai jaket tebal lagi..., “ jelasnya, lalu dia kembali duduk di tempat duduknya dan mulai menikmati makanan yang dia beli. Sambil menghabiskan makanan di tanganku, aku berpikir sesaat. (Matahari sakit...? Koq, tiba – tiba banget... kayaknya dia kemaren masih ceria aja tuh... ah, ke Perpus aja deh, siapa tau dia masih ada...) Setelah minum, aku mengajak Ika untuk menemaniku. Dengan alasan ke toilet, aku berhasil keluar dari kelas dan mulai turun ke lantai bawah, ke perpustakaan.
Pintu berat itu kubuka. Kosong. tak ada seorang pun di Perpus kecuali penjaga Perpus itu sendiri.
“ Kenapa, Ceria? Pelajaran apa kalian? “ tanyanya setelah melihat kami berdua berkeliaran di waktu pelajaran. Aku tak menjawab, kualihkan pandanganku ke seluruh keliling perpustakaan. Tak ada tanda – tanda ada orang.
“ Bu, tadi Matahari ke sini, nggak? “ tanyaku akhirnya.
“ Matahari? Iya, emangnya kenapa? “ tanyanya kembali.
“ Dia ngapain di sini? Dia sendiri? “ tanyaku beruntun tanpa sadar, karena takut kejadian tahun lalu terulang kembali. Matahari pingsan karena panas tubuhnya yang tinggi. Kayaknya dia maksain masuk sekolah dengan tubuh yang panas karena demam. Alhasil, seharian dia hanya terbaring di UKS dengan jaket tebal —entah berapa lapis menyelimuti tubuhnya.
“ Tenang dulu, dong...! Dia nggak apa – apa,  cuma minta obat flu. Kayaknya sih, dia lagi flu, “ katanya memberitahuku. (Hoo.... lagi flu, ya....) pikirku sambil menghela napas lega. Tiba – tiba senyum mencurigakan mengembang di wajah Ibu penjaga Perpus.
“ Kamu takut banget, ya? Kamu suka sama matahari..?? “ katanya menggoda. Mukaku langsung merah. Dengan gelagapan, aku menjawab,
“ Ha, Hah? En, nggak koq!... A, aku cuma... Ng... k-khawatir aja...., “ kataku bersusah payah untuk tenang.
“ He... he...he... harusnya kamu lihat dia tadi... lucu, deh! Hidungnya merah banget, trus mukanya itu.... Wah, bikin gemes! “ katanya heboh, “ Yah, kamu ‘kan udah tahu Matahari nggak apa – apa. Nah, sekarang balik sana ke kelas. Ntar Ibu bilangin loh kalian berdua kabur...! “ ancamnya. Setelah bilang terima kasih, kami berdua pun permisi pergi. Setelah mendengar berita itu, aku menyimpulkan bahwa acara nonton nanti sore akan batal, tapi karena Matahari lagi sakit, aku bisa memakluminya. Mungkin nanti sore aku akan nonton dengan anak – anak yang lain.
Pukul 16.45, aku dan Ika telah bersiap untuk pergi ke bioskop. Tak lupa, aku menghubungi Matahari untuk memastikan dia ikut atau tidak. Tapi, aku terkejut setelah Ibunya memberitahu kalau Matahari belum pulang sekolah. (Apa dia tetap datang ke bioskop? Atau malah pergi main? Yah, sampai di sana nanti aku juga akan tau...)
“ Woy, Ika!! Buruan jalannya! “ suruhku pada Ika yang jalannya terlalu santai.
“ Ah,... kaki gue capek..., “ keluhnya setelah kusuruh lari. Apa boleh buat, film mulai tepat pukul 17.00, sedangkan pukul 16.56 kami masih dalam perjalanan di mobil. Kayaknya kami akan telat beberapa menit. Akhirnya, setelah lewat dari jamnya, —sekitar 5 menit, kami berdua sampai di mol. Di depan bioskop lantai 4, kami lihat ada Bella.
“ Ah! Gara – gara kalian berdua, kita nggak dapet tiket, tau! Ngapain aja sih, lama banget!! “ katanya marah – marah. Sama kesalnya, aku menunjuk Ika.
“ Ini, nih! Emang dasar siput! Lama banget jalannya! “ kataku memarahi Ika juga, “Mana yang lain? Udah masuk semua? “ tanyaku setelah menyadari kalau yang di luar cuma ada Bella.
“ Masih nanya?!  Ya iyalah! Kita tunggu aja Tony sama Yosa. Mereka lagi beli makanan, “ katanya memberitahu. Akhirnya, kami bertiga menunggu kedatangan dua anak sableng itu untuk mengetahui rencana selanjutnya. Beberapa saat kemudian, Tony dan Yosa datang membawa sekantong makanan kecil.
“ Eh, ada Cherry juga, ya? Koq, mukanya masam banget, sih? “ kata Tony menghampiri.
“ Kalian mau nonton juga, ya? “ tanya Yosa. Kami mengangguk. “ Tapi, tinggal yang jam 8 malem. Mau? “ tawarnya. Tiba – tiba, Bella berkata setengah berteriak,
“ Cherry!! Matahari, tuh! “ Kaget, aku langsung menoleh.  Entah bagaimana mengekspresikan suasana hatiku saat melihatnya. Matahari nggak sendiri, di sampingnya ada sesosok cewek manis berambut hitam panjang dan lurus. Matahari sendiri memakai jaket yang terlihat tebal dengan selembar tissue di tangannya.
“ Matahari!! “ panggilku tanpa sadar. Matahari dan cewek di sampingnya menoleh ke arahku. Begitu juga dengan Bella, Ika, Tony, dan Yosa. Matahari tersenyum melihatku.
“ Entar nggak jadi? “ tanyaku sambil menahan rasa sakit di hati. Dia tersenyum lagi, lalu menggerakkan bibirnya. Kubaca setiap gerakan itu, “ Entar gue dateng lagi. Gue mau nganterin dia dulu, ya? “ katanya sambil menunjuk cewek itu yang mulai melangkah pergi meninggalkan Matahari sendiri. Aku mengangguk. Matahari tersenyum lagi, lalu mulai berlari menyusul cewek itu. (Kenapa aku harus ketemu sama dia waktu dia lagi jalan sama cewek??) Nyesek banget. Tanpa kusadari, air mataku jatuh membasahi pipiku. Melihat itu, Bella langsung menyodorkan saputangannya. Lalu kudengar, Tony berkata sesuatu,
“ Bukannya itu cewek ude punya cowok?? Kalau kagak salah namanya Frida, deh! “ katanya memberitahu.
“ Wah, kalau begitu, mungkin kayak gini ceritanya: Tuh cewek punya masalah sama cowoknya, trus dia minta Matahari temenin dia buat menghibur dia...,“ kata Ika berpendapat.
“ Kalau gitu, Matahari cowok panggilan, donk! Gyahahaha...!!! “ Yosa tertawa puas. Mendengar mereka semua berkata seperti itu, entah kenapa aku jadi ingin ikut tertawa. (Jadi, ini maksudnya kenapa Matahari terdengar ragu saat aku mengajaknya nonton jam 5.... Tapi, kenapa dia nggak langsung bilang kalau dia udah punya rencana yang lain...?? Cowok panggilan, ya? He... he... he... jahat juga nih anak – anak...)
“ Udah, Cher... ‘Kan ada Aa Tony... Ntar kalau Cherry mau nangis, peluk Aa aja...! “ katanya menawarkan diri sambil memeluk bahuku. Akhirnya aku berhasil tertawa, setelah Yosa menarik tangan Tony, lalu memeluknya dengan erat sambil bilang, “ Enak aja lo meluk Cherry.... Mendingan elo meluk gue!! “ Melihat aku tertawa, Bella menanyakanku sekali lagi tentang acara nonton jam 8 malam. Dengan cepat, aku langsung mengangguk. Buat apa lama – lama bersedih untuk orang kayak gitu, ya ‘kan? Setelah menelpon orang rumah untuk minta izin pulang malam, aku di ajak makan malam dulu sebelum nonton sama Bella.
“ Lo masih ngarepin dia dateng, Cher? “ tanya Ika, menyadari kalau pandanganku selalu ke arah pintu luar mol.
“ Hah? Ah... Ng... Iya... sedikit..., “ jawabku pelan.
“ Nggak apa – apa, koq! Udah diabisin dulu tuh makanannya, ntar ada yang ngambil, loh! “ kata Ika sambil menatap Bella dengan senyuman mengejek.
“ Boleh, kan? “ balas Bella sambil mengambil beberapa potongan ayam dari piringku. (Hhh....... Apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi.... mungkin ada sisi baiknya aku ngeliat dia berdua dengan Frida. Lagipula, aku tahu gimana sifat Matahari.... dia nggak mungkin datang lagi ke sini, cuma buat nonton denganku .Nikmati aja makanan di depanku ini. Rasanya nggak buruk – buruk amat koq... Oke! Selamat makan!!) Pukul 19.30, Yosa menelpon agar kami langsung naik ke atas untuk mengambil tiket yang sudah di beli olehnya. Di lantai 3, kami bertemu dengan Adit cs dan anak – anak yang lain. Mereka baru selesai menonton film yang baru akan kami tonton nanti.
“ Adit, tadi gue ketemu Matahari sama cewek, “ kataku memberitahu Adit. Kulihat Adit tersenyum, lalu memegang kepalaku, dan mengacak – acak rambutku.
“ Sakit, ya? Kasihan banget, sih! Udah, ntar juga lupa...., “ hiburnya.
“ Besok kalau ketemu, ntar gue silet mukanya biar nggak ganteng lagi! “ kata Panji bercanda. Setelah Adit memberikan uang titipanku, kami pisah dengan mereka, dan langsung ke tempat Yosa, mengambil tiket lalu nonton. Ternyata film yang kutonton bernuansa horror, tapi karena pikiranku lagi melayang – layang, aku jadi nggak begitu takut. Lagipula di sampingku ada Yosa. Jadi, kalau aku takut, aku bisa berlindung di balik badannya yang segede gaban itu.  Sejak saat kejadian di bioskop itu, aku jadi benar – benar menjauh dari Matahari, nggak nelpon dan juga nggak peduli sama dia. Buat apa ikut campur sama rumah tangga orang lain yang cuma bikin sakit hati? Lebih baik cari gebetan yang lain......

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   

“ Cheryy.... Cherryy.... Main, yuk! “ panggil Adit kayak anak kecil minta main. Geli sendiri, aku tertawa.
“ Boleh! Mau main apa? “ tantangku sambil menutup buku yang kubaca.
“ Main jadi informan aja! Gue jadi informannya, lo jadi bosnya. Nah, sekarang suasananya di kantor, trus gue mau ngelaporin sesuatu. Gimana? “ katanya sambil bergaya kayak informan penting. Sambil menahan ketawa, aku mengikuti permainannya.
“ Aku berhasil mendapatkan sebuah berita penting dari sasaran kita, “ katanya memulai permainan, lalu duduk di depanku.
“ Apa? “ kataku sambil memasang wajah serius, meski aku pengen banget ketawa.
“ Jangan senyum, donk! Masa’ penjahat lucu..? “ pintanya, “ Gini,... Eh, salah! Begini.... Sasaran kita yang bernama Matahari hari ini terlihat mengusir pasangannya di depan umum, setelah beberapa hari belakangan ini terlihat mesra di kantin, bahkan tidak menyadari kalau aku melempar kaki permen lollipop yang lengket ke tasnya. Khehehe..., “ katanya sambil memasang wajah nakal. Aku terdiam. Sudah lama aku tak mendengar kabar dari Matahari.  Memang kuakui kalau aku rindu mendengar suaranya yang dingin itu. Tapi, aku sudah memutuskan untuk menjauh dari Matahari, nggak peduli dengan apa yang terjadi padanya.
“ Kenapa? Nggak seru, ya? Yah, payah! “ keluh Adit setelah melihat aku hanya bengong mendengar berita itu.
“ Eh, sorry...! Bukannya gue nyuekin lo, tapi gue tadi lagi mikir. Koq, lo tega ngelempar dia pakai lollipop? Ntar kalau lengket di rambutnya gimana? 'Kan kasihan..., “ kataku tanpa sadar kayak membela Matahari.
“ Helloww....! Tadi lo ke mana aja? Tadi ‘kan gue bilang kalau gue ngempar dia pakai ba-ta-ng lollipop bekas gue makan, trus gue lempar ke dia and nempel di tasnya. Gitu loh, ‘mbak! “ katanya sewot. Tak lama kemudian, Ika datang dan memarahi Adit karena meninggalkannya sendirian di kantin. Menonton pertengkaran mereka, aku senyam – senyum sendiri. Aku sama sekali nggak mau mikirin urusan Matahari yang akan membuat perasaanku kembali sakit.
Pulang sekolah, aku langsung melihat Hpku. Melihat apa ada yang menelpon atau sms. Rupanya ada 1 sms yang diterima. Kubuka, dari Uerul, Cherry, sorry klo gue ganggu. Tadi pagi gue ketemu Matahari di ruang guru. Dia nanyain lo, trus dia ngirim salam kangen buat lo. Cuma itu aja yang pengen gue kasih tau. Dah..! (Matahari? Kenapa....?)

“ Kayaknya lo lagi bete banget, sih? Ada apaan? “ kata Daniel, ketua perkumpulan anak muda di lingkungan rumahku. Hari ini kebetulan ada acara ngumpul – ngumpul di rumahku. Dan saat itu, pikiranku lagi melayang entah ke mana, padahal acara saat itu lagi seneng – senengnya.
“ Hah? Nggak apa – apa, koq! “ kataku mencoba untuk tersenyum.
“ Gue nggak minta lo senyum, tapi gue mau lo cerita ma kita – kita kalo lo lagi ada masalah. Emangnya kita di sini buat apaan? Ngeliat muka lo yang berat banget itu? “ katanya marah.
“ Bener! Nggak apa – apa, koq! “ kataku tetap kekeh nggak mau cerita.
“ Ngeliat muka lo itu.... Pasti tentang cowok, ya? “ tebak si gendut, Okta.
“ Tunggu! Jangan cerita dulu. Biar gue terawang dulu pikiran Cherry sekarang.... Hmm..., “ kata Arjuna, si cowok yang berlagak cool, sambil bergaya ala peramal, “ Pasti cowok itu selingkuh ama cewek lain, ya? “ tebaknya. (Wow, tepat juga nih tebakannya....!)
“ Koq?... “ kataku terkejut.
“ Aha! Bener, kan! Tebakan gue bener lagi...! Kayaknya gue emang berbakat jadi peramal nih! “ katanya bangga. (Wah... aku dikerjain....)
“ Oh... cowok, ya? Dia cowok lo? “ tanya Daniel.
“ Bukan, cuma gebetan aja...., “ jawabku malas.
“ Siapa, Cher? Matahari, ya? Lo ngeliat dia jalan sama cewek? “ tanya Maria yang tahu hubunganku dengan Matahari. Aku mengangguk pelan.
“ Kalo cuma gebetan-“ Belum sempat Okta melanjutkan omongannya, tiba – tiba Daniel memotong, “ Eh, walaupun cuma gebetan, tapi kalau ngeliat dia bareng sama orang lain, ‘kan sakit juga! Iya, kan? “ katanya yang langsung dijawab oleh sebagian orang di situ dengan acungan jempol, kemudian lanjutnya, “ Tenang aja, Cher! Selama janur kuning belum merunduk, lo masih ada kesempatan buat deket sama dia. Sebelumnya lo suka nelpon dia? “  Aku mengangguk. “ Kalau gitu, lo jangan langsung vakum buat telpon dia. Jarangin aja. Kayak 2 bulan sekali, atau terserah lo. Entar juga lama – lama dia sadar kalau lo selalu ada di samping dia... Percaya deh! “ katanya yakin. (Bener? Masa, sih?....)
“ Iya, Cher! Semangat, yach!! “ kata semuanya memberikanku semangat. (Wah, jadi terharu nih...) Aku tersenyum, “ Makasih ya, guys...! You are the best! Gue jadi semangat lagi nih! Nggak sia – sia gue punya temen kayak lo semua, “  kataku sedikit meledek. Setelah acara ngumpul – ngumpul selesai, aku memutuskan untuk menulis surat untuk Matahari. Isinya tentang perasaan kecewaku karena Matahari tidak cerita kalau dia udah punya cewek, lalu tentang tawaran yang di kasih oleh Daniel tentang acara manggung di café/ club Jakarta. Beberapa menit kemudian, surat itu selesai kutulis. Kupandangi selembar surat itu. (Masalahnya... kapan aku kasih surat ini kalau dia jalan berdua terus sama ceweknya....? Entar ceweknya salah paham, ‘kan kasihan Mataharinya... Yah, yang penting ini surat udah selesai di tulis, tinggal tunggu waktu yang tepat.)
Seminggu kemudian, entah kenapa kami semua dipulangkan lebih cepat dari pada yang biasanya. Surat yang ingin kuberikan pada Matahari selalu kubawa, tapi selalu saja nggak ada waktu yang tepat untuk kuberikan padanya. Dan hari ini, aku melihat Matahari pulang sendiri, tanpa ceweknya. Mungkin ini kesempatan yang jarang terjadi atau mungkin tak akan terjadi 2 kali, jadi aku langsung menyuruh Ika dan Adit untuk memberikan surat itu, kebetulan Matahari nggak langsung pulang, tapi nongkrong dulu di tempat biasa anak cowok ngumpul, namanya warung Emak. Sambil menunggu Ika dan Adit kembali, aku nunggu di tempat parkir motor, kebetulan barang bawaanku lagi banyak, jadi lebih baik aku duduk dan menunggu. Beberapa saat kemudian, lapangan mulai ramai, karena anak – anak yang tadi belum keluar dari kelas mulai pulang. Entah kenapa, jantungku berdetak cepat. Udah lama, aku nggak merasakan perasaan deg – degan seperti ini lagi. Pandanganku terus mengarah keluar gerbang, berharap agar Ika dan Adit segera kembali dan memberikanku kabar baik. Tiba – tiba, Matahari melintas di depan mataku. Wajahnya terlihat dingin, tapi matanya terus menatapku, tanpa senyuman. Biar bagaimana pun, aku harus memberikannya senyum. Aku terus tersenyum padanya, hingga akhirnya dia menghilang di balik tembok gerbang. (Akhirnya Matahari matanya melihatku... Apa suratnya udah diterima...? Atau malah ditolak.....?)  Akhirnya Ika kembali, tanpa Adit.
“ Gimana, Ka? “ tanyaku sambil menghampirinya.
“ Udah diterima. Katanya makasih, “ jawabnya singkat sambil terus berjalan ke tempat duduk.
“ Terus? Gitu aja? Adit mana? “ tanyaku lagi sambil menyusulnya.
“ Adit lagi ngerokok di sana. Paling entar balik lagi. Cherry, tadi pas gue ngasih suratnya ke Matahari..., “ katanya mulai cerita, “ Mukanya tuh dingin banget! Asli, gue nggak pernah ngeliat muka cowok yang dingin tapi keren banget kayak dia... Apalagi waktu dia nanyain lo, “ katanya menunjukku.
“ Hah? Dia nanyain gue apaan? “ 
“ Dia bilang gini, Cherry mana? Dia masuk?... Gitu! “ katanya sambil menirukan gaya Matahari yang khas.
“ Waktu dia bilang kayak gitu, mukanya kayak gimana? Dingin...? “ tanyaku lagi.
“ Mukanya bikin gue deg – degan sendiri kayak orang bego, “ kata Adit tiba – tiba dari belakangku, “ Gue yang cowok aja sampai muka gue merah, apalagi Ika yang cewek. Untung dia nggak mimisan....,  “ lanjutnya lagi sambil duduk di sampingku. (Haah..?! Adit aja sampai merah.... Gimana kalau sampai aku yang lihat...? Bukan mimisan lagi, udah pingsan kali...)
“ Serius? “ tanyaku masih nggak percaya.
“ Dua rius! Kalau gue gay, pasti gue udah meluk dia deh! Mukanya tuh, kayak sedih, kangen, trus apa, ya? Dingin.... keren banget deh! “ katanya histeris sendiri. (Matahari kangen?? Nggak salah tuh?) Setelah kejadian itu, Ika mengajakku pulang bareng naik motor. Begitu keluar dari gerbang, aku bertemu dengan Uerul dan temannya. Tiba – tiba Uerul memintaku berhenti.
“ Cherry, tadi gue ketemu Matahari. Kayaknya ada yang aneh sama dia deh! Tadi ‘kan gue bilang sama dia dapat salam dari Cherry, salam sayang teramat sangat. Lo tahu ‘kan biasanya dia cuek banget. Terus tadi tuh nggak. Dia malah senyum manis banget terus bilang gini: Kalau gitu salam balik kayak gitu juga sama dia. Gitu! “ katanya menggebu. Pikiranku semakin penuh dengan tanda tanya. (Ada apa dengan Matahari? Koq, jadi aneh gitu? Kayak bukan Matahari aja... Apa memang Matahari kangen sama aku...? Kayaknya nggak mungkin banget deh! Apa... apa, ya? Duh, pusing, nih!) Tapi meski begitu, aku masih belum mampu untuk menelponnya. Perlu kupikir 2 kali untuk melakukan itu. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya terhadap surat yang kuberikan padanya. Marah, apa yang lain?
Dua minggu telah lewat setelah kejadian itu. Selama 2 minggu itu, aku nggak lagi melihat Matahari jalan berdua dengan Frida. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua. Suatu hari di hari minggu, aku tergerak untuk menelpon Matahari. Terdengar suara Matahari menggaungi telpon sebagai jawaban.
“ Hallo? “
“ Halo, bisa bicara dengan Matahari? “ tanyaku rada takut.
“ Kenapa?.... Tumben nelpon, nih. Ada apa? “ tanyanya sambil setengah tertawa.
“ Nggak ada apa – apa, sih.... Cuma pengen ngobrol aja. Udah lama nggak ngobrol sama Matahari, “ jelasku pelan. 
“ Ooh... “
“ Udah baca surat dari gue? “ tanyaku.
“ Oo.... Oia! Udah..,. “ jawabnya.
“ Jadi? “ tanyaku ingin tahu reaksinya mengenai isi suratku itu. Jantungku berdetak cepat menunggu jawabannya.
“ Di mana? “ tanyanya mengenai tawaran yang kuberikan mengenai manggung di café Jakarta.  
“ Ooh, suka, ya? Ntar gue tanya sama temen gue dulu, ya lengkapnya..., “ kataku, “ Oia, gimana nih sama ceweknya...? Ciee... udah punya cewek, nih! “ godaku. Tapi, aku terkejut setelah mendengar jawabannya yang singkat.
“ Jangan sok tahu, kalau nggak tau! “ katanya sedikit marah, “ Jangan ikut campur gitu aja. Lagipula cewek itu cuma temen yang minta ditemenin pulang, doank! “ lanjutnya lagi dengan nada yang masih marah. Entah kenapa aku masih belum percaya dengan penjelasannya itu, karena itu aku berkata padanya,
“ Iya, temen, tapi, udah ke-gep lebih dari 3 kali jalan berdua. Iya ‘kan? “ kataku, yang tanpa kusadari seperti orang cemburu. Kemudian terdengar desahan napas Matahari di telpon, mungkin dia tersenyum mendengar aku berkata seperti itu, karenanya dia berkata,
“ Tenang dulu, dong! Emang cuma temen, koq! Bener! Waktu itu, cuma kebetulan pulang bareng. Rumah kita ‘kan berdekatan, jadi dia kepengen pulang bareng. Gitu doank, koq! “ katanya menjelaskan dengan nada yang lembut. Mendengar itu aku terdiam. Aku tak tahu harus menjawab apa mendengarnya berkata lembut seperti itu.
“ Koq, jadi diam? Masih nggak percaya, ya? Waduh.... sorry, deh kalau gitu..., “ katanya tiba – tiba meminta maaf.
“ Kenapa jadi minta maaf? Harusnya ‘kan gue yang minta maaf udah marah – marah sama lo...., “ kataku sedikit terkejut sekaligus merasa bersalah. Kemudian terdengar desahan napasnya lagi telpon. “ Ah, ya udah nggak usah dipikirin! Kita ganti pembicaraan... Matahari kenal sama Stevanus, ya? “ tanyaku. Stevanus yang kumaksud adalah seorang cowok yang dulu pernah dikeluarkan karena ketahuan OD alias Over Dosis di sekolah. Aku sudah mengenalnya sebelum bertemu di sekolah K.U. karena dulu aku ada hubungan dengannya, dan belum lama ini kudengar kalau Matahari sering ngumpul dengannya.
“ Hah? Siapa? “ tanyanya lagi. (Ah, iya mungkin dia nggak tahu nama aslinya...)
“ Stevanus... Steven, Epoy, Epen! “ kataku menyebutkan semua nama panggilannya.
“ Oh, iya, iya! Kenapa? Lo suka, ya? “ ejeknya.
“ Hah? Nggak salah? Nggak banget deh! “ jawabku tegas. Tapi, entah kenapa setelah bertanya seperti itu, Matahari bersikeras memperkenalkanku padanya. Tentu saja aku menolaknya, —karena sesuai perjanjianku dengannya dulu, kalau kami tidak akan saling menegur walaupun bertemu lagi dan bersikap kalau kami tak saling mengenal—. “ Emangnya kenapa? Entar gue kenalin, ah... lo harus ikut, ya! “ kata Matahari masih bersikeras.
“ Jangan! Jangan membuka kembali masa lalu.... Cukup lo aja yang ada di ha- “ 
“ Mantan, ya...? “ tanyanya memutuskan perkataanku, “ ....... baru? “ tanyanya lagi dengan nada pelan.
“ Nggak.... SMP......, “ jawabku akhirnya.
“ Oooh...., “ katanya sambil menghembuskan napas panjang. Mendengarnya seperti itu, aku tersenyum. Entah apa yang dipikirkan oleh Matahari sampai dia menghela napas yang begitu panjang dari pada yang biasanya.
“ ..... Matahari...., “ panggilku pelan, dan dengan nada sedikit mesra.
“ Apa? “ tanyanya dengan nada yang nggak kalah mesra.
“ Boleh minta sesuatu, nggak? “ kataku dengan nada sedikit mendesah pelan.
“ Minta apa? “ tanyanya lagi dengan nada lebih mendesah dari padaku. Jujur, aku merinding mendengar suaranya yang sepertinya begitu dekat dengan telingaku.
“ No-nomor Hp, donk? ‘” tanyaku rada gugup dengan jantung yang berdetak cukup kencang.
“ Hahaha..!! “ Terdengar dia tertawa puas mendengarku gugup karenanya, “ Kenapa grogi? Nggak tahan, ya? Hahaha...!!! “ katanya meledekku lagi. (Gimana mau tahan dengar suaranya yang mendesah?!) Setelah puas tertawa, dia menyebutkan nomor Hpnya yang dulu sempat tertunda diberikan. Sebelum mengakhiri telpon hari itu, aku menanyainya tentang keikutsertaannya dalam kegiatan pesantren kilat yang diadakan oleh sekolah selama bulan puasa. Tapi tanpa kuduga, Matahari memintaku menjelaskan alasan kenapa dia harus mengikutinya, kalau nggak dia tidak akan pergi ke sekolah untuk mengikuti pesantren. Bingung harus menjelaskan apa, aku menjawabnya asal – asalan. Lagi – lagi Matahari tertawa mendengarku bingung sendiri, tapi karena aku sudah menjawabnya, dia akhirnya setuju untuk datang ke pesantren. Setelah mendapatkan apa yang kuinginkan, aku memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Kami pun sama – sama menutup telpon, setelah mengucapkan selamat siang. Beberapa hari kemudian, aku menghubungi Daniel dan menanyakan tentang tawaran manggung di café yang dia berikan. Ternyata tawaran itu udah nggak berlaku lagi, gara – gara udah ada yang tempatin. Dengan rasa menyesal, aku memberitahukan Matahari lewat sms. Lagi – lagi Matahari membuatku terkejut. Karena, Matahari yang selama ini nggak pernah balas sms yang kukirim, membalas sms-ku dengan pesan yang singkat dan jelas: gpp, sorry ya udah ngerepotin,,, M’aci! (Wah, ada perkembangan, nih..! Sms pertama dari Matahari.... Jarang banget nih yang kayak gini...)

 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   

Liburan awal bulan puasa telah tiba. Selama 2 minggu nggak ada rencana yang penting untuk menghabiskan liburanku. Benar – benar membosankan..... Suatu hari, tepatnya dini hari, aku berencana membangunkan Matahari untuk sahur. Kunyalakan Hpku, dan kutekan nomornya. Tersambung... rupanya Hpnya aktif. Kebetulan.... akan kutulis pesan untuknya. (Balas nggak balas yang penting dibaca.... (^-^))  Setelah menghabiskan 2 halaman sms, kuputuskan untuk melanjutkan tidurku. Tiba – tiba beberapa menit kemudian, dering sms berbunyi. Malas – malasan karena mata yang berat, kubuka inbox. (Hah? Nggak salah, nih? Dari Matahari..... Dia balas apaan...?) Kubaca pelan – pelan. Matahari udah bangun, Cherry. Udah sahur, koq... Nggak lupa. Kenyang banget nih... Tadi makannya banyak banget... Cherry koq nggak tidur..? Yaud, Met bobo, ya... Aku tersenyum sendiri. Matahari sekarang udah nggak kayak dulu lagi. Jadi lebih perhatian... Ternyata ada asyiknya juga liburan meskipun nggak ada rencana bareng sama anak – anak yang lain... (Yah, semoga besok, eh, udah besok ya?... He... He... He... Semoga hari ini adalah hari lebih yang menyenangkan daripada kemaren....)
Seminggu kemudian, aku sempatkan untuk menelpon Matahari. Sangat kebetulan, yang mengangkat telpon adalah Papanya. Ternyata suaranya nggak jauh beda sama Matahari. Mungkin umurnya masih termasuk muda. Tak lama kemudian, Matahari yang mengangkat telpon. Di telpon, Matahari bercerita mengenai liburannya di Bandung, mengenai lidahnya yang ditindik lagi, lalu mengenai pertandingan basket yang akan dia ikuti malam ini. Sepanjang aku menelponnya malam itu, ada hal yang membuatku sempat tersedak karena kaget plus terkejut. Matahari minta Hpnya diisi pulsa sebanyak 5 kali yang seratus ribu, dengan imbalan kalau dia akan jadi cowokku. (Kenapa dia menggunakan perasaanku untuk hal seperti ini? Apa dia pikir aku mau melakukannya..?!)
“ Yah....? Bisa ‘kan? “ katanya sambil menghela napas. Kata – katanya seperti memaksaku untuk melakukan apa yang dia minta.
“ ..... Pa-Payah...! “ kataku akhirnya, “ Jadi, harga diri lo itu cuma seharga dengan isi pulsa 5x?! “ kataku sedikit kasar dan membentak. Saat itu aku benar – benar tak menduga akan mendengarnya berkata seperti itu. Kemudian terdengar napasnya lagi di telpon,
“ Makanya diisi donk...! “ katanya. Tanpa kusadari, aku tertawa. Aku mengejeknya seperti anak kucing yang minta dikasihani sampai nggak tahu apa yang dilakukannya. Sesaat kudengar tawa Matahari yang tiba – tiba meledak, kemudian samar – samar di tawanya, kudengar dia berkata kalau tawaran itu akan ditunggunya terus. Aku tersenyum. (Yah, mungkin suatu saat akan terkabul....) Sebelum menutup telpon, aku sempat mengajaknya nonton hari senin besok. Kemudian dia bilang kalau dia mau datang asal ditraktir. Sambil bersungut – sungut, aku mengucapkan selamat malam dan selamat tidur, lalu menutup telpon.  Benar – benar hari yang mengejutkan sekaligus mendebarkan. (Itu ‘kan sama aja dia ‘menembakku’ secara nggak langsung. Tapi, kenapa ngasih syarat yang susah banget sih...? Boleh nyicil nggak, ya? He... he... he... Yah, what will be, will be aja deh....)
Keesokan harinya, ternyata rencana yang sudah kubuat dengan Ika, Yosa dan Tony, nggak berjalan sesuai apa yang diharapkan. Kami kehabisan tiket nonton karena antrian yang begitu amat sangat panjang. Akhirnya dengan langkah lunglai, kami keluar bioskop, —tanpa rencana. Setelah berbengong – bengong ria selama beberapa menit, akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di time zone.  Sekitar pukul 17.13, Yosa dan Tony pamit pulang karena ada janji yang lain. Bingung mau kemana, kami pun memutuskan untuk kembali ke toko buku. Setelah membeli beberapa buku komik, kami mencari tempat makan karena sudah waktunya makan malam. Di sana, tepatnya di Pizza Hut, kami mengenyangkan perut kami. Tiba – tiba nada dering sms berbunyi. Dengan mulut yang masih penuh, aku meraih Hpku di tas. (Hoo, tumben dari Matahari, nih....  Ada apaan, ya?) Kubaca dengan perlahan pesan dari pemuda dingin itu. Rupanya dari siang dia menunggu kiriman pulsa dariku, dan ternyata sampai sekarang, malam, nggak ada pulsa yang datang. Alhasil dia sewot sendiri, tapi aku nggak menghiraukan omelannya. Lebih dari itu, aku lebih senang dia menanyakan apa saja yang telah kulakukan di mol, dengan siapa aku nonton, jadi atau nggak acara nontonnya.  Tapi, berhubung pulsa Hpku juga habis, aku tidak membalas sms darinya. Akhirnya tanpa terasa liburan pun berlalu dengan cepat dan sudah waktunya untuk kembali ke sekolah.  
Pagi ini, kusempatkan untuk pergi ke counter Hp untuk mengisi pulsa Hpku dan Hp Matahari sebelum masuk sekolah. Kebetulan SMU K.U membuka kios Hp untuk para murid, yang harganya pun sesuai dengan kantong para murid. Sayangnya Hp matahari sedang tidak aktif, jadi aku terpaksa menunggunya hingga tanpa kusadari bell masuk pun memanggil. Sampai di kelas, tiba – tiba Uerul menghampiriku.
“ Kayaknya ada yang baru isi pulsa, nih! “ katanya tersenyum seribu makna. Aku terkejut mendengarnya. Karena itu, aku membalasnya dengan berkata, “ Lo suka ngikutin gue, ya? Kayaknya lo tau semua yang gue lakukan, deh! “ kataku jutek sambil tersenyum. Mendengar aku berkata seperti itu, dengan cepat raut wajahnya berubah memerah, lalu kembali ke tempat duduknya. Entah apa yang dipikirkan olehnya saat itu yang kembali berwajah jutek menatapku. Tanpa memperdulikannya yang mulai menggerutu di bangku belakang, aku pun duduk menempati bangkuku, karena guru telah masuk kelas.
Tanpa terasa, 8 jam telah berlalu. Jam di dinding telah menunjukkan pukul 15.00 tepat, ini berarti waktunya pulang ke rumah masing – masing. Dengan cepat, aku melangkah menuju kios Hp di sekolah untuk menanyakan apakah pulsa yang tadi pagi kubeli sudah terkirim ke Hpnya Matahari. Rupanya sudah terkirim tepat setengah jam yang lalu, bersamaan dengan pulangnya anak kelas 2 dan kelas 1. Dengan segera, aku mengeluarkan Hpku dan mulai mengetik sms untuk Matahari yang isinya kurang lebih seperti ini, “ Pulsanya udah sampai y? Nanti sms-an ya! Beberapa menit kemudian, Matahari membalas sms dariku, “ Makasih ya! Cherry emang temen Matahari yg plg baik bgt!! ” Senyuman pun mengembang di wajahku. Dengan langkah santai, aku mulai meninggalkan lingkungan sekolah menuju rumah. Malam pun tiba. Aku mengetik sms untuk Matahari sebagai ucapan selamat tidur. Dan setelah mendapat balasan sms dari Matahari, aku pun mulai menuju alam mimpi.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 
 
Dua hari ke depan, aku nggak melihat sosok Matahari di wilayah sekolah. Penasaran, aku melangkah menuju kelasnya yang sudah kosong. Kulihat daftar absensi. Ternyata benar. Matahari udah 2 hari nggak sekolah dengan alasan sakit. Tentu saja aku jadi khawatir. Matahari sakit apa sampai dua hari nggak masuk?
Malam sebelum tidur, aku coba bertanya dengan mengiriminya sms. Setelah ada laporan delivered, entah kenapa jantungku berdetak dengan cepat. Tapi aku nggak terlalu memikirkannya hingga Hp-ku tiba – tiba bergetar. Begitu kubuka inbox, ternyata ada balasan dari Matahari. Aku senang karena nggak biasanya Matahari suka membalas sms dariku. Tapi begitu isinya kubaca, jantungku hampir berhenti sesaat. Isinya adalah makian dengan semua penghuni kebun binatang dikeluarkan. Tentu saja aku kaget, shock. (Ada apa, nih?! Tiba – tiba Matahari ngomel – ngomel nggak bener?!) Aku mencoba tenang sambil mengatur napas. Kubalas lagi smsnya yang nggak jelas itu; “apaan sih? Koq, Matahari marah – marah? Emangnya salah kalo gue nanya keadaan lo?” Nggak lama Matahari kembali membalas. Tapi isinya masih kayak yang tadi; “Woi, selon aja donk! Jangan sok perhatian gitu deh!! Gara – gara lo, gw kena omelan nyokap gue. Gw nggak perlu perhatian dari siapa pun termasuk dari loe!!”  Bingung mau sms apa lagi, tiba – tiba Matahari kirim sms lagi. Isinya menyuruh aku untuk menelponnya.  Tentu saja aku enggan. (Kenapa harus telpon dia kalau cuma mau dengar caciannya? Ogah!) Aku mengiriminya sms lagi. Aku bilang kalau aku nggak mau telpon Matahari kalau Matahari masih marah, tapi kalau udah tenang, baru aku telpon. Matahari membalasnya; Matahari minta maaf, soalnya gue lagi emosi abis berantem sama bokap. Matahari pengen Cherry telpon biar nggak ada dendam. Kalau Cherry masih anggap Matahari temen, telpon ya!” Aku terdiam. (Bukannya nggak nganggep temen lagi... Tapi pulsanya nggak cukup buat telpon lama – lama…) Akhirnya aku mencoba untuk tidur. Tapi nggak disangka tiba – tiba Matahari menelponku. Takut plus deg-deg-an, aku jadi nggak berani angkat telpon dari dia. Nggak tahu udah berapa kali Matahari menghubungiku tapi nggak kuangkat karena aku udah bener – bener tidur.
Keesokan paginya, aku mendapat pesan dari Matahari yang menyuruhku ke kelasnya sendirian, dia lagi cabut dari rumah. Aku menghela napas (Hhh… kena masalah deh sama Matahari…)
Begitu bel istirahat berbunyi, dengan langkah yang berat aku melangkah menuju kelas Matahari yang ada di ujung koridor kelas 2. (Huwaa, takut banget nih… bakalan diapain ya sama Matahari..?Hii…) Sampai di depan pintu 2IPS4, aku tanya sama temen sekelasnya Matahari ada apa nggak.
“ Matahari? Ada. Tuh lagi duduk! “ katanya menujuk ke dalam kelas paling pojok. Aku melongok masuk. Terlihat ada Matahari lagi duduk sama teman – temannya yang tampangnya sangar. Melihatku datang, ekspresi wajahnya langsung berubah. Senyumnya langsung hilang gitu aja.
“ Oi.. Sini…, “ katanya menyuruhku mendekat. Jantungku berdetak cepat. Aku melihat ke sekeliling. Anak – anak cewek langsung berbisik – bisik melihatku menghampiri Matahari. Nggak tau deh apa yang mereka omongin.
         Sampai di tempat Matahari, teman – teman sangarnya memberikanku senyum. Sedangkan Matahari sendiri…
“ Woi, minggir! Gue mau keluar…! “ katanya sambil menendang – nendang bangku temannya yang lagi duduk.
“ Nggak, ah! Males! Lo aja yang keluar naik meja, “ kata temannya yang item gendut yang duduk di sampingnya nggak peduli. Setelah memukul bahunya, Matahari berdiri di bangku dan menaiki meja. Lalu turun tepat di hadapanku. Meskipun aku lagi deg – deg-an, bingung mau diapain, tetap aja Matahari paling bisa bikin aku terpana. (Matahari wangi…♥♥)
“ Ayo, keluar.., “ ajak Matahari. Aku mengangguk.
         Di depan pintu kelas, Matahari berhenti dan menatapku. (Huwaa… jangan bikin aku tambah deg – deg-an, donk….)
“ Matahari, maaf banget, ya..? “ kataku pelan. Aku nggak berani natap matanya. Pasti nakutin...
“ Iya! Semua gara – gara Cherry, kan! Gara – gara Cherry, gue jadi diomelin sama nyokap. Gara – gara Cherry, gue jadi berantem sama bokap. Trus gara – gara Cherry kemaren nggak angkat telpon dari gue, sekarang masalahnya jadi panjang. Coba kalo kemaren Cherry angkat telponnya, trus jelasin semuanya. ‘Kan bokap jadi nggak usah ke sini.  Dasar…! “ katanya menghela napas. (Kayaknya masih marah, tuh…)
“ Sorry… gue nggak tau masalahnya… “ Aku memberanikan diri melihat matanya. Seperti biasa, tajam! Matahari diam dan tetap menatapku. Nggak lama, dia menutup mata dan menghela napas lagi.
“ Hh~ Ya udahlah. Bukan salah Cherry juga, Matahari yang salah, maaf, ya? Serapi – rapinya sampah diumpetin toh bakalan ketahuan juga, iya kan? “ katanya minta maaf sekalian berpribahasa. (Eh? Bukannya bangkai yang diumpetin??)
“ Sebenernya waktu Cherry kirim sms itu, Matahari lagi minum – minum di rumah temen…, “ Matahari mulai cerita gimana kejadiannya, “ Hp Matahari lagi dipegang sama nyokap. Ngebaca sms dari Cherry, nyokap jadi kaget. Dikiranya Matahari sekolah, tau – tau malah nggak masuk 2 hari. Pas pulang ke rumah, Matahari lagi mabok banget. Kepala pusing, badan sempoyongan, jadinya pengen langsung tidur… “ Matahari diam dan kembali menatapku yang lagi serius denger ceritanya. Tiba – tiba dia membuang muka dan mengusir teman – temannya yang tanpa kusadari ikut menguping dari belakang. Setelah puas, Matahari datang lagi, tersenyum padaku, dan kembali melanjutkan ceritanya yang tadi terputus, “ Ee… terus waktu mau ke kamar tiba – tiba nyokap cegat, trus tanya emangnya selama 2 hari nggak masuk? Yah… Cherry tau ‘kan gimana kalau orang lagi mabok, pasti ngomongnya nggak bener... Waktu itu Matahari ngomongnya kasar, jadi nggak usah diceritain. Trus nyokap kasih tau kalau ada sms dari Cherry yang bilang Matahari nggak masuk. …Matahari bilang, “Cherry? Cherry siapa? Salah orang kali..? anak sekolah lain kali…“ Denger gitu bokap jadi marah. Matahari cuek, lanjut mau ke kamar, tau – tau bokap mukul. Matahari marah, trus ngebales, keluar deh dari rumah… “ Matahari diam, dan kembali melihatku. (Hoo… jadi gitu ceritanya.. Wah! Jadi gara – gara aku donk…?! Aduuh…)
“ … Maaf, ya…, “ kataku pelan. Matahari tersenyum.
“ Ya udahlah,.. sekarang Matahari tinggal di rumah temen, jadi makan juga seadanya. Nggak enak sama yang punya… “ Tepat setelah Matahari selesai cerita, bel istirahat selesai pun meraung.
“ Yah, udah bel... koq, cepet banget sih… “ (Kan belum puas bareng Matahari!.. dasar bel rese!)
“ Ya udah, Cherry balik ke kelas sana, “ suruh Matahari sambil mendorong bahuku.
“ Ah, tapi… “
“ Tenang aja. Hari minggu nanti Matahari balik ke rumah, koq..! “ katanya memberitahu. Aku mengangguk, “ Sorry, ya…, “ kataku sekali lagi sebelum balik ke kelas.
“ Hati – hati, ya.. “ kata Matahari sambil melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan mengangguk. Dengan langkah yang udah agak ringan, aku kembali ke kelas yang ternyata udah ada guru yang lagi asyik duduk di kursi ‘kebesaran’nya. Sambil tertunduk malu, aku masuk ke kelas dan duduk di bangkuku. (Kayaknya baru kali ini aku kena masalah sama Matahari… udah gitu ngabisin waktu istirahat sama dia lagi…! Hehehe…♥)
         Hari minggu empat hari kemudian, kudengar Matahari sudah kembali ke rumahnya. Tapi lebihnya aku nggak tahu. Mungkin keadaannya sudah lebih tenang. (Yah… semoga saja seperti itu…)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~  

“ Gue terlambat!! “ teriakku sambil berlari menuju sekolah. Pagi ini, aku bangun kesiangan gara – gara matahari yang menyembunyikan dirinya di balik awan. Kupikir masih subuh, soalnya di luar masih agak gelap, tapi ternyata sudah pagi!
       Dengan napas terengah – engah, aku memasuki gedung sekolah. Karena toh akhirnya akan dimarahi juga, aku mulai memperlambat langkahku sambil mengatur napas. (Ah... Sial banget pagi – pagi harus mendengar omelan guru...) Membayangkan nantinya akan berhadapan dengan guru, rasanya langkahku makin berat aja. Apalagi tangga yang kunaiki kayaknya tinggi banget. Gara – gara ngelamun, aku jadi nggak sadar apa atau siapa yang ada di depanku sampai akhirnya aku menabraknya. 
“ Loh, Cherry? Baru dateng ya? “ Aku mengangkat kepalaku untuk melihat siapa yang kutabrak. Nggak disangka pagi – pagi udah ada kejutan seperti ini, karena ternyata yang kutabrak adalah seseorang yang bernama Matahari.
“ Ah, iya, ada sedikit masalah... hahaha..., “ jawabku malu dengan muka yang sepertinya sudah merah, “ Matahari sendiri kenapa bawa tas? “ tanyaku menyadari kalau Matahari masih bawa tas di bahunya.
Senyum khas Matahari pun mengembang di wajahnya, “ Matahari baru dari ruang guru gara – gara telat datang. Terus sekarang mau ke Lab, ada tugas di situ, “ jelasnya. (Rupanya Matahari juga bangun kesiangan, ya..?)  “ Ya, udah, sekarang Matahari ke Lab dulu, ya, “ katanya lagi sambil pergi melambaikan tangan. Aku mengangguk dan terus tersenyum ke arahnya sampai akhirnya dia hilang dari pandanganku.
“ Woi!! “ Ika mengagetkanku dari belakang sampai rasanya jantungku mau keluar saking kagetnya karena kupikir guru. “ Ngapain lo bengong – bengong di tengah jalan kayak kesambet gini? “ lanjutnya menepuk kepalaku.
Ika sendiri koq keluar? Emangnya boleh jalan – jalan? “ tanyaku balik sambil melanjutkan perjalananku menuju kelas. “ Gurunya nggak masuk. Lagi sakit kali, “ jawabnya santai. Nggak tahu kenapa, tapi kayaknya hari ini aku mendapatkan 2 keberuntungan sekaligus. Sudah ketemu Matahari pagi – pagi, trus sekarang lolos dari omelan guru juga.
“ Loh? Ngapain gue ikut balik ke kelas sama lo? Gue ‘kan baru mau ke kantin! “ celetuk Ika tiba – tiba, karena sepertinya tanpa sadar dia mengikuti langkahku ke kelas. Dengan tergesa – gesa, Ika langsung turun tangga dan lari menuju kantin di bawah.
      Pintu kelas yang tertutup mulai kubuka dan pemandangan menakjubkan pun terlihat. Kelas dalam benar – benar dalam keadaan ‘berantakan’. Kursi dan meja sudah tersebar di mana – mana. Aku sampai nggak tahu lagi yang mana meja dan kursiku. Sedangkan di sudut ruangan ada yang tidur, sebagian lagi ada yang main gitar, bergosip ria, main HP, dengerin musik dari CD Player, dan sebagian lagi hanya jalan – jalan nggak jelas di kelas. Yang masih dalam keadaan damai hanya meja dan kursi guru yang berada di sudut depan kelas. Adit kemudian datang menghampiriku.
“ Hei, Cher! Tumben datangnya telat, kenapa? “ tanyanya.
 “ Hei, Dit! Biasalah... pengaruh rumah kaca, “ jawabku asal setengah tertawa. Dahi Adit mengernyit, “ Hah?? Maksud lo apaan? “ tanyanya lagi nggak ngerti sambil garuk kepala. “ Cuma bercanda! Maksud gue pemanasan global, “ Aku menepuk bahu Adit, dan menuju jendela kelas. Bisa dipastikan kalau Adit makin bingung.
“ Lo ngomong apaan sih dari tadi? Ada pengaruh rumah kaca, trus pemanasan global juga. Emangnya ntar ada ulangan biologi ya? “ tanya Panji yang kayaknya ikut bingung juga dengar kata – kataku sama Adit.
“ Nggak koq. Hari ini nggak ada ulangan apa – apa. Tadi gue cuma asal jawab, toh ujung – ujungnya 2 peristiwa itu ada hubungannya sama matahari ‘kan? “ jelasku tersenyum sambil menatap Matahari yang lagi jalan di lapangan basket bawah ke arah ruang Labotarium.
“ Oh, Matahari, ya? Matahari yang di bawah apa matahari yang di atas? “ Panji mulai menggodaku setelah melihat Matahari ada di bawah. Mendengarnya bertanya seperti itu, dengan cepat aku menoleh dan tersenyum, “ Dua – duanya…? “ Panji langsung nyengir.
Tiba – tiba Ika datang dengan napas yang terengah – engah kayak habis lari dan tangan yang memegang kantong kresek seperti penuh dengan makanan, lalu sepersekian detik pun terdengar suaranya, “ Woi! Guru piket dateng!!! “ Serentak saja satu kelas kalang kabut, yang tadinya tidur pun langsung terbangun dan ikut membereskan meja yang dia tiduri. Kekacauan terjadi beberapa menit sampai akhirnya semua beres dan guru piket pun memasuki kelas. Dengan logat Medannya yang kental, guru itu langsung berkomentar setelah melihat Baqõ yang kebetulan duduk di depan meja guru sedang mengatur napas dan mengelap keringat di kepalanya, “ Bah! Kenapa kau berkeringat begitu? “ kemudian melayangkan pandangannya ke seluruh murid di kelas yang memang sedang berkeringat semua gara – gara mengangkat meja dan kursi, —begitu pun aku.
“ Bah! Kalian semua juga berkeringat rupanya. Habis ngapain kalian pagi – pagi sudah berkeringat begini, nanti bau kalian! “ katanya lagi. Mendengarnya terus berkomentar, kami hanya menjawabnya dengan senyuman terpaksa. Sekitar setengah jam kemudian guru piket itu meninggalkan kelas setelah memberikan kami tugas yang harus dikerjakan. Tapi tugas pun tinggal tugas, soalnya cuma sebagian kecil aja yang ngerjain, sedang yang lainnya kembali mengerjakan kesibukannya sendiri. Ika pun mengeluarkan semua isi dari kantong tersebut yang memang ternyata makanan yang dia beli dari kantin. Setelah mengambil 2 batang coklat, Ika menghampiriku.
“ Nih, Cher! Mau nggak? “ tawarnya padaku. Ditawari coklat enak, siapa yang mau menolak. “ Thanks! “ Sekitar 2 jam kemudian, bell istirahat pun terdengar. 4 jam kosong lewat gitu saja dengan bersenang – senang di kelas. Tapi, yang namanya istirahat tetap saja istirahat. It’s time to go to canteen!
      Sampai di kantin, aku dan gank-ku yang baru,—Lilis, Wulan, Uerul, Ika— langsung menempati tempat duduk yang kebetulan hanya ada satu meja yang kosong. Setelah memesan makanan, pertemuan para cewek yang sedang berkumpul pun dibuka.
“ Gila, enak banget nih kalau tiap hari kayak gini. Jam kosong 4 jam nonstop! “ seru Uerul senang. Mendengar itu Ika langsung nyeletuk,
“ Enak sih enak, tapi kan nggak enak juga nggak belajar. Kita jadi kelewatan dari kelas IPA yang lain, “ sungutnya protes. Memang sih, kelas tiga bukan waktunya buat main – main soalnya musuh terbesar kelas tiga adalah UAS alias Ujian Akhir Sekolah. Terlihat kalau anak – anak yang lain selain Uerul mengangguk setuju. Meski sedikit, aku juga setuju mendengar itu.
“ Tapi ‘kan itu bukan salah kita. Lah, gurunya juga nggak masuk, kan? “ kata Uerul yang masih kekeh ga mau kalah sama Ika. Begitu pun dengan Ika.
“ Tapi ‘kan gurunya juga udah usaha ngasih kita tugas buat kita belajar sendiri. Bener apa salah itu sih urusan belakangan, “ balas Ika yang termasuk salah satu yang mengerjakan tugas dari guru yang tadi pagi dikasih di saat – saat terakhir sebelum bel istirahat berbunyi. Ika memang murid pintar, meski sering telat datang, dia menduduki peringkat 1 dari kelas satu SMU K.U. Melihat pertarungan pendapat mereka, kami hanya bisa diam mendengarkan. Sampai akhirnya pesanan makanan datang, baru mereka berdua diam dan dengan tenang menyantap makanan di depannya. Kami bertiga tersenyum kompak menatap mereka berdua. “ Mari makan...! “ Satu suapan siomay pedas segera menuju mulutku. Tiba – tiba dari belakang seseorang mencolek punggungku. Geli, aku langsung menoleh.
“ Cherry lagi makan, ya? “*DEG!*
Seketika jantungku langsung berdetak cepat. Dengan pelan, aku mengangguk. Senyuman sempurna mengembang di wajah cowok tampan di hadapanku, siapa lagi kalau bukan Matahari.
“ Makan yang banyak, ya? Biar cepet tinggi. Hehehe... “ lanjutnya melambaikan tangan sambil berlalu. Melihat senyumannya, aku jadi nggak bisa ngebales kata – katanya. Mataku hanya menatapnya berjalan menjauh dari kantin sambil bercanda dengan temannya. Lalu,
“ Apa maksudnya nih, Cher? Lo ama Matahari dah jadian? “ Mendengar pertanyaan Uerul, wajahku langsung memerah. Mimpi apa aku bisa jadian sama makhluk itu.
“ Koq, lo nggak kasih tau gue kabar gembira ini, sih? “ protes Ika.
“ Tu-tunggu dulu... “
“ Ada apa sih? Cherry ada hubungan sama cowok keren tadi ya? “ kata Wulan yang ikut bertanya.
“ Eh, itu... hubungan sih emang ada, tapi.... “ Lagi – lagi belum sempat aku jelaskan, Lilis ikut bertanya juga, “ Gue denger dia playboy, koq lo mau ama dia sih? “
“ Oke, tenang, tenang.... Denger, ya? Kalo gue ampe jadian ama tuh Matahari, gue pasti udah ada di rumah sakit sekarang gara – gara mimisan terus. Lagipula, nggak mungkin Matahari suka ama gue, “ kataku mulai jelasin, “ Trus tadi, gue juga nggak tau tiba – tiba dia nyolek gue. Gue juga kaget tau! “ omelku.
“ Tapi seneng, ‘kan? “ Mendengar perkataan Ika, aku tertunduk malu. Aku memang kaget waktu Matahari tiba – tiba muncul, tapi di balik itu rada seneng (bgt!) juga dia mau menyapaku duluan. Acara makan pun dilanjutkan kembali dengan perasaan berbunga – bunga.
Setelah istirahat, pelajaran kembali dilanjutkan seperti biasanya. Sampai jam pulang membuyarkan pikiran kami yang sempat tersedot ke dalam suasana belajar yang serius. Waktunya bersiap – siap untuk pulang ke rumah dan... istirahat.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   

Seminggu ke depan aku tak sempat memperhatikan Matahari, karena ujian yang datang berturut – turut menghiasi isi kepalaku. Pusing! Apa boleh buat, minggu ini adalah minggu terakhir di akhir tahun. Itu artinya hanya tinggal beberapa bulan lagi untuk menghadapi raja terakhir di masa kelas 3 SMU, UAS. Wah, rasanya ingin lari saja. Aku masih belum siap lahir batin untuk menghadapi itu. Ujian – ujian terus saja dihujani oleh para guru kepada kami para murid yang tak berdosa. Bukan waktunya untuk memikirkan hal lain, selain pelajaran, kalau tak ingin mengalami penyesalan karena tidak lulus. Ayo, semangat belajar!
Malam, sekitar jam 8pm, Hpku berdering. Ada sms dari teman sekelasku. Kubaca pelan karena tak biasanya dia mengirimi sms padaku. Cherry, Matahari mau pindah sekolah, tadi Uerul kasih tau gue. Kayaknya kali ini serius deh, soalnya *some text missing* Membaca kalimat terakhir, rasanya aku ingin melempar Hpku. Gimana bisa ilang di saat yang penting kayak gini. Ugh! Dasar Hp nyebelin!!
Aku menenangkan perasaan sebentar, lalu mulai berpikir. (Dulu juga pernah kayak gini, tapi kenyataannya bukan kayak gitu. Matahari nggak mau pindah. Lagipula dia juga pernah janji nggak bakal pergi. Kok, sekarang kayak gini lagi? Apa aku tanya aja sama Matahari? Toh, cuma memastikan aja...) Aku mulai mengetik sms untuk Matahari dan segera kukirim. Delivered. 5 menit berlalu, 10 menit, 20 menit, 1jam, 2 jam. (Argh! Kenapa Matahari nggak bales?! Kan jadi penasaran kalo kayak gini. Ya udah lah, besok aku ke kelasnya aja langsung.) Dalam hati, aku berdoa semoga saja besok dia masuk sekolah, dan bisa ketemu dengannya. Dan... semoga dia memang nggak mau pindah! Amin. Kalau begini, gimana bisa konsentrasi belajar? Tapi, pagi dan istirahat rasanya mungkin sulit untuk ke kelasnya karena ujian menungguku untuk diselesaikan. Jadi semoga saja bisa bertemu waktu pulang sekolah.
Jam sekolah usai telah berbunyi kencang. Setelah membereskan perlengkapan belajarku dan mengambil tas, aku melangkah cepat menuju kelas Matahari. Koridor kelas 2 terlihat sepi, hanya sebagian kecil saja yang lagi membersihkan kelasnya masing – masing. (Semoga Matahari masih ada di kelasnya. Semoga masih ada... ada... ada... Ada!!)  Aku melongok ke dalam kelas Matahari. Kosong.... Rupanya Matahari sudah pulang.  Dengan langkah gontai, aku menuruni tangga dan menuju lobby utama. Ketika melewati ruang guru, tiba – tiba seseorang memanggilku. Aku berharap itu Matahari, tapi ternyata Guru kesenian kesayanganku. “ Ada apa, Pak? “ tanyaku heran. Tiba – tiba guru muda itu memberikan gulungan kertas dan menyuruhku membukanya. Kubuka perlahan. Ternyata kertas itu adalah gambarku yang dulu pernah kuikutkan dalam lomba gambar antar kelas 3.
“ Selamat, ya! Gambarmu menang runner up. Terus usaha, ya! “ ucapnya sambil menepuk bahuku. Aku menunduk malu. Sebenarnya gambar itu adalah gambar yang pernah kuberikan pada Matahari dalam versi aslinya, sedangkan yang di Matahari adalah fotokopiannya. Tentu saja image gambar itu adalah Matahari sendiri. Sambil terus tersenyum menatap gambar itu aku melewati lobby luar. Sesaat tiba – tiba mataku sepintas menangkap sesosok bayangan orang di tempat duduk lobby. Cepat, aku menoleh.
“ Ma-Matahari? “ Aku kaget melihat yang kulihat di depan mata. Matahari sedang duduk dengan santainya di tempat duduk lobby. Mataku kukucek karena kupikir cuma imajinasiku saja gara – gara melihat gambar Matahari.
“ Kenapa? Cherry kelilipan? “ tanyanya tersenyum sambil menghampiriku.
“ Ah, bukan. Cuma kaget. Matahari koq belum pulang? “ aku nunduk malu, takut ketahuan kalo mukaku sudah merah.
“ Lagi nunggu Choco. Loh, itu? Bukannya itu gambar yang pernah Cherry kasih ke Matahari? “ tunjuknya ke tanganku.
“ Iya. Ini yang aslinya. Tadi dikasih sama Guru Kesenian selesai lomba. Ng... menang runner up, “ kataku pelan. Aku mengangkat wajahku. Aku mau tahu gimana reaksi sumber imageku. Dan lagi – lagi wajahku memerah lihat senyumnya mengembang di wajahnya yang putih.
“ Wah, hebat! Tapi yang jadi imagenya lebih hebat, donk! Hehehe... “ katanya sambil menujuk dirinya sendiri. Wah.... dia tahu! Oia, kebetulan sekalian tanya soal kepindahannya itu.
“ Ng, Matahari. Cherry denger Matahari mau pindah, ya? Emangnya bener? “
“ Uerul, ya? Payah!... Iya, Matahari mau pindah. Ng,... kayaknya ke luar kota gitu, “ jawabnya tanpa melihatku.
“ Luar kota? Ke mana? “ tanyaku penasaran.
“ Ssstt... Ada aja. Matahari mau menghilangkan jejak, “ jawabnya tersenyum sambil menutup mulutnya dengan jari telunjuk. (Gayanya emang paling keren!♥)
“ Gitu? Kapan pindahnya? “
“ Kayaknya abis liburan tahun baru ini, “ ucapnya pelan menatapku dalam. Ucapannya seperti petir yang menyambarku di siang hari. (Matahari beneran mau pindah?!) Aku masih setengah nggak percaya, terlebih lagi kalau dia bakal pindah abis liburan natal dan tahun baru ini. Itu ‘kan artinya aku cuma bisa ketemu Matahari sehari lagi. Lusa udah mulai libur Natal dan tahun baru. Waduh! Gimana nih? Tapi, tapi... bukannya jadi tanggung? Soalnya ‘kan sebentar lagi Matahari mau naik kelas 3. Tanggung banget kalo pindah, padahal tinggal 5 bulan lagi ujian. Aku nggak rela kalo dia pergi sekarang. Soalnya.... acara tahun baru? Valentine? Masa’ nggak ngerayain bareng Matahari...?
      Dengan gontai aku melangkah pulang. Besok adalah hari terakhir masuk sekolah di tahun ini. Rasanya cepat banget kalau harus pisah sama Matahari. Aku nggak bisa ngebayangin kalau aku melewati hari – hariku tanpa ada Matahari yang biasa menerangi. Wuah, rasanya koq sedih banget sih? Padahal ‘kan dia cuma pindah sekolah, bukan sampe pindah planet, rumahnya juga tetep. Tapi ... kalau pindah juga?
      TRRRT....TRRRRT... Malam sebelum Christmas’s Eve, Hpku bergetar. Rasanya malas banget ngambilnya. Hari terakhir sekolah di tahun ini udah selesai. Aku sama sekali nggak ketemu sama Matahari di lingkungan sekolah. Mungkin kemaren adalah hari terakhir aku ketemu sama dia... Kalau tau begitu, harusnya kemaren aku pergi jalan – jalan aja. (Hhh... payah!)  Kuambil Hpku yang masih saja terus bergetar. Malas – malasan aku mengangkatnya.
“ Haloo..? “ jawabku enggan. Mendengar suara di seberang telpon, jantungku langsung berdetak cepat. Dengan semangat, aku langsung bangun dari tempat tidurku.
“ Ini Cherry, ya?  Matahari, nih! “ katanya. Nggak nyangka banget kalo Matahari menelponku malam – malam gini, pas waktu aku juga lagi mikirin.  “ Lagi ngapain? Koq, ngangkatnya lama banget? “ tanyanya.
“ Ah, itu... Kirain Cherry, siapa yang nelpon. Takutnya cuma orang iseng aja, “ jawabku bohong. Sesaat terdengar hembusan napasnya di telpon.
“ Tapi, ternyata Matahari, ‘kan? Dasar.... cape’ tau nunggunya! Kirain nggak bakal diangkat, “ katanya marah – marah. Tapi, aku senang. Soalnya aku bisa denger suara Matahari sekarang. “ Lagi ngapain? “ tanya Matahari lagi.
“ Lagi... lagi tidur – tiduran sekalian baca buku, “ jawabku bohong lagi. (Padahal aslinya sih lagi malas – malasan di tempat tidur trus mikirin Matahari, deh. He... he... he...) Pikirku sambil senyum – senyum sendiri.
“ Mikirin Matahari? “ tanyanya datar.
“ Eh? “ Aku hampir tersedak mendengar dia bertanya seperti itu. (Koq, pertanyaannya tepat banget sih? Emangnya dia bisa baca pikiran, ya?)  “ Koq, nanya kayak gitu? Kaget..., “ tanyaku
“ Bener, ya? Lagi mikirin? “
“ Eh? Itu... Iya, sih... Tapi, Matahari koq tumben nelpon? Ada apa? “ jawabku malu sambil berusaha mengalihkan pembicaraan. Jantungku makin berdetak cepat.
“ Hm... Cuma mau ngasih tau kalo sekarang Matahari masih ada di rumah yang lama. Masih ada barang – barang yang mau diberesin. Terus besok, besok ‘kan malam Natal. Abis berdoa, Cherry jangan langsung tidur, ya? Matahari mau sms Ceria..., “ jelasnya. Aku kaget tiba – tiba dia manggil dengan nama asliku. Aku sampai bisa ngerasain detak jantungku yang berdetak makin cepat.
“ O-Oh... Iya. Cherry tunggu, ya? “ kataku akhirnya.
“ Iya. Ya udah, itu aja. Jangan tidur malam – malam, ya? Dah... “ Telpon pun ditutup. Dalam satu tarikan napas, aku berteriak sekuatnya tanpa suara. (Apa tadi barusan?! Matahari menelponku cuma buat ngasih tau kalau dia sekarang lagi di rumahnya? Wuah!  Nggak kayak Matahari biasanya yang dingin. Udah gitu, dia juga mau sms pas malam Natal? Kira – kira mau sms apaan ya? Jadi nggak sabar buat Christmas’s Eve nih! Matahari kenapa, ya?) Memikirkan besok akan jadi hari yang menyenangkan, aku tertidur pulas di samping foto Matahari yang kupunya.
     
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~   
     
      Minggu, 24 Desember. Cahaya matahari pagi membangunkanku dari dunia mimpi. Rasanya kejadian yang semalem kayak mimpi aja. Matahari yang dingin kayak gitu mau menelponku. “ ‘Met, pagi, Matahari! Jangan lupa janjinya malam ini, ya! “ kataku sendiri kayak orang bego ke foto Matahari.  Setelah membersihkan rumah untuk persiapan Natal, dan merencanakan rencana Natal dengan teman – teman gereja, aku mulai menghias Christmas’s tree sambil bersenandung. Mungkin karena tingkahku yang aneh, Ibuku sampai mengira aku mulai stress. Sambil menunggu sms dari Matahari, tanpa terasa waktu berlalu dengan cepat sampai akhirnya sudah malam.    
                  Tapi… (Matahari bohong…!) Sampai sekarang, jam 1 dini hari alias udah masuk tanggal 25 Desember, sms dari Matahari belum juga kuterima di Hpku. (Ah... Matahari nyebelin… cape – cape ditunggu tapi nggak jadi sms… Payah, nih...) Capek nunggu, aku pun mulai tertidur. Nggak tidur – tidur banget sih, soalnya sesekali aku terbangun buat lihat display Hpku ada sms masuk atau nggak.
                  Tiba – tiba, aku terbangun gara – gara matahari yang sinarnya sudah mulai menyelinap masuk dari jendela kamar. (Uwaa… Udah pagi! Jam berapa sekarang?) “ Hah..!? Jam 8!!? “ Buru – buru, aku langsung mengambil handuk, dan masuk kamar mandi. Sepertinya aku tertidur waktu nunggu sms dari Matahari semalem. Tapi tetap saja sampai sekarang belum ada sms dari dia. Memang ngeselin juga. Tapi, sekarang bukan waktunya pusing mikirin sms dari si ganteng itu, karena aku udah amat sangat terlambat buat ke gereja! Sepotong roti kusambar sebelum akhirnya aku mengeluarkan jurus langkah seribuku untuk pergi ke tempat pemberhentian angkutan umum terdekat! Gara – gara itu, hampir saja napasku putus waktu sampai di halaman gereja.  Malu udah menarik perhatian orang – orang sekitar, aku lebih memilih untuk duduk di paling belakang. (Ugh…! Ini gara – gara Matahari!... Hhh…udahlah, nggak penting juga marah – marah, buang – buang tenaga aja….)
                  Udah mulai sore, rumahku jadi ramai. Mulai dari saudara, teman, sampe tetangga datang berkunjung untuk merayakan Natal bersama atau cuma sekedar kasih ucapan selamat Natal. Urusan dengan Matahari tadi pagi terlupakan begitu saja karena banyak yang mesti dilakukan. Tapi, lagi – lagi itu nggak berlangsung lama sampe Hpku berdering. Kulihat, dari Matahari… Cherry, Maaf ya,. Matahari semalem abis ikut party ama temen2 trus minum banyak. Jadi Matahari lupa. Sekarang aja masih pusing. Maaf ya? Oia, Met Natal Yc,… (Dasar tukang clubbing… Tapi,. Aku maafin deh, toh dia jadi sms juga. Tapi, masa’ yang mau di omongin cuma ini aja?) Aku coba balas smsnya, tapi nggak dibales. Ya udahlah, ngapain ngurusin cowok ganteng itu, mendingan ngabisin kue – kue natal yang udah cape – cape dibawain ama sebagian orang yang dateng ke rumah.
                  Liburan kali ini bener – bener ngebosenin. Nggak tau mau ke mana, trus nggak tau juga mau ngapain. Huwaa… bete banget! Sepanjang hari cuma malas – malasan malah biqin badanku jadi karatan. Daripada nanti jadi melar, kayaknya aku mesti gerakan badan sedikit, nih. Karena itu kuputuskan untuk membersihkan seluruh sudut kamar yang udah mulai nggak enak dilihat. Setengah  hari, akhirnya aku selesai juga. Lihat jam udah sekitar 19.00pm. Hmm..  kayaknya kalau udah cape kerja paling enak berendam air hangat, nih!
                  Tanggal 28 Desember, tiba – tiba Ika mengajakku ke Dufan buat ngabisin waktu liburan yang menurutnya ngebosenin,—sama yang aku rasain. Dia bilang akan membawa cowoknya yang baru sekaligus buat dikenalin ke aku. Tapi kalo dia bilang begitu, berarti aku bisa jadi kambing congek donk? Nomor Matahari langsung kutekan. Nggak berapa lama, terdengar suara Matahari sebagai jawaban.
“ Hah? Ke Dufan? Nggak salah? “ tanyanya waktu kuajak.
“ Kenapa? Ikut, ya? Anggep aja buat ngisi liburan, “ ajakku lagi penuh harap.
“ Hm, boleh deh… Jam berapa? “ tanyanya lagi.
“ Katanya sekitar jam 8an…, “ jawabku. Tiba – tiba terdengar tawa Matahari, “ Mau ngapain pagi – pagi ke sana? Mau jadi satpam? Hahaha.. “ katanya tertawa.
“ Koq ketawa…? Soalnya ‘kan lumayan dari sini ke sana, kalo macet gimana? “ tanyaku membela diri.
“ Iya, iya… Ketemu dimana? “
“ Ketemu di sana aja. Ntar sekalian Cherry kasih tiket diskonnya… “ 
“ Oh, oke deh…, “ kata Matahari yang kayaknya setuju mau dateng.  (Yeah! Kalau kayak gini ‘kan kayak double date! Ho..ho..ho...)
         Sekitar pukul 10.00am, kami bertiga sampai di kawasan Dufan. Dilihat dari pintu masuk yang sudah antri panjang, kayaknya di dalam bakalan ramai banget. (Kalau kayak gini gimana caranya ketemu Matahari??) Kucoba menghubungi Hp Matahari. Nonaktif…. (Wah, jangan – jangan dia masih tidur di rumah??) Melihatku menghela napas, Ika langsung nanya tanpa basa basi, “ Matahari nggak jadi ikut, ya? Cuekin aja lagi! “ katanya nggak peduli. Sambil bersungut – sungut, aku mulai mengikuti langkah mereka masuk ke Dufan setelah bayar tiket masuk.
         Masuk ke dalam wilayah Dufan, aku terpana, alias takjub. (Gila, rame banget!! Udah gitu, ‘bertebaran’ cowok – cowok keren lagi!! Matahari mah lewat!) Masih dalam keadaan terpana, aku memperhatikan setiap orang yang berlalu lalang di sekitarku. Menjelang tahun baru kayaknya banyak pasangan yang bersenang – senang di sini. Makanya, ke mana mata memandang tetep aja nangkepnya udah punya pasangan masing – masing, termasuk Ika yang kayaknya udah mulai bosen sama cowok yang ada di sampingnya, yang emang pacarnya sendiri.
“ Cher, sini dong! Ngapain sih sibuk sendiri? “ katanya menyuruhku jalan berdua. Loh? Berdua?..
“ Mana cowok lo, Ka? Koq, nggak ada? “ tanyaku sambil menghampiri.
“ Bete gue! Gue suruh aja dia beli minuman buat kita. Eh, ngantri itu, yuk! “ ajaknya sambil menunjuk salah satu permainan yang kayaknya bisa jadi pemanasan buat mompa adrenalin, Kora – Kora.
“ Itu? Wuih… Boleh juga! “aku mengiyakan, “ Eh, tapi cowok lo gimana? Masa’ ditinggalin? “ tanyaku sadar kalau kita bertiga. Lagi – lagi Ika masa bodoh, “ Ah, gampang! Ntar gue sms. Ayo, ntar keburu penuh! “ ajaknya lagi. Meski rasanya nggak enak ninggalin cowoknya, aku pasrah ditarik Ika yang udah nggak sabar.
Sekitar 5 menit-an teriak – teriak, kami kembali ke tempat semula. Nggak tega kayaknya kalo ngeliat situasi cowoknya Ika sekarang. Duduk di bangku, sendirian, tangan pegang 2 minuman, 1 minuman lagi di bangku. Melihat kami datang, dia langsung berdiri menyambut. Biasanya cowok bakalan ngomel kalo dijadiin pembantu, tapi melihat dia, aku salut. “ Ini minumannya, “ katanya tersenyum sambil kasih minuman ke Ika. (Wah, ini sih bukan cowoknya, tapi calon pembantunya Ika…) Istirahat sebentar, kembali aku melayangkan pandanganku  ke setiap orang yang lewat. Benar – benar cuci mata♥.
Beberapa saat kemudian, kami kembali mengantri untuk naik Pontang – Panting. Kali ini tentu saja bertiga. Yah, meskipun Ika memilih duduk yang agak jauh dari cowoknya, ―yang duduk di sampingku. Setelah berpusing – pusing ria, kami mencari makanan untuk makan siang. Puas menganjal perut, aku kembali menyaksikan adegan ‘perbudakkan’, cowoknya Ika disuruh mengantri Arum Jeram, sedangkan Ikanya sendiri sedang menikmati makanan pencuci mulut yang tadi dibeli, ice cream. Nggak tahan, aku mulai bertanya pada Ika,
“ Ka, sejak kapan lo cari cowok buat jadi pembantu lo? “ tanyaku langsung.
“ Itu, ya? Hm.. sekali – kali boleh ‘kan? Dia juga nggak marah, koq! “ jawabnya sambil menelan suapan terakhir ice cream di tangannya.  Mendengar itu, aku hanya menggeleng – gelengkan kepalaku. (Bener – bener deh nih cewek…) Melihat tempat cowoknya mengantri udah nggak terlalu jauh dari pintu masuk, aku mengajak Ika untuk ikut mengantri bareng. Nggak lama, kami akhirnya dapat giliran juga buat berbasah – basah ria di Arum Jeram. Wuih,…! Tapi, yang sialnya, kenapa di antara kami bertiga ―plus 2 orang lain yang ikut― jadi aku yang baju + celananya paling basah?! Koq, yang lain nggak??... Yah, terpaksa deh, selesai dari Arum Jeram, aku  jadi berjemur sebentar untuk mengeringkan baju dan celanaku. Lumayan bikin bahuku gosong juga, soalnya matahari sorenya lagi semangat’45 bersinar menyinari bumi, baju aja sampai kering! Selesai aku berjemur, kami lanjut ke permainan Kincir – Kincir. Jam di sana sudah menunjukkan sekitar pukul 16.45, tapi orang – orang yang datang malah semakin banyak. Penuh banget! Ketika melewati Panggung Boneka, kulihat rupanya ada pertunjukan musik. Pengen nonton sih…. Tapi  nggak enak sama Ika yang pengen banget naik Kincir – Kincir yang udah di depan mata. Niat naik sih lumayan semangat tapi begitu lihat antriannya yang panjang banget… kayaknya semangat bakal turun. Mesti ngantri berapa jam buat naik nih?? Kulihat wajah Ika, dan ―seperti yang kuduga―, lagi – lagi ‘perbudakkan’ pun dimulai. Tentu saja korbannya nggak lain adalah cowoknya Ika. (Cowoknya koq nggak nolak sih?) protesku dalam hati sambil melihat sekitar Panggung Boneka, ―siapa tau ada tempat buat nonton― (Yah, walau pun aku nggak tau, tapi kayaknya kalau Matahari di’budak’in kayak gitu, ceweknya nggak bakalan selamet tuh! Ngomong – ngomong Hpnya Matahari udah aktif be―) “ lum…., “ lanjutku keluar dari mulut. Setengah nggak percaya, mataku menangkap seseorang yang mirip banget sama Matahari lagi duduk di belakang Panggung Boneka. Style-nya Matahari banget! Kaos merah, celana skate putih, sepatu kets putih, rambut boleh banget! Dengan cepat aku memberitahu Ika tentang apa yang kulihat sambil menunjuk orang itu. Ika tersenyum, terus bilang, “ Ya nggak mungkin lah dia ada di sini. Sadar dong, Cher! Lagipula itu ‘kan jauh, bisa aja mata lo salah gara – gara mikirin matahari terus! Nggak percaya? Samperin aja.., “ semprotnya sambil menantang.
Mendengar itu, aku kembali bersungut – sungut, “ ‘Kan dipager-in, gimana mau ke sana…? “ kataku pelan.  Kembali kutatap orang itu (Emang bener – bener mirip sama Matahari…♥) pikirku sambil tersenyum simpul sendiri. Tiba – tiba Ika mengajakku makan roti bakar yang kiosnya di dekat Panggung Boneka.
“ Cowok lo nggak diajak? “ tanyaku. Ika menggeleng.
 “ Lo tenang aja, nggak usah khawatir soal dia. Soalnya ntar pulang bakal gue kasih yang lebih buat dia♥, “ katanya sambil tersenyum nakal. Entah apa yang Ika maksud, tapi mudah – mudahan aja bukan sesuatu yang berbahaya.
“ Lagipula Cherry suka pertunjukan musik kayak gini ‘kan? “ lanjut Ika, “ Sekalian nonton aja sambil makan roti bakar. Enak, ‘kan? “ katanya tersenyum padaku. Aku terkejut, tapi sepersekian detik aku kembali tersenyum, “ Keren, deh! “ kataku senang. Pertunjukan sudah mulai berlangsung cukup lama hingga kami mendapatkan pesanan kami, 4 roti bakar coklat. Hmm… Delicious!  Makan roti bakar sambil nonton musik emang asyik, cuman lagu yang dipertunjukan sudah bukan aliran kami berdua jadinya ya nggak nyambung. Sambil tertawa, kami memutuskan untuk menyelesaikan makan kami dengan cepat, dan kembali ke tempat antrian. Pukul 17.00, antriannya masih panjang. Kulihat cowoknya Ika masih berdiri nggak jauh dari tempat dia pertama kali mengantri. Pasti capek banget tuh…
         Beberapa saat kemudian, muncul barisan pawai boneka. Keren banget! Bukan bonekanya, tapi orang – orangnya yang didandanin sedemikian rupa menyamai temanya. Ada Ratu Mesir beserta pengawal – pengawalnya, ada Raja Firaun plus mummy dan beberapa pengawalnya, dan Putri – Putri plus Pangerannya yang ―entahlah berasal dari mana. Tapi ada sesuatu yang membuatku agak terkejut dan malu. Di antara barisan kodok hijau, ada salah satu kodok hijau yang menggodaku hingga membuatku tertawa. Dan gara – gara ulahnya itu, dia nyaris tertinggal pasukan kodok yang lain. Entah apa maksudnya, tapi dia berhasil membuat orang – orang melihat ke arahku, sedangkan Ika tertawa puas banget melihatku salah tingkah.
“ Wah, Cher, kayaknya itu Pangeran kodok lo deh! Hahaha… minta cium, tuh! Huahahaha…!! “ ejeknya di sela tawa yang makin meledak. Jelas aja itu membuat mukaku merah. Cuma satu kata yang bisa keluar, “ Sialan lo, Ka… “ kataku. Bukannya berhenti, Ika malah semakin tertawa melihat wajahku jadi merah. Sedangkan orang – orang di sekitarku senyam – senyum. Bener – bener deh…
         Lampu – lampu di Dufan sudah mulai menyala ketika matahari mulai menghilang. Padahal sudah hampir pukul 18.00, tapi kulihat antrian Kincir – Kincir masih juga panjang, sedangkan cowoknya Ika hanya beranjak beberapa meter dari tempatnya semula berdiri. (Gila… lama banget… masa’ iya masih mau nunggu terus…?) 
“ Ka… “ Baru aku mau ngomong, tiba – tiba Ika bangkit berdiri dan memanggil cowoknya. Nggak ngerti, cowoknya Ika jadi mau nggak mau meninggalkan tempatnya berdiri dan menghampiri Ika yang menyuruhnya mendekat.
“ Nggak usah naik itu, deh,.. Lama banget…! Lagian kamu juga kasian berdiri terus. Istirahat dulu gih…, “ katanya menyuruhnya duduk di sampingnya. Kaget, aku jadi bengong melihat Ika yang mulai kalem sama cowoknya (Hee… bisa juga dia baik sama cowoknya…)
“ Nanti kita naik Bianglala sebelum pulang, ya? Udah malem, pasti romantis! “ ajak Ika. Sesaat, nggak sengaja pandanganku  ke arah cowoknya Ika. Aku terkejut melihat wajahnya yang merona merah. Kayaknya nggak mungkin banget kalau itu gara – gara pantulan sinar matahari, yang udah nggak kelihatan lagi alias udah terbenam. Jadi bisa disimpulkan kalau dia malu! (Fu..fu..fu… ternyata dia cowok yang polos, ya? Nggak nyangka, he..he..he...) Antrian di wahana Bianglala nggak terlalu panjang, jadi kami bisa naik beberapa menit setelah ikut dalam antrian. Begitu mulai bergerak naik, baru aku menyesal kenapa aku nggak bawa jaket or sweater. Masalahnya angin malemnya dingin banget..! Bulu kudukku saja sampai berdiri. Tapi kayaknya nggak masalah buat Ika tuh! Ya iyalah, gimana bisa ngerasa dingin kalau dirangkul gitu sama cowoknya? (Ika sey enak ada cowoknya, jadi nggak ngerasa dingin… Iih, jadi pengen punya cowok nih….) Nggak lama, sekitar 15 atau 20 menit, perjalanan kami di Bianglala selesai. Nggak kerasa, kayaknya cepet banget baru naik. Begitu turun dari wahana, tiba – tiba terdengar pemberitahuan dari speaker pengeras suara kalau sebentar lagi Dufan akan segera ditutup. Bengong, liat jam sebentar, ternyata udah sekitar jam 19.38. (Waduh! udah jam segini, nyampe di rumah jam berapa nih…?)  Ika yang kayaknya mikir sama denganku langsung mengajak pulang tanpa makan malam dulu. Perjalanan buat sampe ke pintu keluar udah makan waktu sekitar 10 menit, ditambah harus jalan lagi ke tempat pemberhentian bus kira – kira setengah jam, jadinya waktu kita naik mobil buat pulang udah sekitar jam 20.20 menit. Wuih, untung ada cowok meskipun satu. Takut juga sih pulang malem naik bus kota. Gimana nggak takut? orang semua yang ada di dalam bus tampangnya nggak ada yang bisa di bilang ramah. Iih…  Sekitar pukul 9 malem lewat dikit, kami bertiga sampai di stasiun kota. Untuk sampai ke rumah, kami harus naik mobil sekali lagi. Dan Untungnya, mobil jurusan Bekasi masih ada beberapa buah. (Fiuuh.. Untungnya masih ada mobil… Bahaya juga nih udah jam segini. Mana penumpangnya cuma sedikit lagi… )  
         Sekitar pukul 22.45pm, akhirnya aku berhasil menginjakkan kakiku di rumah dengan selamat. Cape’ bangeet! Kalo diliat dari lampu yang udah dimatiin, kayaknya orang rumah udah pada tidur semua. Dengan gaya yang mirip maling, aku mulai membuka pintu luar. Sebenarnya takut juga kalo tiba – tiba diteriakin maling beneran ama hansip. Tapi ya nggak mungkinlah maling  style-nya kayak gini. Pelan – pelan aku mulai memasuki kamarku.
“ Haah… cape’ banget..! “ Aku menghempaskan badanku ke kasur yang empuk, “Hhh… “ Pandanganku menerawang ke langit – langit kamar. (Untung Matahari nggak ikut., cape’ banget! Fuh… Matahari lagi ngapain ya kira – kira..? ……Sms ah!) Dengan cepat, aku meraih Hp di meja dan mulai mengetikkan sms untuknya. Mlm, Matahari.. lagi ngapain? Cherry baru pulang dari Dufan nich. Tadi pagi koq Hpnya nggak aktif? Tapi, untung deh Matahari nggak ikut, capek bgt…! Oia, tapi Cherry ketemu cowok yang mirip kayak Matahari, loch! Apa itu emang Matahari, ya? He~… Seneng dech! Yaud, met mlm yach! Setelah ada laporan delivered, aku melangkah ke kamar mandi alias mau mandi, soalnya badanku udah bau keringet. Waktu badan lagi cape' emang paling enak kalau berendam air hangat.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

         Happy New Year! Nggak kerasa tau – tau udah ganti tahun yang baru. Dan itu artinya… 4 bulan lagi menuju ujian akhir! Huwaa.. rasanya masih belum siap lahir dan batin. Nggak kebayang gimana soal – soal yang bakalan kami, para murid, hadapi nanti. Apalagi nilai standartnya udah dinaikkan daripada tahun lalu. Kayaknya sih nggak bakalan lulus kalau nggak berjuang ekstra keras. Pokoknya mesti berjuang! Semangat! —lupakan dulu soal kepindahan Matahari—
         Buku besar di hadapanku kubuka. Mataku langsung melotot (baca:fokus) mempelajari soal – soal yang mungkin akan keluar waktu ujian nanti. Tapi, sudah hampir 2 jam aku duduk, aku baru menyelesaikan ¼ lembar dari buku yang tebalnya udah kayak buku ensiklopedia paling tebal yang pernah ada. Judulnya: Kumpulan Latihan Soal – Soal Ujian SMA PASTI LULUS! Kayaknya yang bikin buku ini yakin banget kalau yang pelajarin bukunya pasti sukses. Tapi.. bukannya yakin bakalan lulus, yang ada malah sekarang kepalaku jadi pusing.
         Sambil istirahat sebentar, aku membuat secangkir coklat hangat. Kalau dipikir – pikir, kayaknya cara belajarku juga rada salah. Mestinya kalau murid yang baik belajarnya dari jauh – jauh hari. Kalau bisa waktu masuk kelas 3, udah mulai belajar serius. Jadinya udah nyiapin perbekalan dari dulu. Tapi, mungkin sebagian juga udah nyiapin perbekalan yang ‘sesat’ buat ujian nanti. Yah, kalau itu untung – untungan juga. Coba kalau ketahuan, udah malunya nggak karuan, nggak lulus pula. Pindah planet deh.,
         Nggak kerasa coklat hangat di cangkirku udah habis kuminum. Waktunya ke kamar dan kembali bertarung dengan soal – soal latihan. Nggak ada 5 menit, aku kembali tenggelam dalam keseriusan mengerjakan soal – soal waktu pelajaran tambahan. Tiba – tiba Hp-ku bergetar hebat kayak mau menarikku dari ‘ketidaksadaran’. Kulihat display Hp, 2 messages from Matahari. Kubuka dan kubaca pelan, Cherry, met taon baru, ya. Semoga apa yang diharapkan tahun ini dapat terkabul dan menjadikan tahun kemaren pelajaran untuk memotivasi tahun ini… God blez U.. sedangkan sms yang satu lagi isinya sama, yang beda hanya waktu kirimnya, beda 8 menit. Dengan cepat aku membalasnya, Met tahun baru juga, Matahari. Semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih bersinar untuk Matahari. GBU too. *Delivered*.  Oke! Tahun baru semangat juga baru! Ayo berjuang biar lulus!
         Senin. Hari pertama masuk sekolah di tahun yang baru. Nggak ada yang spesial karena sumber semangatku udah nggak ada lagi di K.U. Hiks...Hiks... Sebenarnya aku sempat menelpon Matahari sehari sebelumnya. Tapi begitu kutanya di mana tinggalnya sekarang, dia hanya menjawabnya dengan, “ Ssstt.. rahasia.. “ begitu katanya. Yah, lagipula di sekolah, aku juga nggak sempat mikirin Matahari lama – lama karena guru – guru dengan kejam memberikan latihan soal – soal tanpa ampun. Sepanjang hari selama 8 jam++ kami, para murid kelas 3IPA2, hanya disuruh menelan bulat – bulat  semua soal mengerikan yang di kasih. Itu pun masih belum selesai, selain harus dilanjutkan di rumah sebagai pe-er, soal – soal itu juga akan dilanjutkan lagi di keesokan harinya. Derita Neraka di hari selasa pun berlanjut.
         Bel istirahat menyelamatkan kami dari siksaan soal – soal yang susahnya minta ampun. Kayaknya guru – guru juga nggak kalah semangat kasih soal – soal latihan ujian biar muridnya lulus semua. Setelah guru melangkah keluar kelas, baru kami bisa menghela napas. Lega.
“ Wuaah… Gila!  Bisa gila beneran nih gue! “ gerutu Adit mengacak – acak rambutnya yang berombak nggak jelas. Di sampingnya ada Baqõ yang lagi duduk dengan tatapan mata kosong layaknya patung arca di candi - candi. Kayaknya pikirannya lagi di awang – awang, deh. Sebenernya kepalaku juga rada pusing. Apalagi harus menghadapi pelajaran yang nggak kusuka, Matematika. Tapi kalau buat kelulusan mau nggak mau harus mau and harus bisa ngerjain. Di sampingku ada Uerul yang lagi nggak sadarkan diri. Dari tadi dia hanya meletakkan kepalanya di atas meja, sambil sesekali digoyang ke kiri ke kanan.
“ Wah, kalo gini terus sih bisa stress duluan sebelum ujian… “ Dari belakang Panji datang menghampiri. Kayaknya dia juga punya beban yang sama. Sedangkan Ika, Lilis, dan Wulan lagi ke kantin beli makanan buat makan siang sekaligus beli pesananku.
         Nggak lama, mereka bertiga kemudian datang. Acara makan siang bersama pun dimulai setelah Uerul sadar dari pingsannya, eh, maksudnya tidur – tiduran dan mengeluarkan kotak bekalnya.
“ Aduh… kepala gue sakit nih!  kayaknya gue kurang tidur, deh…, ” kata Uerul sambil memasukkan suapan pertamanya ke mulut.
“ Lo kebanyakan makan soal – soal, kali.. makanya lo kurang tidur, “ kata Lilis menanggapinya asal.
“ Eh, ngomong – ngomong soal tidur, Wulan semalem mimpi aneh, loh! “ Wulan mengernyitkan dahinya mencoba mengingat, “ Ng, mimpi apa, ya..? Oia! Mimpi Matahari! “
“ Uhuk! ..Uhuk!! Apa lo bilang tadi? M-Matahari? “ tanyaku sambil berusaha napas.
“ Iya. Namanya Matahari, ‘kan? Cowok ganteng yang suka bareng sama Cherry? “ Pertanyaan Wulan langsung membuat wajahku merah.
“ Eehh… suka bareng apanya..?? “
“ Dalam mimpi Wulan, Matahari masih di sini. Dia juga masih sekolah di sini. Tapi, Mataharinya beda. Dia jadi baik. Masih tetep dingin, tapi beda aja.. “ Wulan berusaha menelan nasi di mulutnya, dan kembali melanjutkan perkataannya, “ Nah, terus Cherry sama Matahari pulang bareng. Teruss… “ Wulan mendekatkan wajahnya ke mukaku, begitu juga dengan Ika, Lilis, Uerul, dan cowok – cowok yang ikut nguping dari belakang: Adit, Baqõ, Panji. Senyum mengembang di mulut Wulan, “ Kalian gandengan tangan! “ katanya sedikit histeris dan dilanjutkan teriakan dari Ika, Lilis, dan Uerul. Mendengar itu, wajahku kembali bersemu merah.
“ Se-sebenernya lo mimpi apa sih, Lan? Koq, bisa mimpi kayak gitu? “
“ Nggak tau. Ada feeling kali lo berdua bakalan jadian? “ Wulan senyam – senyum melihatku salah tingkah. Ya, tentu saja! Soalnya yang aku tahu feelingnya Wulan itu sering tepat. Tapi mungkin kali ini bisa aja meleset. Kenapa aku bisa jadian sama Matahari? Memikirkannya aja udah bikin wajahku kembali merah. Tiba – tiba Adit menepuk kepalaku dari belakang, “ Jangan ngarep yang muluk – muluk, deh… “ katanya. (Ugh!)
“ Iya, iya… tau koq!  “ (Tapi aku berharap kalau firasatnya yang pertama itu bener… kalau Matahari emang masih sekolah di sini. Yah, semoga aja..!)
         Matahari siang udah di atas kepala. Puanass banget. Mungkin lebih tepat dibilang terik daripada cerah. Dengan langkah gontai, aku melangkah menuju perpustakaan yang ada AC-nya. Tapi di tengah jalan, Roswani, —teman sekelasku yang juga temannya teman Matahari, memanggilku.
“ Cherry…! Matahari masih di sini..! “ katanya setengah teriak.
“ Hah??~ “ Udara panas berhasil membuat otakku jadi lemot.
“ Ihh.. Cherry gitu deh! Udah lupa sama Matahari, ya? Nih, denger baik – baik. Matahari tuh masih di sini, sekolahnya juga masih di sini, “ katanya lagi mengulangi. Beberapa detik kemudian aku baru ‘ngeh’.
“ Apa lo bilang? Matahari? Kata siapa?? “ tanyaku beruntun.
“ Dari Choco... Nggak percaya? Kalau gitu kita tanya aja lagi. Tuh, ada Musa di lapangan, ayo kita samper, “ ajak Roswani menarik tanganku ke lapangan. Nggak sampai 5 menit, aku dan Roswani udah sampai di pinggir lapangan tempat Musa yang tadi ditunjuk Roswani.
“ Musa..! sebentar deh! “ Nggak lama cowok yang ngerasa namanya dipanggil datang nyamper. Aku tertegun. (Jadi ini yang namanya Musa? Kalau nggak salah Matahari pernah cerita…)
“ Tuh ‘kan, Cher! Matahari masih sekolah disini. Senin aja masuk, “ kata Roswani menyadarkanku dari lamunan.
“ Eh!? Tadi bilang apa? Matahari masuk hari senin? “ Roswani ngangguk. (Koq aku nggak liat??!!) Setelah mengusir Musa kembali ke lapangan, Roswani memutuskan untuk ke kantin. Sedangkan aku… Tanpa sadar aku melangkah ke kelas 2IPS4 tempat Matahari. Aku melongok ke dalam kelas. Kosong. Nggak ada siapa – siapa kecuali kursi – kursi yang berantakan. Kulihat daftar absensi 2IPS4. Ada! Matahari ada! Matahari masuk! Matahari belum pindah! Matahari masih di sini! Iyeii!! Semangatku langsung muncul begitu tahu kalau Matahari masih di sini. Itu berarti aku masih bisa melihatnya. Seneng banget! Ternyata feelingnya Wulan emang bener!
         Tiba – tiba bel masuk untuk anak kelas 3 untuk kelas tambahan berbunyi nyaring. Rasanya jantungku hampir keluar dikagetkan begitu tiba – tiba. Pelan – pelan aku meletakkan buku absen seperti semula, dan melangkah keluar. Sampai di jembatan kelas tiga, Kartika memanggilku,
“ Cher, udah ada guru, buruan! “ kepalanya muncul dari jendela kelas di lantai tiga.
“ Eeeh?! “
“ Ngomong – ngomong tadi gue ketemu Matahari, loch! “ lanjut Kartika sesaat setelah aku lari meninggalkan jembatan. Sampai di pintu kelas, kayaknya aku pengen jatuh tersungkur aja kayak di komik begitu ngeliat guru yang lagi duduk di kelas. Ada guru sih iya, tapi gurunya lagi asik makan, malah sampai menawariku makan segala. “ Nggak, Bu. Makasih, “ tolakku sopan sambil jalan ke tempat Kartika yang lagi cengengesan di bangku.
“ Nggak penting soal guru. Kayaknya tadi gue denger lo ketemu Matahari, ya? Gimana ceritanya? “ tanyaku sambil memukul bahunya bercanda.
“ Dyuuh, Cherry… Cape ya lari – larian? Hehehe… makanya jangan ngelamun, pake senyam senyum sendiri di jembatan lagi… Hehehe.. “ ledeknya sambil nyengir.
“ Udah ah, nggak usah dibahas. Cerita tentang Matahari, donk? “ pintaku sekalian ambil bangku di depannya dan duduk dengan posisi siap mendengarkan.
“ Ya, ya… Tadi gue ketemu Mataharinya di tangga waktu gue naik abis dari kantin. Gue kaget, soalnya kata lo 'kan Mataharinya pindah sekolah… “ Aku mengangguk – angguk. “ Ya, gitu aja. Trus gue lewat di sampingnya. Selesai. “
“ Cher, kemaren gue ketemu Matahari waktu pulang sekolah di gerbang. “  Cepat, aku menoleh. Alin berdiri di belakangku sambil ngemut permen lollipop. (Lagi??)
“ Koq, gue belum liat….????? “ Aku ngelonjor lemas di meja. Nggak lama, pelajaran pun dimulai setelah guru merapikan mejanya dari bekas – bekas makanan yang dia makan. Kalo diperhatiin baik – baik, kayaknya penghuni kelas udah berkurang setengahnya dari jumlah yang tadi pagi penuh. Tas – tasnya pun udah pada nggak ada di tempatnya. Kapan mereka kabur? Koq, gurunya nggak nanya apa – apa? Kalo izin juga nggak mungkin dibolehin segerombolan gitu. (Koq, nggak ngajak – ngajak mau cabut?)
 Sekitar jam 4 sore, aku sampai di rumah, dan langsung mencoba menghubungi Matahari. Nggak lama, suara khas Matahari menggema di telingaku.
“ Kenapa, Cher? Udah pulang? “
“ Ah, iya. Matahari lagi di rumah? “ tanyaku deg – deg-an.
“ Iya. Lagi tidur – tiduran di rumah. Di luar panas, jadi males keluar… “
“ Matahari.. masih di K.U? Nggak jadi pindah…? “ Jantungku berdetak semakin cepat. Setelah mendengar desahan napasnya di telepon, nggak lama suara tawanya menggema.
“ Hahaha… jadi mau nanya itu? …Bukannya nggak jadi, tapi diundur sampai selesai ujian… “ jelasnya sambil dibarengi suara ketawa. Mendengar itu, rasanya aku mau loncat saking senangnya.
“ Beneran? Wuah, syukur, deh…! Kirain Matahari udah pindah… “
“ Iya. Lagian masih banyak yang mesti diurusin Matahari… “ jelasnya pelan. Meskipun penasaran, kayaknya aku juga nggak boleh tanya macam – macam kalo itu urusan pribadi. Kalo nanti kena masalah lagi, aku sendiri yang repot. Yang penting Matahari masih ada di K.U itu aja udah bikin aku seneng.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Februari! Bulan penuh cinta!♥♥ Ngomongin bulan februari dan cinta, pasti ujung – ujungnya Valentine. Coklat!! Wangi coklat dan nuansa pink pasti ada dimana – mana termasuk dapurku.
“ Hmm… bingung nih bikin coklat buat Matahari… “ Coklat batangan di hadapanku kuputar – putar sambil mikir desain yang cocok untuk cowok itu. Ada alasan kenapa aku mau bersusah payah bikin coklat seperti ini hanya untuk seorang Matahari. Mari kita ulang lagi kejadian beberapa hari yang lalu sebelum bulan Februari datang.
Sore sekitar jam 4an pulang sekolah, aku yang sampai saat itu belum bertemu muka dengan Matahari mencoba menelponnya untuk menanyakan apa dia suka coklat atau tidak. Seperti yang kuduga, dia langsung tahu kalau aku berniat memberinya coklat Valentine.  
 “ Dasar.. bilang aja mau kasih coklat ke Matahari, kenapa pake alesan cuma mau nanya aja? “ katanya mengerutu di telpon, “ Emangnya Cherry bisa bikin coklat? “ tanyanya setelah membuatku malu – malu salting.
“ Eh?... Yah… “ aku bingung mau jawab apa, soalnya aku memang baru pertama kali bikin coklat terlebih lagi buat seorang Matahari. Lagi – lagi Matahari berhasil menebak apa yang aku pikirkan, “ Matahari nggak mau jadi kelinci percobaannya Cherry, ntar kalau Matahari sakit perut, gimana?? “ sewotnya, “ Pokoknya Matahari mau blackforest sebagai tanda sayang Cherry ke Matahari! “  Aku yang tadinya mau protes langsung diam seribu bahasa. (Sayang? Tanda sayang aku ke Matahari? Aku sayang Matahari??Blackforest?)
Roger that!  ” tanpa sadar aku langsung menjawabnya. Mukaku langsung terasa panas. Malu banget!
“ Ngomong apa sih? Apaan tuh roger? Matahari nggak ngerti deh! “  
Boleh tertawa? Hahaha… Kayaknya kali ini aku bersyukur dia nggak ngerti bahasa Inggris padahal kalau dia tau, malu banget - banget deh!
“ Yah, pokoknya kalau dah jadi, Cherry langsung kasih ke Matahari deh..! “ kataku bersemangat. “ OK! “ jawabnya puas.
Dan sekarang di sinilah aku. Di dapur yang udah kayak abis perang, alias berantakan banget. Waktu itu, aku emang bersemangat mau bikin ampe nggak sadar sesuatu: Gimana caranya bikin blackforest?! Coklat yang sederhana aja nggak jadi – jadi…
Hontou ni baka, ne[4]gimana nih?? Ma_chan[5]“ Kepalaku mulai digeleng ke kiri dan kanan. Bingung.
13 hari menuju Valentine’s Day.
“ Ikaaaa~~~… “ Aku memanggil Ika di depan kamarnya yang tertutup dalam rumahnya di siang hari yang cerah (baca: terik). Tidak ada jawaban. (Mana nih orang? Dah siang koq masih tidur??) Nggak lama mboknya datang, “ Aduh, mbak Cherry, non Ikanya baru tidur tadi, non baru pulang pagi.. “ (What?! Pulang pagi?! Abiz ngapain tuh anak?)
“ Emangnya dia dari mana, mbok? Kog pulang pagi? “ tanyaku was was.
“ Oh, dari semalem dia nginep di rumah temennya buat ngerjain tugas untuk anak – anak di sekolah minggu nanti malem, “ jelas mboknya yang nggak masuk di otakku. (Tugas sekolah minggu? Sejak kapan dia jadi pembimbing?? Wah, nggak beres nih..)
“ Aku tunggu aja ya, mbok.. palingan sebentar lagi bangun.. “ kataku akhirnya. Mbok mengangguk lalu melengos pergi. Sambil menunggu Ika bangun, aku masuk ke kamarnya dan mengambil beberapa komik untuk membunuh waktu. Menjelang sore, Ika baru membuka matanya, “ Wuah! Cherry! Kaget gue.. Ngapain? “ Hening. 2 menit.
“ Eh, udah bangun, Ka? “
“  …. (Kebiasaan… budeknya kambuh kalo udah pegang komik)
Nggak dijawab, aku kembali membaca. “ Woi.. “
“ Oia! Ngapain lo pulang pagi? Ngaku! “ Ika bengong plus kaget, karena tiba – tiba aku tanya, dan jawabannya adalah, “ Hahh~?? “ reaksi yang benar mengingat dia baru bangun dan rohnya belum terkumpul semua, lebih daripada itu napas naganya pun langsung membuatku reflek mengambil jarak aman. “ Ampun deh, naganya tuh,.! Kamar mandi dulu sana... “ suruhku layaknya tuan rumah.
Hampir 1 jam kemudian, Ika kembali ke kamar saat matahari sudah berwarna jeruk.
“ Cher, koq jadi lo yang keasikan baca komik? “
“ Nanggung. Lagi seru… “ Hampir 10 jilid komik berserakan di ranjang Ika. Sambil menungguku selesai, Ika melanjutkan ritual sehabis mandinya di meja rias.
“ Ka, lo jadi pembimbing sekolah minggu? “ tanyaku akhirnya sambil merapikan komik – komik itu kembali ke lemari.
“ Iya.. seru loh! Anak – anaknya lucu. Yah, lebih banyak yang nggak bisa diaturnya sih.. “ jawabnya di depan kaca.
“ Hmm, sampai pulang pagi? “ Introgasi pun di mulai.
“ Nggak gitu juga sih.. Gara – gara keasikan jadi nggak mau pulang.. “ (Ambigu tuh!) Di jawab seperti itu, aku jadi semakin ingin tahu, “ Maksudnya? Emangnya lo nginep di mana? “
“ … … di rumah anak pendeta. “ jawabnya pelan. (? Siapa tuh?)
Hitori?[6]
Ja..., Kenapa? Khawatir? “ Ika tersenyum melihatku dari kaca mejanya. Dari riasan wajahnya sepertinya dia sudah bersiap untuk pergi ke sekolah minggu. (Are? Chotto matte….)
“Akh! Baka! Ka, gue ke sini ‘kan mau curhat! Matahari..— “
“ Iya tuh, mataharinya udah mau tenggelam.. “ candanya sambil menunjuk ke jendela.
Not that sun! That little cute Sun! Matahari minta dibuatin blackforest buat Valentine nanti.. Gimana nih? “
Why my lil’cute friend become this stupid?(What?!)You can buy it, can’t you? “ Aku terdiam mendengar usul itu. (Bisa juga sih.. tapi kan.. )
“ Tapi gue pengen bikin sendiri buat Matahari. Can you help me? Please? “ rayuku dengan tatapan kucing memelas yang kutahu Ika paling nggak tahan yang seperti itu.
“ Uhh.. How cute you are~~ ♥! Okay, I’ll help you as I can.. “ (Yosh! Berhasil..!)
            Nggak lama setelah makan malam bersama, Ika berangkat ke sekolah minggu, dan aku pulang ke rumah. (Perasaan ada yang lupa… Apa ya?)
“ Ah! Siapa anak pendeta tadi?! “ (spx: DOONG~!)

Di rumah,
~browsing, browsing, browsing~
“ Ah~~ Kebanyakan liat gambar blackforest malah jadi kepengen sendiri…. “ Aku ber-monodialog di depan komputer sambil menahan air liurku supaya nggak tumpah. Asli! Bikin ngiler gambar blackforest-nya.
“ Hmmm…. Kayaknya yang ini yang paling sederhana… “ gambar blackforest mini dengan hiasan sederhana plus cara membuatnya. “Coba ah besok..! “ Selesai mencetak file, aku langsung menuju ke pulau kapuk tercinta.

Di sekolah, nuansa Valentine mulai terasa, berhubung tanggal 14 Februari adalah hari jadinya sekolah K.U, perayaan pun segera disiapkan. Tahun ini setiap kelas berlomba membuat hiasan valentine sebagus mungkin dan kelasku menyiapkan tema ‘Kelas Cantik Bernuansa Kamar Sendiri’ *Maksa*  Jam sekolah yang seharusnya selesai jam 14:00 tepat teng, sekarang jadi ngaret sampai berjam – jam. Alasan terbesar adalah hiasin ruang kelas. Ngomongnya sih gitu, padahal aslinya lebih banyak ngabisin waktu buat adu pendapat mau diapain lagi kelasnya. Akhirnya kelas pun berubah jadi medan perang pendapat. Ya di kasih taplaklah semua meja, ya di kasih lukisanlah temboknya, ya dikasih wallpaperlah setiap dindingnya, ya di kasih gordenlah jendelanya, ya di kasih tirai ‘selamat datang’lah di pintu kayak di resto-resto mahal.. Yang menjadi sumber tenaga buat kerjain semua kerjaan berat alias para murid cowok cuma diem aja liat cewek – cewek makin lama malah makin beringas, ya nggak sampai harus ngelempar bangku setidaknya, tapi hasilnya kerjaan nggak selesai – selesai sampai akhirnya mereka cape sendiri. Aku sebagai pihak netral cuma bisa liat sambil ngerjain origami ‘Tsuru’ alias burung bangau buat nantinya mau di tempelin ke jendela – jendela. Niatnya sih pengen sekalian bikin boneka Teru – Teru Bozu, tapi yang ada nanti aku digebukin sama tukang kebun gara – gara nggak turun hujan. Niat pun diurungkan. (Sigh… )
Target kerja nggak kecapai bikin kerjaan makin molor buat ke depannya. Padahal penilaian dimulai seminggu sebelum hari H. Bisa pulang sekolah makin malem besok – besok. TAPI! *Penekanan kata tapi* Hihihihi… Matahari juga pulang sore. Nggak tau ngerjain apa, tapi kayaknya dia sering pulang agak sore. Kayak hari ini.
“ Cherry baru pulang juga? “
“ Hah?! “ Kaget plus seneng banget disapa duluan. Koq bisa tau ya ada aku di belakangnya? Padahal kan aku sudah mencoba menghilangkan hawa keberadaan, niatnya sih pengen ikutin sampai ke rumahnya.. khuhuhu♥ (Mesum mode: ON) jadi gagal deh...
“ Cher?? “
“ Ha? Oia! Iya pulang sore sekarang, ada kegiatan hiasin kelas buat ikut lomba, “ jelasku malu ketauan lagi ngelamun.
“ Hm... “
Oia! Lupa dijelaskan! Aku sudah ketemu sama Matahari, itupun gara – gara ada upacara bendera dadakan waktu hari senin kemarin. Seneng BGT! Plus shock juga. Heart attack di pagi hari. Soalnya Matahari tambah keren!! Asli, keren sangat! Jadi beda. Padahal tahun lalu rambutnya agak coklat kemerahan, sekarang hitam. Benar – benar hitam mengkilap. Tambah keren♥! *nose bleed* Udah gitu jadi tambah putih. Trus rada – rada jadi perhatian gitu. Keren, tinggi, putih, perhatian.. Wuih~~♥♥♥  EHM! Eniwei because that problem, sekarang aku jadi rada takut kalau lagi deket sama dia. Takut ketahuan lagi deg – deg-an kayak sekarang ini.
“ Cher? Koq liatnya ke bawah terus? Nggak takut nabrak di depan ya? “ katanya pelan. Ngomongnya sih biasa, tapi tangannya nggak biasa. Dia nepuk pelan kepalaku! Gyaaa~~~~ (>/////<)
HAH?!! NGGAK KOQ! NGGAK NABRAK! Speechless. Mau mati. Kayak keselek salak plus sama kulit – kulitnya nyangkut di tenggorokan. God! I’m so happy now!! but why my voice become like this??!
“ Kenapa? “
Nggak sanggup jawab, aku hanya menggelengkan kepalaku dengan kecepatan cahaya berharap kalau Matahari nggak liat mukaku yang kayak tomat busuk ini, merah nggak karuan, plus panas kayak di kompor meleduk.
“ Muka Cherry merah loh… “
(Geezz, God, please make this kid to shut up, I can’t hold it anymore…)
“ Ma-Ma-Mat-… “ Tarik napas sangat amat dalam, dan lepaskan! (FYYUUUUUH~~!!!) lega dikit, “Mata..hari juga koq tumben pulang sore? Bareng sama anak kelas tiga... “ Akhirnya! Bisa juga kembali normal, aku kira bakalan pingsan di tempat. Bener – bener deh nih anak satu bisa banget ngerjainnya.
“ Iya, tadi abis main di klub band bareng temen - temen, nyoba gitar baru, tapi gara – gara kelamaan main, disuruh bantuin beresin, tapi ujung - ujungnya malah ditinggal, “ jelasnya. Sambil mendengar penjelasannya, aku langsung ngebayangin gimana dia main gitar. *nose bleed♥*
“ Kog, Cherry bengong? “
Nggak tahu kenapa, kayaknya sore ini, Matahari lagi bersih koneksinya, langsung cepet tanggep. Heran. “ Matahari jadi beda ya? Apa pengaruh penampilan,  ya? “ Nggak sadar, aku menatap mukanya. Dan inilah hasilnya. Heart attack ver.II gara – gara kekuatan senyuman 1 juta volt.
“ Hmm? Masa sih? *senyum 1juta volt!* Kayaknya Matahari biasa deh! Cherry tuh yang jadi beda! “ katanya sambil nunjuk ke mukaku. Langkah kami berhenti. (Maksudnya?)
“ Maksud Matahari? Koq jadi Cherry yang beda?? “ Jantungku mulai berdetak cepat.
“ Iya, jadi beda! Biasanya juga sering telpon. Sekarang nggak. Jarang banget nelponnya. Trus apaan tuh mukanya merah? Biasanya juga nggak. Cherry aneh! “ Selesai. Hening. Yang bisa kucerna adalah, “Matahari kangen ya jarang di telponin?“ tanyaku singkat sambil tersenyum di tahan. Wah, wah..♥
“ Nggak. Bukan kangen! Jadi berasa aneh aja Cherry jadi jarang telpon, biasanya nggak pernah absen ngubungin Matahari, “ jawabnya sambil melanjutkan langkah. Hampir sampai di tempat fotokopi langganan. Aku diam nggak jawab. Shock karena senang. (Yang aneh memang Matahari, mana pernah dia peduli kayak gituan. Di telpon ayo, nggak di telpon juga peduli amat. Kenapa sekarang jadi protes? Harapan bukan ya?)
Cherry dah punya cowok ya? “ 
Haruskah aku senang? Apa ini tandanya kalau Matahari
“ Matahari dukung koq kalau Cherry punya cowok. “ *DEG* lemes deh, padahal tadi udah seneng kirain Matahari ada rasa, taunya emang beneran nggak mikirin… Hiks! Pengen nangis jadinya.
“ Nggak punya cowok koq. Cherry lagi sibuk sama ujian sekolah, ditambah kerjaan sekarang hiasin kelas, jadi agak susah nelpon Matahari, takut jadi ganggu, “ jelasku pelan, hilang semangat.
“ Justru― “
“ Loh, Cherry baru pulang? Tumben bareng! “ Sapaan Ibu fotokopi menahan omongan Matahari yang langsung diam. “ Iya, tadi ada tugas sekolah. Ayo, Bu, pulang dulu! “ Jawabku sopan. Nggak sabar pengen dengar lanjutan dari kata – kata Matahari tadi, aku langsung kembali melanjutkan jalan barengnya.
“ Matahari tadi mau ngomong apa? “ Tapi Matahari nggak jawab. Dia tetap diam sampai di tempat tunggu angkot. Penasaran, aku jadi menemaninya nunggu angkot datang. 5 menit dalam keheningan (Geez, kemana perginya suasana tadi yang seru? Pemakaman kalah nih!) Nggak lama angkot yang ditunggu datang. “ Ah, Matahari. Angkot tuh! “ kataku spontan. Matahari diam. Angkot berenti tepat di depannya.
Hei, ganteng! Mau naik nggak? “ Supir juga kena feromon Matahari ya sampe mabok gitu??
“ Justru yang biasanya sering mengganggu kalau hilang langsung terasa sepinya, bye-bye, “ Matahari naik ke angkot dan duduk membelakangiku. “ Neng mau naik juga? “ tawar supir angkot, aku menggeleng.
“ Da’dah, Matahari…  “ kataku akhirnya dan angkot pun mulai bergerak pelan.
“ Nanti Cherry hubungin, “ lanjutku lagi yang hanya di jawab dengan anggukan kepala Matahari. Aku tetap berdiri di tempat sampai angkot yang membawa Matahari nggak keliatan. “ Emang dasar anak kecil~~~~♥! “
Pikiranku jadi kacau. Kalau sikapnya Matahari kayak gini malah kesannya kasih harapan, tapi kalau terlalu berharap juga takut salah ngartiinnya. Apa masih bertepuk sebelah tangan apa udah nggak? Kan jadi kepikiran…
Matahari udah siap di ganggu sama Cherry? He3 Cherry selalu ada waktu koq buat Matahari, tapi kalau Cherry nggak ngubungin Matahari berarti Cherry lagi sibuk sama tugas sekolah ya. Yaud, jangan lupa mkn ya. ^^ -send- Fuh, emang dasar. Ada – ada aja Matahari, toh dia sendiri juga belum tentu nanggepin kalau di hubungin. Yaudalah, ambil aja positipnya kalau dia udah biasa sama kehadiranku. Tinggal 1 masalah yang belum selesai, blackforestnya gimana????

“Kaa_chan~~~ “ Aku selojor lemas di mejanya Ika yang lagi nyalin tugas di waktu istirahat pagi menjelang siang hari ini. Tanpa menghentikan tangannya yang bergerak, dia cuma menjawab singkat, “ Kenapa? “ Kulihat tulisannya jadi nggak bisa kebaca untuk memburu waktu.
“ Nyalinnya berantakan banget, Ka… nggak ketauan tuh?  “ Tangannya cepat langsung pindah posisi ke pipiku,  “ Nih anak satu.,! Kirain mau ngomong apa, taunya cuma komentar aja… “
“ Sakit~… abisnya kalau dibantuin malah lebih mencurigakan tulisannya beda..“ elakku sambil mengusap pipiku, “ Ka~ bantuin bikin kue.. “ kataku akhirnya.
“ Cherry ini,.. emangnya nggak apa kalau ada campur tangan dari gue di kue lo itu? Buat Matahari seorang kan? “ tanyanya sambil melanjutkan tangannya tetap bergerak di atas buku.
“ ….. gue udah dapet resepnya, tapi sama sekali nggak ngerti… “ gue menenggelamkan kepalaku di atas meja. Tiba – tiba kepalaku dipukul lagi. Baru mau protes ke Ika, tapi ternyata bukan Ika pelakunya.
“ Adit! Ngapain lu pukul kepala gue? Sakit tau mantul ke meja! “
“ Lu ini kan yang sakit.. “ (What?! Apa coba maksudnya?!!)
“ Lagi nyari masalah ya?!  “ jiwa premanku pun kumat. Apalagi dipancing buat masalah yang nggak penting kayak gini. “ Ngapain coba lu mukul gue? Perasaan dari tadi gue nggak gangguin lu deh! “
“ Nggak tau, kayaknya kepengen mukul kepala lu aja yang dari tadi gue peratiin ngeledek gue terus.. “ jawabnya akhirnya. Bengong sebentar beberapa detik. “ Lu dah gila ya, Dit? Perasaan kepala gue dari tadi diem aja… “ jawaban bodoh pun meluncur keluar. Ika lagi nggak ikut campur kayak biasanya kalau 2 orang gila dah kumat, soalnya lagi sibuk menambah kecepatan menulis yang kulihat tulisannya makin nggak kebaca, nyaris kayak cuma garis – garis keriting di kertas.
“ Lo ini kan nggak kayak kebanyakan cewek yang feminim, jadi nggak mungkin bisa bikin kue. Kasian Matahari, hidupnya cuma sampai valentine aja.. “ katanya lagi sambil bernada memelas kasian. Bikin kesel!
“ Wah, beneran nyari masalah lu ya? Liat aja nanti! Lu yang pertama kali gue  sumpel mulut lo pake kue bikinan gue! Biar lo rasain gimana rasanya… ! Dasar bikin emosi aja! “ Aku langsung buang muka tanpa beranjak pergi dari tempatku duduk. Adit juga kembali ke tempat duduk begitu aku cuekin. Kudengar akhirnya Ika buka suara meski pelan, “ Dasar Adit.. Sukses juga usahanya, “ lalu diam. Aku penasaran pengen tanya maksudnya apa tapi nggak jadi berhubung wajah Ika udah kayak orang yang mencoba melawan waktu yang berjalan terus. Ngeri.
Pulang sekolah aku sengaja ikut Ika pulang. Rencana ‘menghancurkan’ dapur Ika pun mulai berjalan setelah belanja seluruh bahan dan alat. 5 menit kami berdua menatap resep yang telah kuprint waktu itu di dapur Ika yang udah kayak di acara memasak, banyak mangkok – mangkok yang berisi segala macem bahan yang udah di ukur.
“ Cher, gue bingung. “ Kalimat yang singkat, jelas, padat berhasil membuatku serangan jantung mendadak. “ koq, bingung, Ka? Mananya yang bikin bingung? Susah ya? Nggak jadi dong? “ tanyaku mulai panik.
“ Ah, nggak. Bukan itu,. “ Aku bernapas lega, “ Terus? Kenapa? “
“ Modelnya nggak terlalu cantik buat Matahari?? Dia kan cowok dingin… “ Aku bengong. Aku memilihnya memang menurut seleraku, bukan menurut selera cowok. Soalnya kan cowok nggak tau yang kayak beginian. (Matahari, ya? Kira – kira dia suka yang kayak gimana ya?)
“ Dit, ke rumah gue sekarang ya, gue tunggu. “ Telpon ditutup. Bengong lagi. Ngapain manggil Adit?
“ Ngapain manggil Adit, Ka? Nanti yang ada gue perang lagi sama dia… “
“ Udah tenang aja. Dia nggak bakalan nyari ribut koq. Dia kan cowok, pendapat dia bisa dijadikin acuan selera cowok tuh kayak gimana, ya kan? “
“ Tapi kan, dia beda jenis. Cowok kayak Adit sama cowok perfect kayak Matahari.. “ Lagi – lagi kepalaku diserang mendadak dari belakang, “ Nggak ada yang perfect, tau! “ suara itu udah pasti Adit. Ugh, sebel kena serang terus.
“ Huh! Emang nggak ada yang perfect, tapi yang pasti lu jauh dari Matahari, “ (Ups! Aturan dasar dalam pertemanan, nggak boleh membandingkan!!) “ Sorry, Dit. Nggak sengaja, “ kataku nyesel.
“ Udah ah! Kalau ngomong terus, kapan mulainya? Kalau kelamaan di dapur, ntar si mbok ngambek wilayahnya diambil alih kita. Oke? “ Ika langsung ambil tindakan begitu Adit mau membuka mulutnya, “ Adit! Sini lo! “ perintah Ika cepat. Adit menurut lalu diam di samping Ika. Aku menatap mereka dari belakang (Kalau mereka jadi pasangan pasti seru. Tapi nggak mungkin, mereka kan sahabat.)
“ Woy, yang punya acara malah diem aja, sini donk! “ Ika langsung membuyarkan pikiranku, dan mulai menyuruhku latihan.
Hari pertama latihan, result: GAGAL. Adit langsung ngibrit ke kamar mandi begitu makan sesuap kue buatanku. Nggak enak. Pahit. Bantet. Keras. Nggak lama Adit keluar dari kamar mandi, aku langsung tertawa sepuasnya, “ Rasain lu Dit. Makan tuh kue, hahahaa.. “ Adit cuma mesem sambil ngambil air minum. “ Bahaya banget sih kue buatan lo, Cher? Makanan yang tadi gue makan kan jadi ikut keluar semua,. “ katanya sambil ngelus – ngelus perutnya.
“ Jorok lo, Dit! Mbok, ambillin minyak angin buat Adit. Abis muntah tuh! “ Ika langsung manggil mboknya yang nggak tahu lagi ngapain di luar dari tadi. Mendengar majikannya manggil dengan cepat dia masuk ke rumah dan langsung mengambil minyak angin buat Adit yang masih meringgis melihatku terus ketawa. “ Puas amat lo, Cher, ketawanya, tanggung jawab lo. Gila,. Jangan – jangan kayak yang gue bilang tadi, Matahari hidupnya cuma sampe valentine… “
“ Wah, nggak mungkin! Soalnya pas valentine, kue yang gue bikin pasti sempurna. Hahahaha… “ jawabku nggak mau kalah. Ika cuma geleng – geleng liat dapurnya berantakan, dan bau coklat nggak jelas memenuhi rumahnya. Akhirnya, “ Dit! latihan berikutnya di rumah lo ya! “  Tau nggak bakalan menang, Adit cuma mengangguk pelan. Hari pertama latihan pun selesai.

Day 2; Rumah Adit.
“ Cher! Tepung kebanyakan! “
“ Hah! “ Gara – gara ngelamunin Matahari, itungan tepung yang mau dipakai kelebihan. Untung belum kecampur sama telornya, jadi masih bisa diperbaikin. Ini gara – gara Adit. *menyalahkan* Habisnya kenapa nggak bilang kalau rumah Matahari deket sama dia? Yang aku tahu kan cuma arahnya sama. Ukh! Ngeselin. Apalagi tadi pas pulang sekolah. Kebetulan keluar bareng sama Matahari gara – gara hari ini nggak ada acara menghias kelas bersama. Karena aku tahu arahnya sama, aku berniat naik angkot bareng Matahari. Udah ngendap – ngendap di belakangnya Matahari sampai ke tempat nunggu angkot, tau – tau Adit datang jemput. Ukh! Bisa – bisa Matahari salah paham kan? Matanya itu loh! Takut.. bikin diri ngerasa sudah melakukan kesalahan besar. Waktu aku tolak, Aditnya malah ngomong yang bikin kesalahpahaman makin besar, “ Kalau mau ke rumah, mendingan naik motor, kalau naik angkot, cape jalannya. Ayo, cepet naik. Dah ditunggu di rumah tuh! (sama Ika) “ gitu! Hiks! Matahari, maafkan lah fansmu ini. Nanti bisa dijelasin koq.. hiks, hiks! Di jalan adit malah cerita kalau Matahari rumahnya satu komplek sama dia. Ugh! Tambah kesel.
Dan disinilah aku. Adit bagai sang raja di rumahnya nggak mau bantu sama sekali. Ika juga makin bawel, dari tadi aku salah terus. Yah, pokoknya berjuang aja deh sampai bisa bikin kue buat Matahari.
“ Selesai! “
“ Adit! Sini lo! “ Jiwa nyonya besarnya Ika kambuh, nggak peduli lagi dimana.
“ Iya, iya.. “ Adit pasrah. Ditatapnya kue coklat di depannya. Menurutku sih lumayan dari yang kemaren, tapi nggak tau kalau soal rasanya. Satu suapan menuju ke mulutnya tapi berhenti begitu terdengar pintu pagar ada yang buka.
“ Wah, wah.. lagi pada ngapain? “ Sang nyonya tuan rumah sudah pulang, Ibunya Adit. “ Ya, ampun, lagi bikin kue? Trus yang imut itu siapa? “ tanyanya lagi. Aku merona.
“ Imut? Amit kali, bu? “ celetuk Adit. Dipastikan besok pasti nyawanya melayang di sekolah. “ Jangan – jangan pacarmu, ya Dit? “ Sepersekian detik dengan kecepatan cahaya, “ BUKAN!!  “Aku menjawab dengan setegas dan seyakin mungkin. Ika kaget.
“ Bukan, bu. Dia lagi ngincer si Matahari, “ jelas Adit lagi. (Loh?)
“ Wah, wah.. Matahari lagi ya? Berjuang ya! “ Si Ibu pun pergi meninggalkan kami dan masuk ke kamar.
“ Dit, Ibu lo kenal si Matahari? “ Ika yang tanya duluan. “ Nggak kenal deket. Cuma sekedar tahu aja kayaknya, “ jawab Adit sambil menggambil air minum buat persiapan makan kue.
“ Koq bisa? “
“ Matahari kan…. “ Adit diam, lalu menatapku. Satu suapan kue masuk ke mulut Adit. Aku dan Ika bengong. Koq enteng banget makannya..?
“ …. …. …. “ Adit diam. Semua diam nunggu reaksi. “ Pahit…!“
Gagal! Kue kedua juga gagal. “ Yah, tapi masih lebih baik daripada yang kemaren, “ lanjutnya.
“ Huh! Emang sengaja dibikin pahit, “ Ika tiba – tiba ngomong sambil bertolak pinggang dan membusungkan dadanya, “ Cowok ‘kan jarang suka yang manis, jadi sengaja gue masukin coklatnya banyakan. Yah, tapi sukses tuh, Cher.. “ Ika tersenyum.
“ eh? Hore? “ Aku masih nggak percaya secepat ini berhasil. “ Yap! Hore! “ tegas Ika. Aku tersenyum senang, “ Yattaa! Banzaii!! “ Seneng banget akhirnya sukses juga bikin kuenya. Dan setelah beres – beres, aku bersiap untuk pulang. Di dapur masih ada Ika dan Adit. “ Kenapa lo nggak lanjutin omongan lo tadi, Dit? “ Kedengaran suaranya Ika lagi ngomong.
“ Nggak enak sama Cherry. “ (Aku? Kenapa?)
“ Ngomong aja. Cherry bukan anak yang kayak gitu koq.. “ (Ika…?)
“ Maksudnya, gue nggak mau ngerusak kesenangan Cherry sekarang, kalau seandainya gue ngomong kalau Matahari itu sering digosipin ibu – ibu komplek, Cherry pasti― “
“ Dia nggak yang kayak lo kira. Pikiran Cherry nggak pernah negatif, ya mungkin itu kelemahan dan kelebihan dia. Jadi lo nggak usah mikir yang susah – susah tentang Cherry. “ Aku diam. Nggak ngerti yang dibilang mereka semua.
“ Yang diomongin baik apa buruk? “ Aku nggak tahan kalau cuma dengar. Aku mau tanya langsung.
“ Cherry… “ Adit keliatan jadi ngerasa nggak enak.
“ Denger ya yang tadi? “ Ika salah tingkah. Aku jadi ikutan nggak enak sendiri. Suasana seperti ini harus segera hilang. “ Bagus kan? Matahari emang keren! Wajar kalau banyak yang ngomongin. Kita juga sering ngomongin dia kan? Yang jelek keq yang bagus keq.. nggak ngaruh sama gue koq. Hehehe.. Matahari still number one! Ayo, pulang, Ka, dah mulai gelap, “ Aku mencoba menyairkan suasana yang agak canggung tadi. Nggak tahu berhasil atau nggak, tapi kayaknya lumayan juga.
    Setelah pamit sama orang rumah, kami berdua mulai meninggalkan komplek.
“ Cherry? Daijobu? ” Kayaknya Ika masih kepikiran sama yang tadi.
“ Hm.. Daijobu desu. Gue nggak apa – apa koq. Rada penasaran juga sih, tapi nggak apa – apa, “ jawabku (Bohong! Penasaran banget sama yang tadi, Matahari digosipin apa? Koq reaksi Ibunya Adit gitu denger nama Matahari? Ada apaan??? Penasaran!) Selama di jalan, kami hanya diam, sampai akhirnya sampai di rumahku, “ Makasih ya, Ka, dah nganter. Mau mampir dulu? “ tawarku. Tapi Ika menolak dengan alasan takut kemaleman. Yah, aku juga nggak bisa maksa. Nggak lama Ika pun pulang. Abis mandi dan makan malam, aku langsung ke kamar dan menghubungi Matahari. Nggak ada jawaban, terpaksa aku pakai SMS. Matahari lagi apa? Tadi Cherry pergi ke komplek rumah Matahari loh, siapa tau ketemu Matahari, Hehehehe. Matahari, maaf ya kalau seandainya Cherry bikin Matahari marah. Yaud, met malem Matahari.
Masih penasaran soal tadi. Apa Adit tahu sesuatu ya? Besok coba tanya ah!

8 hari menuju V-day…
Gak bisa ngomong sama Adit! Sibuk banget! Adit juga sering ilang nggak tahu kemana waktu istirahat, abis itu tau – tau nongol aja di tengah pelajaran. Abis dari mana tuh anak? Matahari malah sering banget keliatan berkeliaran di koridor kelas 3. Uh, makin lama makin keren aja tuh anak.♥♥
“ Cher, ada yang nyari tuh di pintu, “ Alin tiba – tiba manggil. (Ika ke mana ya? Tumben nggak keliatan waktu istirahat) “ Siapa, Lin? “ tanyaku menghampiri. Tiba – tiba Alin mencengkram lenganku, “ Aduh! Napa sih? “ protesku. Lumayan sakit juga.
“ Koq, bisa? “
“Apanya? “ Aku tambah nggak ngerti, “ Nanti aja ah, “ Aku keluar kelas melihat siapa yang datang. (Wuah, pantes aja Alin tanya, kalau dia yang datang sih kayaknya bukan cuma Alin aja yang bakalan nanya-nanya)
“ Jadi ini yang Cherry kerjain tiap pulang sekolah? Koq, malah nggak keliatan temanya ya? ‘Kelas cantik’ kan? “ katanya sambil tersenyum ngejek khas miliknya.
“ Hu, iya deh. Maaf berantakan. Tapi kan bukan Matahari yang nilai… “ gerutuku.
“ Hei, penilaian orang kan bernilai, “
“ Iya, iya. Tapi masa’ Matahari ke sini cuma buat komentar kelas Cherry? Ada apa? “
“ Cherry nggak ke kantin? “
“ … Kenapa? “ wajahku mulai merah. Deg – deg-an.
“ Duit Matahari kurang. Mau beli soto.. “ terangnya polos. (Matahari ke sini cuma mau pinjam duit? Wah, sejak kapan jadi berani gini?) Kayaknya makin lama jadi makin nggak ada batasan sama kakak kelas.
“ Woy, ngapaian berdiri di pintu? Ngalangin orang jalan tau! “ Dan makin lama Adit juga makin aneh. Jutek gitu. (Pada kenapa sih?)
“ Cherry nggak bisa bantu ya? “ Matahari tanya lagi.
“ Eh? “ Bukannya nggak mau ngasih juga, tapi kalau dilihat dari sudut mana juga, cewek yang ngasih duit ke cowok ‘kan aneh. Malahan bisa – bisa ada cerita yang nggak enak nantinya. Mau ngasih diam- diam juga nggak bisa, koridor penuh sama penghuni kelas 3, udah gitu pada merhattin pula.
“ Maaf Matahari… Cherry lagi nggak megang duit lebih sekarang, “ jawabku bohong. Wajah kecewa Matahari langsung terlihat. (Nyesel banget ngomong gitu, tapi wajah kayak gitu jarang banget keliatan.. Ah, tambah imut!♥) “ Woy, Matahari! Ayo, turun, gue traktir! “ tiba – tiba Choco datang menjemput. Mendengar itu, Matahari pun menurut. (Duh, mesra banget, pake rangkul pundak segala di sepanjang koridor.)
 Begitu aku kembali ke tempat duduk, Adit menghampiriku.
“ Kenapa lo nggak ngasih? Nggak mungkin lo beneran nggak bawa duit kan? “ tanyanya. Adit emang tahu kebiasaanku yang suka membawa duit lebih karena takut ada apa – apa. Yah, termasuk kayak tadi.
“ Nggak bisa, Dit. Kalau gue kasih duit ke Matahari di depan umum, bisa – bisa ada yang ngomong nggak bener kan? “ kataku. Lagi – lagi jawaban Adit bikin aku penasaran, “ Nggak akan ada yang ngomong aneh – aneh kalau tahu Matahari kayak gimana,. “
“ Maksudnya? Dit, kayaknya ada yang lo sembunyiin dari gue ya? “ tanyaku akhirnya memastikan, “ Apaan? Jujur!  “ paksaku nggak sabar. Adit menggeleng.
“ Adit cuma khawatir aja koq sama Cherry. Nggak lebih. “ Tiba – tiba ada suara dari belakangku. Uerul, makhluk yang terlupakan. Karena nggak kuperhatikan, aku jadi nggak sadar ada yang berubah dari dia. Jilbab putih yang selalu dipakainya kini tak ada di kepalanya. Rambutnya pun dipotong pendek. Perubahan yang drastis. Tapi bukan urusanku juga dia mau seperti apa, yang penting dia enjoy dengan itu dan nggak merepotkan orang lain.
“ Maksud lo apa, Rul? “ tanyaku nggak menghiraukan penampilannya itu.
“ Soalnya ada berita nggak enak tentang Matahari,“ jawabnya enteng. Gosipkah?
“ Apa? “ tanyaku lagi. “ Cher― “ Adit mencoba menahanku.
“ Matahari dibilang suka melorotin duit cewek yang deket sama dia. Suka manfaatin perasaan cewek yang suka sama dia buat hal – hal yang dia suka. Nggak peduli siapa orangnya juga. Suka bawa cewek yang beda – beda ke rumahnya. Matahari cowok mura― “
“ Stop. “ Adit tiba – tiba menutup mulut Uerul, “Udah puas ngomongnya? Atau masih mau dilanjutin?“ tanya Adit sambil menurunkan tangannya, membebaskan mulut Uerul untuk bernapas, “ Kalau masih mau dilanjutin, berarti lo udah siap sama resikonya, “ ancam Adit. Aku bengong. (Adit serem kalau marah! Dulu nggak pernah liat Adit sampai marah digimanain juga..) Uerul langsung kembali ke tempat duduknya. Tiba – tiba terdengar suara tepuk tangan.
“ Hebat juga. Jadi kagum, “ Rupanya Ika sudah kembali dari perantauan entah di mana. “ Sikap lo udah kayak cowok jagoan aja, Dit. Beda ya kalau menyangkut― “
“ Hei… “ Adit memotong perkataan Ika dengan muka agak merah. (merah??)
“ Menyangkut apa, ka? “ tanyaku
“ Menyangkut jemuran orang supaya nggak digangguin orang iseng, “  jawab Ika yang kayaknya asal. Aku jadi makin bingung. Kayaknya emang ada yang lagi di sembunyiin. Ika juga.
“ Cher, omongannya si Uerul nggak usah dipikirin ya,. “ kata Ika mengelus kepalaku.
“Hem~… “ Aku mengangguk. (Tetep aja dipikirin. Berarti nggak salah kalau selama ini dia deketin cewek yang tajir, kecuali aku.. Wah, minus nih.. )
Nggak tau kabar itu bener apa cuma ada yang sirik sama Matahari, trus ngarang –ngarang cerita yang kebetulan hampir sama kayak kenyataannya kalo dia deket sama cewek tajir. Nggak mungkin juga kalau aku tanya sama Mataharinya langsung. Aje gile.. bisa dicap jelek nanti. (Nggak tahu ah! Pusing mikirnya..) *nggak mau susah*

D-Day is coming closer.. Tinggal 3 hari lagi nggak terasa. Kelas makin berantakan hasil dari tumpuk-tumpukan ide beberapa orang. Hasilnya: setiap meja beneran ditaplak-in, dinding beneran dikasih wallpaper pink (yang cowok pasti geli masuk kelas), jendela di kasih gorden plus nggak ketinggalan hiasan origami punyaku, meja guru paling istimewa dikasih vas bunga dan bangkunya dikasih bantal untuk sandaran, langit – langit juga dikasih hiasan gantung di setiap sudut, papan tulis ditempelin pita pink, terakhir dikasih keset di depan pintu kelas yang udah dikasih tirai selamat datang. Foila! Inilah hasil karya cewek – cewek kelas 3IPA2 yang masing - masing nggak mau kalah. (Hahaha..) setiap orang lewat pasti ada aja ekspresi yang terihat di mukanya. Ada yang kaget, ada yang heran. Berlebihan memang, tapi inilah yang nantinya akan diikutsertakan lomba. Anak – anak juga bersikap pasrah-yang-penting-seneng. Guru – guru juga hanya geleng – geleng kepala waktu ngajar, sebagian juga ada yang nyaris tertidur gara - gara bantal empuk di kursi. Yang penting kan semangatnya!
“ Cher, mau pesen apa? “ tanya Ika di antara lautan manusia di kantin.
“ Hm.. Apa ya yang enak?? “
“ Ketoprak aja ya? Biar nggak ribet.. “ Ika cepat mengusulkan lalu langsung hilang di antara manusia kelaparan. Aku bengong. Nggak lama nunggu di meja, Ika datang bersama orang tak dikenal yang bawa 2 porsi ketoprak. “ Susah bawanya. Sekalian aja gue bawa abangnya. “ jawab Ika sebelum kutanya. (Oh.. kirain ‘pembantu’ baru..) “ Makasih, bang..! “ lanjutnya sambil kasih duit.
“ Gimana coklatnya? “ Ika membuka pembicaraan dengan mulut penuh tanpa melihatku.
“ Ng.. gugup! Nervous abis kalo mikirin mau ngasih dia.. “ jawabku juga tanpa melihatnya. (read: fokus ke makanan) Hening. Masing – masing sibuk sama yang ada di depannya.
“Matahari tuh! “ Ucapan Ika langsung membuyarkan suasana hening, “ Mana?! “ Refleks aku langsung mencarinya di lautan manusia. Ternyata benar ada. Matahari lagi susah payah keluar dari lautan manusia yang menghempitnya dari segala sisi. Kasian..
“ Tuh cewek – cewek udah pada gila kali ya? Udah tau nggak bisa jalan tetep saja deket – deket… “ Ternyata ada Choco juga di belakangnya lagi ngedumel sambil merapikan seragamnya yang berantakan. “Makanan gue selamet nggak tuh? “ Matahari langsung memeriksa kantong kresek yang dipegang Choco, dan kejadian selanjutnya membuatku yang merhatiin mereka langsung nyengir kayak kuda. “ Dasar.. bukannya khawatirin gue, malah makanan yang lo tanyain.. “ Choco memukul bahu Matahari pelan. Mendapati makanan mereka aman, Matahari langsung senyum, “ Duh, gitu saja ngambek..! Sini dibantuin rapiin seragamnya.. “ katanya sambil mengancingkan seragam Choco dan sedikit merapikannya. Tontonan hot di siang hari live di kantin K.U! Kayaknya pasangan itu nggak sadar kalau di antara keramaian makhluk kelaparan ada sebagian yang memperhatikan mereka dengan mulut ternganga dan muka merah, termasuk aku. “ Ka! Live tuh! Pasangan hot abad ini lagi mempertontonkan bagaimana sebenarnya hubungan mereka! Ka! Liat tuh! “ Aku langsung heboh di tempat duduk layaknya reporter berita gossip yang dapet berita dadakan asli dengan mata kepala sendiri, “ Ka! Jangan makan terus,. Nggak mau liat pasangan hot lagi bermesraan di depan publik? “ Ika hanya menghadapi kehebohanku dengan gerakan tangan santai, “ Gue masih normal koq… Nggak tertarik sama tontonan homoseksual kayak gitu.. “ jawabnya tenang nggak peduli. Aku masih heboh, “ Buat penyegaran tau! Penyegaran..! “ kataku sambil menepuk bahunya. Ika cuma geleng – geleng kepala melihatku histeris.
“ Dapet undian ya? “ *DEG!!*
“ Heboh banget suaranya sampai kedengeran dari jauh, “
“ …. Hai.. Yah, penyebabnya itu~” Perkataan Ika berhasil kuhentikan. Bahaya kalau sampai ketahuan. Malu!
“ Eh? Hehehehe… Masa’ sih sampai kedengeran dari jauh? Bisa saja Matahari.. “ (Bisa kena serangan jantung akut nih lama – lama..)
“ Hm? Matahari aja nih yang disapa? “ Choco tersenyum menggoda di belakang Matahari.
“ Hai, Choco.. “ sapa kami kompak layaknya para Angels disapa oleh Charlie dengan tersenyum. Choco memukul tangan Matahari pelan, “ Koq jadi ikut – ikutan nyapa? Iseng amat.. “ Senyum khas Matahari langsung mengembang di wajahnya. (Wah, wah..♥♥)
“ Lagi pada mau makan ya? Mau ikut gabung? “ Ika tiba – tiba menawarkan hal yang tak terpikirkan olehku. Kayaknya beneran bisa kena serangan jantung nih!
“ Gimana, Matahari? “ Choco balik tanya.
“ Nggak deh. Makasih tawarannya, tapi mendingan makan di kelas. Di sini panas, belum lagi banyak cewek yang ribut teriak – teriak. Jadi sorry ya? Lain kali aja.. “ Matahari menepuk kepalaku pelan.
“ Oke, cabut duluan ya semua.. bye! “ Choco pamit lalu menyusul Matahari yang jalan di depannya.
“ ….. Cher?... …. …??.. Udah mati ya? “
Tell me, what just happened? Am I in heaven? Did Matahari was… “
“ Yes, he DID… “ Ika menjawab singkat dan penuh penekanan. *nose bleed* “ Fuh, ternyata bisa juga si cowok dingin itu.. Kalau sikap dia kayak gitu, berarti mesti lebih banyak perjuangan donk…. “ Ika ber-monodialog tanpa memperdulikan aku yang diam tertunduk di atas meja.

D-DAY!!! Valentine’s day is coming now! Prepare to the Chocolate!   
Tanggal 14 Februari adalah tanggal yang spesial untuk para gadis tiap tahun, tapi untuk kali ini tanggal 14 februari juga hari yang berarti di  SMU K.U, yaitu hari jadinya sekolah ini dibuat. Moment inilah yang ditunggu – tunggu oleh para murid karena beberapa keuntungan. Yang pertama; setiap pelajaran ditiadakan khusus di tanggal 14 februari, kedua; diadakan festival musik untuk klub band (tahun lalu Matahari ikut main), ketiga; sekolah bebas, mau masuk atau nggak terserah, ke empat; bagi – bagi bunga mawar di jalan; ke lima; moment valentine alias siap – siap jadian dadakan, dan pemberian coklat. Kelihatannya tahun ini lebih ramai karena banyak ada adik kelas baru yang siap diincer para serigala kelas 3, nggak cewek nggak cowok.
Aku? Jangan ditanya, karena saat ini aku lagi mati – matian melangkahkan kaki di depan kelas 2IPS4, sambil bawa bingkisan coklat ‘maut’.
“ Ka… takut nih.. deg – degan.. “ Aku genggam kantong bingkisan nyaris sambil gemetar.
“  ‘Kan Cherry yang niat mau kasih.. masa gini aja nggak jadi? “ Ika memperlambat langkahnya karena kemeja seragamnya aku tarik.
“ Ka, bentar dulu.. How do I look now? Messed up? “
“ Yes. “ Singkat dan menohok pasti. “Ahh~~ Masa ketemu Matahari berantakan sih? Gimana nih, Ka? “ Aku mulai menyisir rambut hitam kecoklatanku yang sudah mulai memanjang dengan jari dan menepuk seragamku untuk memastikannya tidak kotor. Sibuk. Tiba – tiba Ika menepuk kedua bahuku, “ Cher, listen to me. You already good and cute enough to meet him, and stop touching your hair with your hand, that’s not cute at all..! “ Aku mengangguk pelan, dan bersamaan dengan itu mulai bermain musiklah jantungku karena sosok yang memang aku sediki~t berharap tidak bertemu hari ini telah keluar dari kelasnya. Dan sekarang sosok itu telah berdiri di depanku yang tinggal sendirian. Yap, dengan ilmu langkah seribunya Ika telah angkat kaki dari tempatnya berdiri beberapa detik yang lalu.
“ Suaranya kedengeran sampai ke dalam loh… “ kalimat pertama keluar dari mulutnya dengan irama yang kontras dengan jantungku yang semakin tak karuan. Senyum khasnya pun tak ketinggalan juga dia keluarkan. Meleleh! Bukan coklat yang seharusnya meleleh di tanganku yang berkeringat tapi diriku. Aku meleleh!! (>///<)
“ …. … … “
“ Cher, koq diem gitu? “ Tangannya bergerak ke kepalaku. Kupikir akan di tepuk lagi, makanya aku agak menuduk dan tahan napas. Tapi ternyata tidak, dia malah bermain dengan rambutku! (GYAA!! (>////<))
“ Hahahaha, rambutnya Cherry berantakan.. “
Yap! I’m totally melting now. “ Cher? Mukanya merah banget… “
“ Ma-Matahari..! I-Ini! Buat Matahari! “ Dengan cepat aku langsung menyodorkan bungusan ke arah Matahari sambil menunduk. “ Hmm~, dari wanginya sih pasti coklat ya? Nggak mau, ah! “
“ EH? “ Aku langsung mengangkat wajahku mencoba memastikan apa yang aku dengar barusan. (Ditolak? Koq??) “ Ma-Matahari? “ Perlahan aku menurunkan tanganku, “ Ah..ah.., iya, ya., Matahari udah dapet banyak coklat ya? Ha..ha..ha.. “ Aku mencoba tertawa, tapi tetap saja aku kecewa. Menyedihkan. Nggak boleh nangis! “ Y-Ya udah, Cherry bawa lagi coklatnya, “ Aku langsung membalikkan badanku. Tiba – tiba terdengar tawa Matahari. Penasaran, aku jadi menoleh kembali ke belakang. Ya, Matahari memang sedang tertawa, tapi kenapa?
“ Hahahaha…. Cher.. haahaahaa.. Aduuhhh~~ sakit perut… hahahaahaa…!! “ Karena namaku disebut, aku jadi nggak pergi dari situ. Nggak lama Matahari berhenti tertawa tapi masih meringgis sakit perut.
“ Matahari kenapa? Koq tiba – tiba ketawa? “ tanyaku akhirnya merasa dipermainkan.
“ Cherry, maaf ya? Matahari jadi ngetawain Cherry, soalnya reaksinya pas banget! Cocok! Hahaha.. Aduh, jadi ketawa lagi.. “
“ Maksudnya? “ Aku jadi tambah nggak ngerti.
“ Maaf ya tadi nolak coklatnya.. cuma bercanda koq! “ Matahari menepuk kepalaku pelan, “ Matahari tau koq Cherry bikin sendiri coklat itu, makanya Matahari jadi pengen tau reaksi Cherry kalau Matahari nolak terima,.. tapi yah, nggak jauh beda sama Matahari pikir.. hehehee.. “ Matahari langsung tersenyum nakal.
“ Iseng banget sih? Trus kalau seandainya Cherry beneran pergi nggak ngasih gimana? “
“ Hmm… kayaknya nggak mungkin deh♥.. “ Lagi – lagi senyum nakal Matahari keluar. (Kelewat narsis! Heran deh aku bisa suka..) “ Jadi, mana coklatnya, Cher? “ pinta Matahari sambil menyodorkan tangannya. (Uuh~~) “ Ini… Maaf ya kalau nggak enak.. “ Dengan pelan Matahari mengambilnya dari tanganku, dan cepat langsung berada di dekapannya. “ Nggak apa! Nggak enak pun pasti Matahari abisin koq..! “ (Uh~ kayak anak kecil! Ngegemesin banget!♥♥) Nggak bisa di sembunyiin lagi kalau wajahku sudah merona kayak strawberry yang ada di kue. Dan kayaknya Matahari juga sadar. “ Cherry lagi mikirin apa? Koq mukanya merah banget? Pengen ya? “ (Tertohok!) Jantungku langsung berdetak cepat.
” Pengen apa? “ (Wah? Wah?)
“ Mau minta kuenya ya? Nggak boleh! Kan cuma buat Matahari… “
 “ Nggak koq, kan Cherry emang bikin buat Matahari… “ (Bukan mau kuenya, tapi pengen jadi kuenya! Kyaa ♥!)
 ~~~ MATI…~~~*NOSEBLEED*
“ Matahari, “ tiba – tiba Choco keluar dari kelas.
“ Kenapa? “ senyum Matahari langsung berubah haluan jadi ke Choco yang berdiri di pintu kelas.
“ Hp-nya bunyi.. “ Raut wajah Choco yang dingin  membuatku kepikiran yang nggak – nggak. (Siapa yang telpon ya?) “ Cher, sorry, ditinggal ya? Makasih coklatnya, “ Matahari pamit sambil melempar senyum yang langsung hilang begitu terima telpon yang masih bergetar di tangannya. Choco juga permisi sambil menganggukan kepalanya lalu menyusul Matahari. (Hm.. siapa ya yang telpon? Apa Choco juga kenal? Hmm..) Tiba – tiba kepala Ika muncul di belakang tembok beranda kelas 3, “ Cieeee.. yang lagi kasmaran.. suit, suit..~~ “
“ Huwaa~~ kayak mau mati, Ka_chan.. Deg-deg-an banget!.. ”
  “ Congration, my dear! “ Ika melompat ke arahku, “ Akhirnya berhasil juga Cherry ngasih coklat sama your prince... “ Ika mengelus kepalaku. “ Hehehe... tapi ada yang aneh tadi, Ka_chan.. “ aku mulai memberitahu yang tadi terjadi tentang raut wajah Matahari yang berubah jadi dingin waktu terima telpon. Jawaban dari Ika malah membuatku kaget, “ Ceweknya kali yang telpon minta pertanggung jawaban...? “ (Wuagh! Ceroboh banget Matahari sampai ceweknya minta pertanggung jawaban!) Ekh?! Apa yang aku pikirkan tadi? Matahari kan bukan cowok yang kayak gitu.
“ Ya kan, Ka_chan? “ Ika langsung bengong begitu kutanya tiba – tiba tanpa sebab. “ Apanya yang iya’kan??? Lagi mikir yang tadi ya? Heehehehe.. “ Ika mencubit pipiku bercanda, “ Dasar yang lagi jatuh cinta.. “ Wajahku langsung merona, “ Iya ya.. nggak mungkin kan Matahari kayak gitu.. “ kataku lagi meyakinkan diri. “ Kalau bener gimana? “
“ EKH?! “
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“ Woy! Matahari, kosong nih! “
2 hari setelah kehebohan Valentine, hari berjalan seperti biasa. Siang ini, waktu kakiku baru saja menginjak lobi belakang menuju kantin, langsung disambut oleh teriakan Choho memanggil si Pangeran Tampan berambut hitam kemerahan. (What?! Hitam kemerahan??! Ganti gaya lagi nih! Kereeennn ♥♥ !!)
            “ Loh? Tadi perasaan liat, sekarang koq udah nggak ada? “ Tiba – tiba Matahari hilang dari pandanganku. Sambil melihat sekitar, aku mulai menuju stand makanan, dan mengambil 2 bungkus sandwich.
            “ Bu, aku beli ini.. “
            “ Kalau cuma makan roti, nggak bisa tambah tinggi loh♥, “
 !?   Sepersekian detik aku menoleh, dan langsung ‘hangus’ disinari cahaya silau. —mati

(selalu saja begini... lama-lama kena stroke deh nih... nyawanya kurang terus kalau ketemu Matahari..  but that’s why i like him.. always suprised me.. hehehe)
            “ Matahari selalu hilang trus muncul tiba – tiba ya? Bikin kaget aja.. “ Aku berusaha tenang meskipun jantungku lagi heboh banget.
            “ Hmm,, masa’ sih? Berarti merhatiin Matahari terus ya♥? “ Silau! Wuah.. bumi tambah silau aja ada dua matahari yang lagi semangat – semangatnya bersinar terang. Bisa nambah globalwarming nih..! –lebay- xixixixi...
            “ Bisa aja nih Matahari.. lagi mau makan ya? “
(tenang.... tenang.... )
            “ Iya, tadinya. Tapi nggak jadi... “
“ Kenapa? “
“ Liat chery beli sandwich, jadi pengen juga.. hehehe... “
“..........” hening.
“ Koq, diam? ... Cher? Hellooow..?? “
(Celaka! Matahari sempurna! Cocok banget jadi host!♥♥ hahaha!) “ S-sory Matahari, lagi bengong tadi... ehm! Kalau gitu mau yang punya Chery? kayaknya ini stok yang terakhir... “ Aku menawarkan roti di tanganku sambil senyum nggak wajar nahan geli gara – gara pikiran sesaatku tadi.
            “ Hm, nggak jadi deh! “ tolaknya cepat dan langsung berbalik badan, “ Dasar cewek aneh.. “ lanjutnya lagi yang sempat kudengar. (KOQ??!) 
“ Matahari kenapaaa, Ka_chan??!! “ Aku yang habis lari dari kantin gara – gara shock langsung menjatuhkan diri ke meja Ika yang lagi asyik baca buku sambil ngemil, reaksinya, “ Wha—What the hell~.?
 “ Maaaf~~... “ (Ka_chan sereeemmmm...!) Setelah merapikan mejanya yang berantakan dan menjitakku, Ika mulai bicara, “ Memangnya aku tau Matahari kenapa? Yang tadi ketemu sama Matahari Cherry kan? Bikin kaget aja tiba – tiba masuk kelas tanya Matahari kenapa... “
“ Maaf~, habisnya Matahari bikin aku kaget, tiba – tiba berubah jadi kasar... Padahal kan aku cuma mau kasih roti yang dia minta koq malah bilang aku aneh???? Aku salah ya Ka_chan? “
“..... yah.. mungkin.. “
“EEH????? Kenapa? “
“ Sebelum dia marah, ada yang Cherry lakuin nggak sampai dia tega bilang Cherry aneh? “
“ Nggak ada koq.. Cuma mikir sebentar kalo Matahari cocok banget jadi host♥... “  
“..... ..... “ Ika diam menatapku lalu menghela napas, dan mulai bicara, “ Ya iya lah..! Muka Cherry kan langsung menggambarkan apa yang lagi Cherry pikirin, nggak heran kalo Matahari juga tau apa yang ada di kepala Cherry... Hhh~~ “ (Eh?? Masa’ sih?) Aku bengong mikir sebentar. “ Jadi Matahari tau kalau aku ngerasa dia cocok jadi host??! Hwaa~~ gimana donk, Ka_chan?
Like i know.... Makanya Cherry kalau di depan Matahari jangan mikir yang aneh – aneh, nanti dia kaget... Okay?
Aku mengangguk lesu (Tapi koq tumben Matahari perhatiin mukaku? Kan ngk biasanya sikapnya dia kayak gitu... ) Sambil menunggu bel istirahat selesai, aku menghabiskan sandwich yang tadi nggak jadi diminta Matahari sambil melayangkan pandanganku ke lapangan. (Ada Matahari......keren♥..)
Dan bel pun berbunyi, waktunya untuk melanjutkan kembali tugas seorang murid seperti yang sudah semestinya. (Hm? Ada apaan nih di dalam laciku??) Bukan buku yang seharusnya aku ambil tapi malah amplop yang muncul.
“ Ka_chan, ini apa?? “ Yah, karena Ika duduk paling dekat denganku, jadi aku berasumsi kalau dia tau sesuatu, tapi dengan tegas dia menggeleng, dan menyuruhku membukanya nanti karena guru udah di kelas dan mulai mengajar. Aku menggangguk. Awalnya aku cukup penasaran mau buka amplop putih itu, tapi seperti biasa kalau guru udah mulai mengeluarkan buku tugasnya, bakalan repot kalau nggak dengerin pelajaran, bisa - bisa kayak anak idiot salah masuk kelas alias nggak ngerti apa – apa. Mode belajar switch ON!
One hour later.
Space out.
“ Oi, Cherry?? Lo nggak apa – apa?? “
“ Wuaah!!  “ gara – gara space out, aku nggak nyadar Adit datang dan tiba – tiba udah di depan mata, “ Aduh, kaget... “
“ Lo ngelamun ya? Udah belom tugasnya? Mau gw kumpulin nih! “ pinta Adit galak. Aku menggangguk. Dengan cepat Adit mengambil lembar tugasku dan pergi. Aku memperhatikan tiap gerak Adit, dan berbisik ke Ika, “ Ka_chan, Adit lagi ‘dapet’ ya? Koq lama banget belum berenti sensitifnya?? “ Setelah menjitakku pelan, Ika cuma mengangkat bahunya tanda nggak tahu, atau nggak peduli...?
“ Ehh~~ ? Adit kenapa ya? Koq kayaknya jutek sejak... hm.. kapan ya?? “ Belum sempat aku ingat, tiba – tiba Adit udah balik lagi dari meja guru dan berhenti tepat di depanku yang lagi bingung, “ Cuma perasaan Cherry aja kali! “ terus pergi kembali ke tempat duduknya. Sekarang aku jadi tambah bingung, tapi karena Aditnya sendiri yang bilang begitu, aku nggak mau ambil pusing lagi. (Biarin aja deh.. nanti juga baik lagi)

~TBC ~~~~~~~




[1] Hyde_sama: more info please come to www.Hydeist.com atau www.L’Arc-En-Ciel.com
[2] _sama: Panggilan untuk orang yang dihormat atau dimuliakan  (amat sangat sopan sekali) -Japan
[3] GACKT_sama: Musisi Jepang bertalenta super! (www.dearest.co.jp)
[4] Benar – benar bodoh, ya… (Japan)
[5] _chan: Panggilan akrab untuk seseorang yang lebih muda (Japan)
[6] Hitori: Sendiri (Japan)

No comments:

Post a Comment